Penulis : Al-Ustadz Qomar ZA, Lc
Dinukil dari www.asysyariah.com
Di antara Al-Asma’ul Husna adalah Al-Hayiy. Artinya, yang memiliki sifat Al-Hayaa’, yang berarti malu. Sehingga makna Al-Hayiy adalah Yang Maha pemalu. Dalam hadits dari Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ
“Sesungguhnya Allah Maha pemalu dan pemurah. Dia malu bila seorang lelaki mengangkat kedua tangannya kepada-Nya lalu Dia mengembalikannya dalam keadaan kosong dan hampa.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 1488 dan At-Tirmidzi no. 3556 dan beliau mengatakan hasan gharib. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Dari Ya’la radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seseorang mandi di tempat terbuka tanpa memakai sarung. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dan mengucapkan pujian serta sanjungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian berkata:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيرٌ يُحِبُّ الْحَيَاءَ وَالسَّتْرَ، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha pemalu dan Maha menutupi. Dia mencintai sifat malu dan sifat menutupi, maka bila seseorang dari kalian mandi hendaklah dia menutup diri.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 4012 dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud. Lihat juga Al-Irwa’ no. 2335)
Ibnu Qayyim rahimahullahu mengatakan:
Dan Dialah Yang Maha pemalu, maka Dia tidak akan membeberkan aib hamba-Nya
Saat dia terang-terangan melakukan kemaksiatan,
Namun justru Dia lontarkan tirai menutupinya
Memang Dia Maha menutupi dan pemberi ampunan
Asy-Syaikh Muhammad Khalil Al-Harras menjelaskan: “Dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat penyebutan sifat malu bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti dalam hadits (Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu di atas). Juga seperti dalam ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tiga orang yang mendapati majelis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَمَّا أَحَدُهُمْ فَآوَى إِلَى اللهِ فَآوَاهُ اللهُ، وَأَمَّا الْآخَرُ فَاسْتَحْيَا فَاسْتَحْيَا اللهُ مِنْهُ، وَأَمَّا الْآخَرُ فَأَعْرَضَ فَأَعْرَضَ اللهُ عَنْهُ
“Salah seorang dari mereka berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala pun melindunginya. Yang lain, dia malu sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala pun malu darinya. Adapun yang lainnya lagi, dia berpaling sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala berpaling darinya."1
Sifat malu Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sifat yang pantas bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak seperti sifat makhluk. Di mana sifat malu pada makhluk mengandung perubahan dan kelemahan yang memengaruhinya yaitu ketika dia merasa khawatir dari sesuatu yang aib atau tercela. Bahkan sifat malu Allah Subhanahu wa Ta’ala artinya meninggalkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keluasan rahmat-Nya dan kesempurnaan kedermawanan-Nya, kemurahan-Nya serta keagungan ampunan dan kelembutan-Nya.
Sementara seorang hamba terang-terangan bermaksiat kepada-Nya padahal dia sangat butuh kepada-Nya dan paling lemah di hadapan-Nya. Bahkan dia memakai nikmat-nikmat-Nya untuk bermaksiat kepada-Nya. Akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kesempurnaan sifat ketidakbutuhan-Nya kepada makhluk dan kesempurnaan sifat kemampuan-Nya, Dia malu untuk menyingkap tabir aib hamba-Nya. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala menutupinya dengan sebab-sebab yang Allah Subhanahu wa Ta’ala persiapkan untuk menutupinya. Lalu setelah itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memaafkan dan mengampuninya seperti dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma:
إِنَّ اللهَ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ فَيَقُولُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ أَيْ رَبِّ. حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ قَالَ: سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ
"Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mendekatkan kepada-Nya seorang mukmin lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala menutupkan pada dirinya penutupnya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala bertanya kepadanya: “Apakah kamu tahu dosa ini? Apakah kamu tahu dosa ini?” Maka hamba itu pun mengatakan: “Ya, wahai Rabbku.” Sehingga ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala meminta dia mengakui dosanya lalu dia pun yakin bakal hancur, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan kepadanya: “Aku telah tutup dosa itu padamu di dunia. Dan pada hari ini aku ampuni kamu.”2
Demikian pula Dia malu untuk menyiksa seorang yang berada dalam agama Islam sampai beruban, dan malu dari hamba-Nya yang berdoa menengadahkan dua tangannya, lalu mengembalikannya dalam keadaan hampa. Karena Allah Maha pemalu dan menutupi, maka Dia menyukai pada diri hamba-Nya sifat malu dan tidak mengumbar aib. Maka barangsiapa menutupi aib seorang muslim, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga membenci orang yang terang-terangan dengan kefasikan (maksiat)nya serta terang-terangan dengan kekejiannya.
Di antara orang yang paling Allah Subhanahu wa Ta’ala benci adalah orang yang bermalam melakukan maksiat dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menutupinya, lalu dia sendiri yang membuka tutup aib itu di pagi harinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengancam orang-orang yang suka tersebarnya kekejian di tengah-tengah kaum muslimin, bahwa mereka akan mendapatkan siksa yang pedih di dunia dan di akhirat. Dalam hadits disebutkan:
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ
“Semua umatku diberi maaf kecuali orang-orang yang terang-terangan (dengan dosanya).”
Buah mengimani nama Allah Al-Hayiy
Dengan mengimani nama Allah Al-Hayiy maka kita mengetahui keluasan ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kemurahan-Nya. Sementara hamba-hamba-Nya justru terus berbuat maksiat tanpa rasa malu kepada Dzat Yang Maha pemalu, tentu yang demikian sangat dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dengan mengimaninya, kita mengetahui bahwa sifat malu adalah sifat yang terpuji dan dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, hendaknya kita juga menjaga sifat itu pada diri kita, dan senantiasa kita tumbuhkan pada diri kita serta anak keturunan kita juga anak didik kita. Terlebih di masa ini, di mana sifat malu tersebut hampir punah pada diri kawula muda baik perempuannya terlebih laki-lakinya. Suatu hal yang teramat dibenci Allah Yang Maha pemalu. Sehingga dengan hilangnya rasa malu, tak ada beban lagi bagi mereka untuk bergaul bebas dengan lawan jenis, bercanda ria, berjalan bersama, dan lebih dari itu. Malu rasanya mengungkapkannya...
Sungguh hal yang sangat memprihatinkan kita bersama. Inikah sebagian hasil pendidikan umum? Cobalah para guru dan para pendidik mengkaji ulang metode dan lingkungan pendidikan mereka, demi meraih ridha Allah Yang Maha pemalu serta demi masa depan moral dan agama anak-anak muslimin.
1 Shahih, HR. Al-Bukhari no. 66 dan Muslim. Hadits di atas adalah lafadz Al-Bukhari. Asy-Syaikh Al-Harras menyebutkan dengan lafadz yang sedikit berbeda.
2 Shahih, HR. Al-Bukhari no. 183 dengan lafadz Al-Bukhari, Asy-Syaikh Al-Harras menyebutkan dengan lafadz yang sedikit berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar