Sabtu, 04 September 2010

Cerita Untuk Anak

Penulis : Redaksi Sakinah
Kategori : Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah

Dinukil dari www.asysyariah.com

Ada sebagian cerita atau kisah yang ditujukan untuk anak, tujuannya untuk memberikan pengajaran ataupun hiburan bagi anak. Yang menjadi tokoh dalam kisah tersebut adalah hewan, di mana digambarkan hewan-hewan tersebut dapat berbicara layaknya manusia (dongeng fabel). Untuk mengajarkan anak akibat jelek dari berdusta misalnya, dikisahkan ada seekor musang berpura-pura jadi dokter hingga ia dapat memperdaya seekor ayam. Kemudian si musang terperosok ke dalam lubang akibat perbuatan dustanya. Apa pendapat antum terhadap kisah seperti ini?

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu menjawab, “Tentang permasalahan seperti ini, saya tawaqquf (mendiamkan, belum bisa mengatakan boleh atau tidak). Karena mengisahkan seperti itu berarti mengeluarkan si hewan dari keadaan asal penciptaannya. Dikatakan ia bisa berbicara, bisa mengobati/jadi dokter, dan bisa mendapat hukuman atas perbuatannya. Terkadang mungkin dikatakan bahwa ini hanya permisalan/perumpamaan. Namun wallahu a’lam, saya tawaqquf dalam perkara ini. Saya tidak mengatakan apa pun dalam hal ini.”

Ada bentuk lain dari cerita untuk anak. Seorang ibu terkadang bercerita kepada anaknya untuk memberikan pengajaran pada si anak dengan kisah yang memang mungkin terjadi, walaupun tidak mesti kisah itu telah terjadi. Misalnya si ibu berkata, “Ada seorang anak bernama Hasan. Anak ini suka mengganggu tetangganya. Suatu hari ia memanjat tembok rumah tetangganya. Tiba-tiba ia jatuh dan patah tangannya.” Yang menjadi pertanyaan kami, apa hukumnya cerita seperti ini, di mana memang tidak dapat dipungkiri anak yang mendengarnya terkadang beroleh pelajaran tentang perangai yang mulia lagi terpuji. Apakah cerita seperti ini termasuk dusta yang dilarang?

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu kembali menjawab, “Yang zhahir, bila si ibu menceritakannya hanya sebagai perumpamaan dengan misalnya ia mengatakan, “Di sana ada seorang anak....” tanpa menyebut nama tertentu dan kisahnya seakan benar terjadi, maka tidak apa-apa, karena di dalamnya ada faedah dan tidak ada madharat.”


GAMBAR MAHLUK BERNYAWA

Dalam salah satu kurikulum pelajaran di sekolah-sekolah, anak diminta menggambar makhluk bernyawa atau diberikan gambar ayam betina yang belum lengkap, lalu dikatakan padanya, “Sempurnakanlah gambar ini.” Terkadang si anak diminta menggunting gambar bernyawa lalu menempelkannya di kertas, atau ia diminta mewarnai gambar tersebut. Apa pendapat antum tentang hal ini?

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al Utsaimin rahimahullahu berkata, “Saya memandang hal tersebut haram, wajib untuk dilarang. Para penanggung jawab pengajaran harus menunaikan amanah dalam masalah ini dan melarang perkara yang seperti ini. Bila mereka ingin mencari kejelasan tentang kecerdasan seorang murid, mereka bisa mengatakan, ‘Buatlah gambar mobil atau pohon’, atau benda-benda semisalnya yang diketahuinya. Dengan seperti itu dapat diketahui sejauh mana kecerdasan, kecermatan, dan penerapannya terhadap perkara-perkara yang ada.

Apa yang terjadi di sekolah-sekolah tersebut merupakan musibah yang menimpa manusia dengan perantara setan, padahal sebenarnya tidak ada bedanya membuat gambar pohon, gambar mobil, istana, ataupun gambar manusia. Karenanya aku memandang wajib bagi para penanggung jawab untuk melarang hal seperti itu. Bila memang terpaksa menggambar makhluk bernyawa maka hendaknya mereka menggambar hewan tanpa kepala.”


BERHIJAB DI HADAPAN ANAK LELAKI

Di hadapan anak lelaki usia berapakah seorang wanita ajnabiyyah harus berhijab? Apakah ketika si anak telah mencapai tamyiz ataukah saat ia baligh?

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu menjawab: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ketika menyebutkan orang-orang yang diperkenankan melihat perhiasan wanita (atau seorang wanita boleh menampakkan perhiasannya di hadapan mereka):

أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ

“...Atau anak-anak lelaki yang belum mengerti tentang aurat wanita.” (An-Nur: 31)
Dengan demikian bila seorang anak lelaki telah mengerti aurat wanita, yang membuatnya bisa menilai seorang wanita ketika memandangnya, dan ia banyak berbicara kepada si wanita (atau membicarakan wanita), maka tidak boleh wanita itu membuka perhiasannya di hadapan si anak (ia harus berhijab dari si anak). Adapun batas usianya, maka ini berbeda-beda pada setiap anak, ditinjau dari tabiatnya dan dengan siapa anak itu biasa duduk-duduk (teman duduknya). Karena seorang anak kecil terkadang bisa mengerti perkara wanita bila ia biasa duduk dengan orang-orang yang banyak membicarakan tentang wanita. Seandainya ia tidak duduk atau tidak mendengar dari mereka, niscaya si anak tidak paham dan tidak akan peduli dengan wanita. Yang penting dalam perkara ini Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan batasan dengan firman-Nya:

أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ

“Selama si anak belum mengerti aurat wanita dan tidak ambil peduli dengan perkara wanita maka si wanita boleh tidak berhijab di hadapannya.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

(Fatwa-fatwa di atas diambil dari kitab Majmu’ah As’ilah Tuhimmu Al-Usrah Al-Muslimah, hal. 138-141, 148-149)

Hal-Hal yang Dianggap Membatalkan Puasa

Penulis : Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc.

Dinukil dari www.asysyariah.com

Ada sejumlah persoalan yang sering menjadi perselisihan di antara kaum muslimin seputar pembatal-pembatal puasa. Di antaranya memang ada yang menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara para ulama, namun ada pula hanya sekedar anggapan yang berlebih-lebihan dan tidak dibangun di atas dalil.

Melalui tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa namun sesungguhnya tidak demikian. Keterangan-keterangan yang dibawakan nantinya sebagian besar diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan -cetakan pertama dari penerbit Adhwaa’ As-salaf- yang berisi kumpulan fatwa para ulama seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajma’in.

Di antara faidah yang bisa kita ambil dari kitab tersebut adalah:

1. Bahwa orang yang melakukan pembatal-pembatal puasa dalam keadaan lupa, dipaksa, dan tidak tahu dari sisi hukumnya, maka tidaklah batal puasanya. Begitu pula orang yang tidak tahu dari sisi waktunya seperti orang yang menjalankan sahur setelah terbit fajar dalam keadaan yakin bahwa waktu fajar belum tiba. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin setelah menjelaskan tentang pembatal-pembatal puasa, berkata: “Dan pembatal-pembatal ini akan merusak puasa, namun tidak merusaknya kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui hukumnya, ingat (tidak dalam keadaan lupa) dan bermaksud melakukannya (bukan karena terpaksa).” Kemudian beliau membawakan beberapa dalil, di antaranya hadits yang menjelaskan bahwa Allah k telah mengabulkan doa yang tersebut dalam firman-Nya:

رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Ya Allah janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kalau kami salah (karena tidak tahu).” (Al-Baqarah: 286)

(Hadits yang menjelaskan hal tersebut ada di Shahih Muslim).

Begitu pula ayat ke-106 di dalam surat An-Nahl yang menjelaskan tidak berlakunya hukum kekafiran terhadap orang yang melakukan kekafiran karena dipaksa. Maka hal ini tentu lebih berlaku pada permasalahan yang berhubungan dengan pembatal-pembatal puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/426-428)

Dan yang dimaksud oleh Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin adalah apabila orang tersebut benar-benar tidak tahu dan bukan orang yang tidak mau tahu, wallahu a’lam. Sehingga orang yang merasa dirinya teledor atau lalai karena tidak mau bertanya, tentu yang lebih selamat baginya adalah mengganti puasanya atau ditambah dengan membayar kaffarah bagi yang terkena kewajiban tersebut. (Lihat fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz t di dalam Fatawa Ramadhan, 2/435)

2. Orang yang muntah bukan karena keinginannya (tidak sengaja) tidaklah batal puasanya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits:

مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ

“Barang siapa yang muntah karena tidak disengaja, maka tidak ada kewajiban bagi dia untuk mengganti puasanya. Dan barang siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengganti puasanya.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya, dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani t di dalam Al-Irwa’ no. 930)

Oleh karena itu, orang yang merasa mual ketika dia menjalankan puasa, sebaiknya tidak berusaha memuntahkan apa yang ada dalam perutnya dengan sengaja, karena hal ini akan membatalkan puasanya. Dan jangan pula dia menahan muntahnya karena inipun akan berakibat negatif bagi dirinya. Maka biarkan muntahan itu keluar dengan sendirinya karena hal tersebut tidak membatalkan puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/481)

3. Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Ibnu Baz:

“Tidak mengapa untuk menelan ludah dan saya tidak melihat adanya perselisihan ulama dalam hal ini, karena hal ini tidak mungkin untuk dihindari dan akan sangat memberatkan. Adapun dahak maka wajib untuk diludahkan apabila telah berada di rongga mulut dan tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk menelannya karena hal itu memungkinkan untuk dilakukan dan tidak sama dengan ludah.”

4. Keluar darah bukan karena keinginannya seperti luka atau karena keinginannya namun dalam jumlah yang sedikit tidaklah membatalkan puasa.

Berkata Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin dalam beberapa fatwanya:
a. “Keluarnya darah di gigi tidaklah mempengaruhi puasa selama menjaga agar darahnya tidak ditelan…”.
b. “Pengetesan darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa yaitu pengambilan darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan karena keinginannya maka tidak apa-apa…”.
c. “Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak apabila berakibat dengan akibat yang sama dengan melakukan berbekam, seperti menyebabkan lemahnya badan dan membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan berbekam (yaitu batal puasanya)…” (Fatawa Ramadhan, 2/460-466).

Maka orang yang keluar darahnya akibat luka di giginya baik karena dicabut atau karena terluka giginya tidaklah batal puasanya. Namun dia tidak boleh menelan darah yang keluar itu dengan sengaja. Begitu pula orang yang dikeluarkan sedikit darahnya untuk diperiksa golongan darahnya tidaklah batal puasanya. Kecuali bila darah yang dikeluarkan dalam jumlah yang banyak sehingga membuat badannya lemah, maka hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana orang yang berbekam (yaitu mengeluarkan darah dengan cara tertentu dalam rangka pengobatan).

Meskipun terjadi perbedaan pendapat yang cukup kuat dalam masalah ini, namun yang menenangkan tentunya adalah keluar dari perbedaan pendapat. Maka bagi orang yang ingin melakukan donor darah, sebaiknya dilakukan di malam hari, karena pada umumnya darah yang dikeluarkan jumlahnya besar. Kecuali dalam keadaan yang sangat dibutuhkan, maka dia boleh melakukannya di siang hari dan yang lebih hati-hati adalah agar dia mengganti puasanya di luar bulan Ramadhan.

5. Pengobatan yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan puasa, karena obat suntik tidak tergolong makanan atau minuman. Berbeda halnya dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa karena dia berfungsi sebagai zat makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut mengalir ke kerongkongan. Terdapat perbedaan pendapat apakah mata dan telinga merupakan saluran ke kerongkongan sebagaimana mulut dan hidung, ataukah bukan. Namun wallahu a’lam yang benar adalah bahwa keduanya bukanlah saluran yang akan mengalirkan obat ke kerongkongan. Maka obat yang diteteskan melalui mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa. Meskipun bagi yang merasakan masuknya obat ke kerongkongan tidak mengapa baginya untuk mengganti puasanya agar keluar dari perselisihan. (Fatawa Ramadhan, 2/510-511)

6. Mencium dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa apabila tidak sampai keluar air mani meskipun mengakibatkan keluarnya madzi.

Rasulullah bersabda dalam sebuah hadits shahih yang artinya:
“Dahulu Rasulullah n mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa dan memeluk (istrinya) dalam keadaan beliau puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya di antara kalian.” (Lihat takhrijnya dalam kitab Al-Irwa, hadits no. 934)

Akan tetapi bagi orang yang khawatir akan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan jima’ karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya adalah menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekedar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya. Rasulullah bersabda:

... يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي ...

“(orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku.” (Shahih HR. Muslim)

Dan juga beliau bersabda:

دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يُرِيْبُكَ

“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kepada yang tidak meragukan.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai, dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t di Al-Irwa)

7. Bagi laki-laki yang sedang berpuasa diperbolehkan untuk keluar rumah dengan memakai wewangian. Namun bila wewangian itu berasal dari suatu asap atau semisalnya, maka tidak boleh untuk menghirupnya atau menghisapnya. Juga diperbolehkan baginya untuk menggosok giginya dengan pasta gigi kalau dibutuhkan. Namun dia harus menjaga agar tidak ada yang tertelan ke dalam tenggorokan, sebagaimana diperbolehkan bagi dirinya untuk berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan tidak terlalu kuat agar tidak ada air yang tertelan atau terhisap. Namun seandainya ada yang tertelan atau terhisap dengan tidak sengaja, maka tidak membatalkan puasa.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits:

“Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq (menghirup air ketika berwudhu) kecuali jika engkau sedang berpuasa (maka tidak perlu bersungguh-sungguh).” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan At-Tirmidzi, 3/788, An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani t di Al-Irwa, hadits no. 935)

8. Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk menyiram kepala dan badannya dengan air untuk mengurangi rasa panas atau haus. Bahkan boleh pula untuk berenang di air dengan selalu menjaga agar tidak ada air yang tertelan ke tenggorokan.

9. Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk ke kerongkongan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas dalam sebuah atsar:

لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ وَالشَّيْءَ يُرِيْدُ شَرَاءَهُ

“Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang dia akan membelinya.” (Atsar ini dihasankan As-Syaikh Al-Albani t di Al-Irwa no. 937)

Demikian beberapa hal yang bisa kami ringkaskan dari penjelasan para ulama. Yang paling penting bagi setiap muslim, adalah meyakini bahwa Rasulullah n tentu telah menjelaskan seluruh hukum-hukum yang ada dalam syariat Islam ini. Maka, kita tidak boleh menentukan sesuatu itu membatalkan puasa atau tidak dengan perasaan semata. Bahkan harus mengembalikannya kepada dalil dari Al Qur`an dan As Sunnah dan penjelasan para ulama.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Hukum Ringkas Puasa Ramadhan

Penulis : Al-Ustadz Abu Abdirrahman Al-Bugisi

Dinukil dari www.asysyariah.com

Menyambut Ramadhan, banyak acara digelar kaum muslimin. Di antara acara tersebut ada yang telah menjadi tradisi yang “wajib” dilakukan meski syariat tidak pernah memerintahkan untuk membuat berbagai acara tertentu menyambut datangnya bulan mulia tersebut.

Puasa Ramadhan merupakan salah satu dari kewajiban puasa yang ditetapkan syariat yang ditujukan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah k. Hukum puasa sendiri terbagi menjadi dua, yaitu puasa wajib dan puasa sunnah. Adapun puasa wajib terbagi menjadi 3: puasa Ramadhan, puasa kaffarah (puasa tebusan), dan puasa nadzar.

Keutamaan Bulan Ramadhan
Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al Qur’an. Allah ta'ala berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ

“Bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil).” (Al-Baqarah: 185)
Pada bulan ini para setan dibelenggu, pintu neraka ditutup dan pintu surga dibuka.
Rasulullah n bersabda:

إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِقَتْ أَبْوَابُ النِّيْرَانِ وَصُفِدَتِ الشَّيَاطِيْنُ

“Bila datang bulan Ramadhan dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka dan dibelenggulah para setan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Pada bulan Ramadhan pula terdapat malam Lailatul Qadar. Allah ta'ala berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ. تَنَزَّلُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ. سَلاَمٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al Qur’an pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan hingga terbit fajar.” (Al-Qadar: 1-5)

Penghapus Dosa

Ramadhan adalah bulan untuk menghapus dosa. Hal ini berdasar hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لَمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ

“Shalat lima waktu, dari Jum’at (yang satu) menuju Jum’at berikutnya, (dari) Ramadhan hingga Ramadhan (berikutnya) adalah penghapus dosa di antaranya, apabila ditinggalkan dosa-dosa besar.” (HR. Muslim)

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan dengan keimanan dan mengharap ridha Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)


Rukun Berpuasa

a. Berniat sebelum munculnya fajar shadiq. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah n:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits ‘Umar bin Al-Khaththab)
Juga hadits Hafshah, bersabda Rasulullah:

مَنْ لَمْ يَجْمَعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

“Barangsiapa yang tidak berniat berpuasa sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan)

Asy-Syaikh Muqbil menyatakan bahwa hadits ini mudhtharib (goncang) walaupun sebagian ulama menghasankannya.

Namun mereka mengatakan bahwa ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, Hafshah, ‘Aisyah g, dan tidak ada yang menyelisihinya dari kalangan para shahabat.
Persyaratan berniat puasa sebelum fajar dikhususkan pada puasa yang hukumnya wajib, karena Rasulullah n pernah datang kepada ‘Aisyah x pada selain bulan Ramadhan lalu bertanya: “Apakah kalian mempunyai makan siang? Jika tidak maka saya berpuasa.” (HR. Muslim)

Masalah ini dikuatkan pula dengan perbuatan Abud-Darda, Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan Hudzaifah ibnul Yaman g. Ini adalah pendapat jumhur.
Para ulama juga berpendapat bahwa persyaratan niat tersebut dilakukan pada setiap hari puasa karena malam Ramadhan memutuskan amalan puasa sehingga untuk mengamalkan kembali membutuhkan niat yang baru. Wallahu a’lam.

Berniat ini boleh dilakukan kapan saja baik di awal malam, pertengahannya maupun akhir. Ini pula yang dikuatkan oleh jumhur ulama1.

b. Menahan diri dari setiap perkara yang membatalkan puasa dimulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.

Telah diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim hadits dari ‘Umar bin Al-Khaththab z bahwa Rasulullah n bersabda:

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَهُنَا وَأَدْرَكَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ

“Jika muncul malam dari arah sini (barat) dan hilangnya siang dari arah sini (timur) dan matahari telah terbenam, maka telah berbukalah orang yang berpuasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Puasa dimulai dengan munculnya fajar. Namun kita harus hati-hati karena terdapat dua jenis fajar, yaitu fajar kadzib dan fajar shadiq. Fajar kadzib ditandai dengan cahaya putih yang menjulang ke atas seperti ekor serigala. Bila fajar ini muncul masih diperbolehkan makan dan minum namun diharamkan shalat Shubuh karena belum masuk waktu.

Fajar yang kedua adalah fajar shadiq yang ditandai dengan cahaya merah yang menyebar di atas lembah dan bukit, menyebar hingga ke lorong-lorong rumah. Fajar inilah yang menjadi tanda dimulainya seseorang menahan makan, minum dan yang semisalnya serta diperbolehkan shalat Shubuh.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah bersabda:

الْفَجْرُ فَجْرَانِ فَأَمَّا اْلأَوَّلُ فَإِنَّهُ لاَ يُحْرِمُ الطَّعَامَ وَلاَ يُحِلُّ الصَّلاَةَ وَأَمَّا الثَّانِي فَإِنَّهُ يُحْرِمُ الطَّعَامَ وَيُحِلُّ الصَّلاَةَ

“Fajar itu ada dua, yang pertama tidak diharamkan makan dan tidak dihalalkan shalat (Shubuh). Adapun yang kedua (fajar) adalah yang diharamkan makan (pada waktu tersebut) dan dihalalkan shalat.” (HR. Ibnu Khuzaimah, 1/304, Al-Hakim, 1/304, dan Al-Baihaqi, 1/377

Namun para ulama menghukumi riwayat ini mauquf (hanya perkataan Ibnu ‘Abbas c dan bukan sabda Nabi n). Di antara mereka adalah Al-Baihaqi, Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya (2/165), Abu Dawud dalam Marasil-nya (1/123), dan Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Tarikh-nya (3/58). Juga diriwayatkan dari Tsauban dengan sanad yang mursal. Sementara diriwayatkan juga dari hadits Jabir dengan sanad yang lemah.
Wallahu a’lam.

1 Cukup dengan hati dan tidak dilafadzkan dan makan sahurnya seseorang sudah menunjukkan dia punya niat berpuasa, red


Siapa yang Diwajibkan Berpuasa?

Orang yang wajib menjalankan puasa Ramadhan memiliki syarat-syarat tertentu. Telah sepakat para ulama bahwa puasa diwajibkan atas seorang muslim yang berakal, baligh, sehat, mukim, dan bila ia seorang wanita maka harus bersih dari haidh dan nifas.
Sementara itu tidak ada kewajiban puasa terhadap orang kafir, orang gila, anak kecil, orang sakit, musafir, wanita haidh dan nifas, orang tua yang lemah serta wanita hamil dan wanita menyusui.
Bila ada orang kafir yang berpuasa, karena puasa adalah ibadah di dalam Islam maka tidak diterima amalan seseorang kecuali bila dia menjadi seorang muslim dan ini disepakati oleh para ulama.
Adapun orang gila, ia tidak wajib berpuasa karena tidak terkena beban beramal. Hal ini berdasarkan hadits ‘Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah bersabda:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ وَعَنِ الصَّبِي حَتَّى يَحْتَلِمَ

“Diangkat pena (tidak dicatat) dari 3 golongan: orang gila sampai dia sadarkan diri, orang yang tidur hingga dia bangun dan anak kecil hingga dia baligh.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Meski anak kecil tidak memiliki kewajiban berpuasa sebagaimana dijelaskan hadits di atas, namun sepantasnya bagi orang tua atau wali yang mengasuh seorang anak agar menganjurkan puasa kepadanya supaya terbiasa sejak kecil sesuai kesanggupannya.

Sebuah hadits diriwayatkan Ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz:

“Utusan Rasulullah mengumumkan di pagi hari ‘Asyura agar siapa di antara kalian yang berpuasa maka hendaklah dia menyempurnakannya dan siapa yang telah makan maka jangan lagi dia makan pada sisa harinya. Dan kami berpuasa setelah itu dan kami mempuasakan kepada anak-anak kecil kami. Dan kami ke masjid lalu kami buatkan mereka mainan dari wol, maka jika salah seorang mereka menangis karena (ingin) makan, kamipun memberikan (mainan tersebut) padanya hingga mendekati buka puasa.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Sementara itu, bagi orang-orang lanjut usia yang sudah lemah (jompo), orang sakit yang tidak diharapkan sembuh, dan orang yang memiliki pekerjaan berat yang menyebabkan tidak mampu berpuasa dan tidak mendapatkan cara lain untuk memperoleh rizki kecuali apa yang dia lakukan dari amalan tersebut, maka bagi mereka diberi keringanan untuk tidak berpuasa namun wajib membayar fidyah yaitu memberi makan setiap hari satu orang miskin.

Berkata Ibnu Abbas:
“Diberikan keringanan bagi orang yang sudah tua untuk tidak berpuasa dan memberi makan setiap hari kepada seorang miskin dan tidak ada qadha atasnya.” (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Hakim dan dishahihkan oleh keduanya)

Anas bin Malik z tatkala sudah tidak sanggup berpuasa maka beliau memanggil 30 orang miskin lalu (memberikan pada mereka makan) sampai mereka kenyang. (HR. Ad-Daruquthni 2/207 dan Abu Ya’la dalam Musnad-nya 7/204 dengan sanad yang shahih. Lihat Shifat Shaum An-Nabi, hal. 60)

Orang-orang yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa namun wajib atas mereka menggantinya di hari yang lain adalah musafir, dan orang yang sakit yang masih diharap kesembuhannya yang apabila dia berpuasa menyebabkan kekhawatiran sakitnya bertambah parah atau lama sembuhnya.
Allah berfirman:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka, maka wajib baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184)

Demikian pula bagi wanita hamil dan menyusui yang khawatir terhadap janinnya atau anaknya bila dia berpuasa, wajib baginya meng-qadha puasanya dan bukan membayar fidyah menurut pendapat yang paling kuat dari pendapat para ulama.
Hal ini berdasar hadits Anas bin Malik Al-Ka’bi, bersabda Rasulullah:

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلاَةِ وَالصَّوْمَ وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ

“Sesungguhnya Allah telah meletakkan setengah shalat dan puasa bagi orang musafir dan (demikian pula) bagi wanita menyusui dan yang hamil.” (HR. An-Nasai, 4/180-181, Ibnu Khuzaimah, 3/268, Al-Baihaqi, 3/154, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)

Yang tidak wajib berpuasa namun wajib meng-qadha (menggantinya) di hari lain adalah wanita haidh dan nifas.

Telah terjadi kesepakatan di antara fuqaha bahwa wajib atas keduanya untuk berbuka dan diharamkan berpuasa. Jika mereka berpuasa, maka dia telah melakukan amalan yang bathil dan wajib meng-qadha.

Di antara dalil atas hal ini adalah hadits Aisyah:

كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُأْمَرُ بِقَضَاءِ الصِّيَامِ وَلاَ نُأْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ

“Adalah kami mengalami haidh lalu kamipun diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan meng-qadha shalat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


Wallohu a’lam

Bahaya Ponsel di Tangan Anak

Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah

Dinukil dari www.asysyariah.com


Dulu benda satu ini dianggap sebuah barang mewah dan bergengsi. Namun siapa sangka belakangan ini berubah menjadi bak kacang goreng, dijual murah dan laris manis di berbagai kalangan. Siapa pun bisa menikmatinya.

Sekarang handphone (HP) atau telepon genggam atau telepon seluler (ponsel), benar-benar berada dalam genggaman siapa saja. Tak hanya kalangan pebisnis kelas tinggi, pedagang kaki lima pun berponsel. Tak cuma yang berpenampilan necis dan perlente, yang berkoteka di pedalaman pun kini bisa akrab dengan handphone. Yang lebih parah lagi, anak-anak pun sekarang diasuh oleh ponsel. Padahal nyata-nyata banyak akibat negatif yang ditimbulkannya.

Ada seorang ibu yang gelisah menunggu putranya yang tak kunjung pulang dari sekolah. Padahal hari telah senja. Sejak tadi dihubunginya si anak lewat ponselnya, tapi tak juga terhubung. “Memang begitu anak-anak!” gerutunya, “Kita yang kasih ponsel, sulitnya kita menghubungi. Eh... giliran dia pergi sama kita, krang-kring krang-kring teman-temannya bisa saja menghubungi!”

Ada lagi ibu yang mengeluhkan, murid-murid berponsel di sekolah anaknya –sebuah sekolah dasar ternama di sebuah kota besar– mendapat kiriman gambar-gambar tak senonoh dari pengirim tak dikenal. Akhirnya jadi hebohlah kanak-kanak yang harusnya masih polos dan bersih ini.

Ini baru dua dampak negatif yang nyata-nyata terjadi. Inilah akibatnya jika benda semacam ini ada di tangan yang tidak semestinya. Di balik satu keuntungan yang ingin diperoleh –agar mudah menghubungi si anak di setiap waktu– ternyata berbagai kerusakan tersimpan. Apalagi seiring perkembangan spesifikasinya, fitur-fitur ponsel turut dikembangkan dan dibuat kian mudah.

Hubungan telepon yang makin mudah

Inilah yang mungkin pada awalnya dikehendaki oleh orangtua; agar mereka mudah menghubungi dan mengontrol anak-anak melalui telepon. Namun ternyata efek sampingnya lebih membahayakan, karena anak-anak juga makin mudah menghubungi teman-temannya tanpa bisa terawasi. Tidak terlalu sulit bagi anak menghapus daftar panggilan keluar, sehingga anak merasa ‘aman’ menghubungi teman-teman yang selama ini dilarang oleh orangtuanya. Akibatnya, justru bertambah sulit pengawasan terhadap anak dilakukan.

Apalagi anak-anak yang ‘baru gede’, fasilitas yang diberikan orangtua ini dapat membuka celah fitnah terhadap lawan jenis. Tanpa rasa malu anak-anak perempuan mengobrol dengan teman laki-laki mereka. Wal ‘iyadzu billah!
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullahu pernah ditanya tentang pembicaraan lewat telepon antara seseorang yang mengkhitbah (melamar) wanita dengan wanita yang dikhitbahnya (dilamarnya).

Beliau menjawab, “Pembicaraan antara orang yang mengkhitbah dengan wanita yang dikhitbahnya melalui telepon tidak mengapa jika hal ini dilakukan setelah khitbah ini diterima. Pembicaraan ini pun hanya dilakukan untuk saling memahami sekadar keperluannya, serta tidak ada fitnah antara mereka berdua. Namun bila hal ini dilakukan melalui perantaraan wali si wanita, maka ini lebih sempurna dan lebih jauh dari sesuatu yang mencurigakan.

Adapun pembicaraan (lewat telepon, pen.) yang terjadi antara pria dan wanita, maupun antara pemuda dan pemudi yang tidak terjadi khitbah di antara mereka, dan semata-mata untuk berkenalan –sebagaimana yang mereka katakan– maka ini perkara yang mungkar, haram dan menggiring ke arah fitnah serta bisa menjatuhkan pada perbuatan keji.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا

“Dan janganlah kalian berlemah lembut dalam berbicara sehingga orang yang berpenyakit di hatinya memiliki keinginan terhadap kalian dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)

Maka seorang wanita tidak boleh berbicara dengan pria ajnabi (yang bukan mahramnya) kecuali karena suatu kepentingan, dengan ucapan yang baik, tidak mengandung fitnah maupun sesuatu yang mencurigakan.

Para ulama juga telah menyatakan bahwa seorang wanita yang berihram bertalbiyah tanpa mengeraskan suaranya. Di dalam hadits dikatakan pula:

إِذَا أَنَابَكُمْ شَيْءٌ فِي صَلاَتِكُمْ فَلْتُسَبِّحِ الرِّجَالُ وَلْتصفقِ النِّسَاءُ

“Apabila terjadi sesuatu dalam shalat kalian, hendaknya para laki-laki bertasbih dan para wanita menepukkan tangan.”

Ini termasuk dalil yang menunjukkan bahwa wanita tidak boleh memperdengarkan suaranya kepada laki-laki kecuali dalam keadaan-keadaan yang memang membutuhkan pembicaraan, disertai rasa malu.” (Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah, 2/605-606)

Musik

Yang satu ini tak lepas dari ponsel. Dalam ponsel yang paling sederhana pun tersedia nada dering musik meski dengan format yang juga sederhana. Lebih-lebih lagi yang canggih. Bahkan tersedia khusus seri ponsel musik dalam berbagai merek dan harga yang bervariasi, dilengkapi deretan album lagu yang siap didengar oleh siapa pun yang menginginkan.

Sayangnya, masih banyak kaum muslimin yang kurang atau bahkan tidak memerhatikan hal ini. Ketika ada panggilan masuk, yang terdengar tak hanya deringan, tapi alunan musik atau penggalan lagu. Allahul musta’an!

Masihkah kita bermudah-mudah dalam hal ini, sementara telah jelas bagi kita haramnya musik dan nyanyian?1 Tidakkah kita merasa khawatir termasuk orang-orang yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ...

“Sungguh nanti akan muncul di kalangan umatku orang-orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat-alat musik....” (HR. Al-Bukhari no. 5590 dari sahabat yang mulia Abu ‘Amir Al-Asy’ari dan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhuma)

Gambar-gambar makhluk bernyawa

Kini ponsel tak sekadar menyajikan tulisan, namun juga gambar. Yang menjadi masalah, tampil juga gambar-gambar makhluk bernyawa. Tak hanya dalam bentuk gambar biasa ataupun foto. Kini konten-konten yang memuat gambar-gambar makhluk bernyawa tersedia pula dalam bentuk animasi atau gambar bergerak. Bisa dalam bentuk game ataupun film kartun, semua bisa didapatkan dengan mudah oleh peminat. Dari yang riil hingga khayalan. Semua ini menambah minat pengguna, termasuk anak-anak. Hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang dapat dimintai pertolongan menghadapi musibah seperti ini.

Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah pernah memerintahkan untuk menghapus gambar-gambar bernyawa, sebagaimana yang dikatakan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu kepada Abul Hayyaj Al-Asadi, “Maukah engkau kuutus dengan apa yang dulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutusku? (Beliau mengatakan padaku):

أَنْ لاَ تَدَعْ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ

“Janganlah engkau biarkan gambar (makhluk bernyawa, pen.) kecuali engkau hapus dan jangan pula kau biarkan kubur yang ditinggikan kecuali kau ratakan.” (HR. Muslim no. 2240)2

Menyia-nyiakan waktu

Memegang ponsel di tangan, bagi anak-anak, bukan sebagai alat untuk mempercepat kerja atau mendukung aktivitas. Ponsel di tangan mereka tak ubahnya seperti mainan.
Waktu mereka banyak tersita untuk mengobrol atau berkirim sms dengan teman-teman tanpa suatu kepentingan yang mengharuskan. Belum lagi ketersediaan game yang kian menarik dan variatif, menambah kecanduan si anak. Apalagi berbagai konten bisa diunduh dengan relatif mudah dan murah.

Tidakkah kita ingat dengan peringatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang waktu? Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, menukilkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

“Ada dua nikmat yang sebagian besar manusia terlena di dalamnya, kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari no. 6412)

Terkikislah sudah kenikmatan menghabiskan waktu luang dengan membaca Al-Qur’an. Bahkan mungkin bagi mereka, membaca Al-Qur’an adalah aktivitas yang menjenuhkan. Nas’alullahas salamah! Betapa jauhnya keadaan anak-anak kita dengan anak-anak yang hidup dekat dengan masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal mestinya kita meneladani mereka. Lihat bagaimana ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menuturkan tentang dirinya:

تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَأَنَا ابْنُ عَشْرِ سِنِيْن وَقَدْ قَرَأْتُ المُحْكَمَ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat ketika aku berumur sepuluh tahun, sementara aku telah menghafal ayat-ayat muhkam3.” (HR. Al-Bukhari no. 5035)
Betapa jauhnya keadaan kita dengan generasi awal umat ini. Kita membuat anak-anak sibuk dengan hal-hal yang kurang atau bahkan tidak bermanfaat, sementara mereka selalu menghasung dan menyibukkan anak-anak dengan ilmu agama. Kita mengenyangkan anak-anak dengan berbagai permainan dan kesia-siaan, sementara mereka selalu mengenyangkan anak-anak dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat bagaimana ‘Utbah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu berpesan kepada pendidik putranya, “Ajarilah dia Kitabullah, puaskan dia dengan hadits, dan jauhkan dia dari syair.” (Waratsatul Anbiya’, hal.30)

Dampak buruk bagi kesehatan

Bermain game dari sebuah ponsel adalah sebuah aktivitas yang mengasyikkan bagi anak-anak. Apalagi berbagai macam game terbaru bisa didapat dengan mudah. Tanpa terasa, anak-anak bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk bermain game.
Sebenarnya ini perlu diwaspadai, karena penggunaan ponsel yang berlebihan disinyalir dapat memengaruhi tubuh manusia. Hal ini disebabkan oleh radiasi yang timbul dari gelombang elektromagnetik pada ponsel. Berbagai penelitian telah dilakukan dan menunjukkan adanya pengaruh radiasi ponsel dalam memicu timbulnya penyakit kanker. Bahkan para dokter mulai memperingatkan adanya bahaya ponsel bagi anak-anak.
Melihat kenyataan seperti ini, orangtua yang bijaksana tentunya akan menimbang-nimbang, sudah tepatkah jika anak-anak mereka memegang peranti teknologi yang satu ini? Anak-anak kita masih memerlukan banyak bimbingan. Akal mereka belum sempurna untuk memilah yang benar dan yang salah, yang boleh dilakukan dan yang harus ditinggalkan. Mereka juga masih begitu rentan sehingga berbagai risiko relatif mudah akan menimpa mereka.

Tidakkah lebih baik jika kita pilihkan segala sesuatu yang terbaik, bukan menurut anggapan kita, namun menurut bimbingan syariat?
Bukankah lebih baik jika kita jauhkan anak-anak dari segala sesuatu yang mengandung bahaya bagi mereka?

Itu semua untuk kebaikan mereka, di dunia dan di akhirat, dan itu berarti kebaikan pula bagi kita –orangtua mereka.

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Apabila seseorang meninggal, terputus seluruh amalannya kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, atau ilmu yang diambil manfaatnya, atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Abu Dawud no. 2880, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Haramnya musik dan nyanyian ini telah dibahas secara lengkap dalam Majalah Asy Syari’ah Vol.IV/No.40/1429 H/2008, walhamdulillah. Silakan melihat kembali pembahasannya.
2 Pembahasan tentang haramnya gambar bernyawa telah dimuat secara berseri dalam Majalah Asy Syari’ah Vol.II/No. 21-23/1427 H/2006, walhamdulillah. Silakan menyimak pembahasan di sana.
3 Maksudnya ayat-ayat yang tidak dimansukh atau ayat-ayat yang bukan mutasyabih (samar maknanya).

Yang Tua Dihormati, Yang Kecil Disayangi

Penulis : Al-Ustadz Abu Muhammad AbdulMu’thi, Lc

Dinukil dari www.asysyariah.com

Tiada tatanan kehidupan yang lebih indah dari yang dibawa oleh syariat Islam. Konsep menuju kehidupan yang tenteram dan damai baik sebagai individu maupun kelompok telah dipaparkan dengan gamblangnya dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara konsep tersebut adalah keharusan menjalin kasih sayang kepada sesama muslim tanpa memandang usia, asal-usul serta status sosial. Eratnya tali cinta kasih ini juga tidak terbatas ketika mereka sama-sama masih hidup, bahkan telah mati sekalipun. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengabadikan doa orang-orang yang beriman yang datang setelah kaum Muhajirin dan Anshar dalam Al-Qur’an:

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha penyantun lagi Maha penyayang’.” (Al-Hasyr: 10)

Ucapan selamat dan doa kebaikan selalu muncul dari mulut mereka yang manis terhadap saudara-saudaranya. Coba kita lihat bagaimana bimbingan Nabi kita saat kita berziarah kubur. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing mengucapkan doa:

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلَاحِقُونَ أَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ

“Semoga kesejahteraan dilimpahkan atas kalian wahai penghuni kubur dari kaum mukminin dan muslimin. Sesungguhnya kami (juga) akan menyusul (kalian) insya Allah. Aku memohon keselamatan untuk kami dan kalian kepada Allah.” (HR. Muslim, kitab Al-Janaiz no. 975)

Bahkan setiap tasyahud dalam shalat, kita membaca:

السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِينَ

“Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepada kita dan hamba-hamba Allah yang shalih.”
Inilah bentuk kecintaan yang bersumber dari hati-hati yang dalam. Kaum muslimin akan selalu kuat dan berwibawa manakala tali agama ini dipegang erat-erat. Dengannya, musuh-musuh agama ditimpa perasaan takut dan tidak bisa melihat umat ini dengan pandangan remeh.

Berikut akan kami uraikan dua permasalahan penting demi tercapainya suasana keakraban yang membuahkan kasih sayang di antara kaum muslimin.

Pertama: memuliakan orang yang lebih tua.
Menghormati orang yang tua bukan hanya budaya, namun bagian dari akhlak mulia dan terpuji yang diseru oleh Islam. Hal ini dilakukan dengan cara memuliakannya dan memerhatikan hak-haknya. Terlebih, bila disamping tua umurnya, juga lemah fisik, mental, dan status sosialnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا

“Barangsiapa tidak menyayangi anak kecil kami dan tidak mengenal hak orang tua kami maka bukan termasuk golongan kami.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab, lihat Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 271)

Hadits ini merupakan ancaman bagi orang yang menyia-nyiakan dan meremehkan hak orang yang sudah tua, di mana orang tersebut tidak di atas petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menepati jalannya.

Menghormati mereka termasuk mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ مِنْ إِجْلَالِ اللهِ إِكْرَامَ ذِي الشَّيْبَةِ الْمُسْلِمِ وَحَامِلِ الْقُرْآنِ غَيْرَ الْغَالِي فِيْهِ وَالْجَافِي عَنْهُ وَإِكْرَامَ ذِي السُّلْطَانِ الْمُقْسِطِ

“Sesungguhnya termasuk mengagungkan Allah adalah menghormati seorang muslim yang beruban (sudah tua), pembawa Al-Qur’an yang tidak berlebih-lebihan padanya (dengan melampaui batas) dan tidak menjauh (dari mengamalkan) Al-Qur’an tersebut, serta memuliakan penguasa yang adil.” (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tarhib no. 92)

Orang tua tentunya telah melewati berbagai macam tahapan hidup di dunia ini sehingga setumpuk pengalaman dimilikinya. Orang yang telah mencapai kondisi ini biasanya ketika hendak melakukan sesuatu telah dipikirkan matang-matang. Terlebih lagi, disamping banyak pengalamannya, juga mendalam ilmu dan ibadahnya. Ini berbeda dengan kebanyakan anak muda yang umumnya masih minim ilmunya, dangkal pengalamannya, dan sering memperturutkan hawa nafsunya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الْبَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ

“Barakah itu bersama orang-orang tua dari kalian.” (HR. Ibnu Hibban, Al-Hakim, dll, lihat Shahihul Jami’ no. 2884)

Mungkin kita bisa mengambil pelajaran dari fitnah Khawarij (kelompok sesat) di masa sahabat Ali radhiyallahu ‘anhu. Semangat mereka dalam mengamalkan agama tidak diimbangi dengan mengikuti pemahaman para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para Khawarij yang umumnya dari kalangan muda terkadang berdalilkan dengan dalil-dalil syariat, sesuatu yang sebenarnya bukan dalil bagi mereka. Para sahabat yang mengetahui sebab turunnya ayat dan sebab periwayatan hadits tentunya lebih tahu maksudnya dari mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan di antara ciri-ciri Khawarij yang akan muncul adalah:

سَيَخْرُجُ قَوْمٌ فِي آَخِرِ الزَّمَانِ أَحْدَاثُ الْأَسْنَانِ سُفَهَاءُ الْأَحْلَامِ

“Akan muncul di akhir zaman suatu kaum yang muda umurnya (para pemuda) yang bodoh akalnya.” (HR. Al-Bukhari no. 6930)
An-Nawawi rahimahullahu menerangkan: “Diambil faedah dari hadits ini bahwa kekokohan dan kuatnya pandangan hati adalah ketika seorang telah sempurna umurnya, banyak pengalamannya, dan kuat pemahamannya.”(Fathul Bari 12/287)

Mendahulukan orang yang lebih tua

Ada beberapa keadaan yang disyariatkan untuk mengutamakan orang yang lebih tua, di antaranya:

1. Dalam mengimami shalat.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Malik bin Al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu:

إِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ لِيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمُّكُمْ أَكْبَرُكُمْ

“Bila waktu shalat telah tiba maka hendaklah salah seorang kalian mengumandangkan adzan dan orang yang paling tua mengimami shalat kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 628)

Disebutkan dalam hadits lain, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang) artinya:

“Yang mengimami manusia adalah orang yang pandai membaca (memahami) Al-Qur’an. Bila dari sisi bacaan Al-Qur’an mereka sama maka yang paling tahu tentang sunnah. Bila pengetahuan mereka tentang sunnah sama maka yang paling dahulu berhijrah. Bila dalam hijrah mereka sama maka yang paling tua umurnya.” (HR. Muslim)

2. Dalam berbicara dan memberikan keterangan, kecuali yang kecil lebih tahu dan lebih mampu berbicara.

Disebutkan oleh Sahl bin Abi Hatsmah bahwa Abdullah bin Sahl dan Muhayyishah bertolak pergi menuju Khaibar yang pada saat itu ada ikatan perdamaian. Sesampainya di sana keduanya berada di tempat yang berbeda. Setelah itu Muhayyishah datang (menemui temannya), Abdullah bin Sahl, dan ternyata didapati dalam keadaan bersimbah darah, terbunuh. Muhayyishah lalu mengubur temannya kemudian pulang ke Madinah. Setelah itu Abdurrahman bin Sahl (saudara Abdullah yang terbunuh tersebut), Muhayyishah, dan Huwayyishah putra Mas’ud datang menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Abdurrahman yang waktu itu adalah orang paling kecil yang menghadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin berbicara, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Hendaknya yang paling tua yang berbicara.” Maka kedua temannya yang berbicara dan Abdurrahman diam.” (HR. Al-Bukhari no. 3173)

Perhatikanlah. Meski seorang dalam keadaan tertimpa musibah namun seorang tetap menjaga adab-adab agamanya.

3. Dalam pemberian.
Sebagaimana hadits yang diceritakan oleh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiwak (membersihkan gigi dan lisan dengan batang siwak), lalu beliau memberikan siwak tadi kepada orang yang paling tua. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:

إِنَّ جِبْرِيلَ أَمَرَنِي أَنْ أُكَبِّرَ

“Sesungguhnya Jibril memerintahkan aku untuk memberikan kepada yang paling tua.” (lihat Ash-Shahihah no. 1555, dan hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad)
Ibnu Baththal rahimahullahu mengatakan: “Dalam hadits ini ada faedah yaitu mengutamakan orang yang sudah berusia lanjut dalam pemberian siwak. Masuk pula dalam hal ini mendahulukan dalam hal diberi makanan dan minuman, berjalan dan berbicara. Al-Muhallab berkata: ‘Hal ini dilakukan apabila manusia tidak duduk dengan berurutan, bila mereka duduk berurutan maka yang sunnah ketika itu mendahulukan yang kanan’.” (Ash-Shahihah vol. IV/76)

Sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi susu yang dicampur dengan air. Di sebelah kanan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang badui sedangkan di sebelah kirinya ada Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu. Nabi meminum susu tadi lalu memberikannya kepada badui itu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:

الْأَيْمَنَ فَالْأَيْمَنَ

“(Dahulukan) yang kanan lalu yang kanan.” (HR. Al-Bukhari no. 5619)
Demikian besarnya hak-hak orang yang sudah tua dan penghormatan kepada mereka sangat ditekankan bila dia itu adalah orangtuanya, kakeknya, pamannya, kerabat atau tetangganya. Karena mereka memiliki hak yang besar sebagai karib kerabat dan tetangga. Orang yang menghormati/memuliakan mereka maka dia akan dihormati saat tuanya. Balasan setimpal dengan perbuatan. Seperti apa kamu berbuat, maka seperti itu pula kamu dibalas.

Disebutkan dari Yahya bin Sa’id Al-Madani, ia berkata, “Telah sampai berita kepada kami bahwa siapa saja yang menghinakan orang yang sudah tua maka ia tidak akan mati sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus seorang yang menghinakannya di saat dia telah tua.” (lihat Al-Fawaid Al-Mantsurah hal. 84 karya Dr. Abdurrazzaq Al-Badr)

Orang yang sudah beruban
Termasuk tanda-tanda orang yang telah menginjak usia lanjut adalah uban yang menghiasi kepalanya, kekuatan fisik yang mengendur, pandangan dan penglihatan yang mulai berkurang ketajamannya. Seorang muslim yang telah mencapai kondisi seperti ini tentunya telah melewati masa-masa yang panjang dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Berbagai manis dan getirnya kehidupan telah dilakoninya. Dia pun merasa ajal telah dekat sehingga pendekatan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semakin bertambah. Orang yang panjang umurnya dan baik amalannya adalah sebaik-baik orang, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ

“Sebaik-baik orang ialah yang panjang umurnya dan baik amalannya.” (HR. At-Tirmidzi dan dia menghasankannya)

Orang yang beruban rambutnya karena menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia memiliki keutamaan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي الْإِسْلَامِ كَانَتْ لَهُ نُوْرًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa beruban dengan suatu uban di dalam Islam maka uban itu akan menjadi cahaya baginya di hari kiamat.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasa’i. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Shahihul Jami’ no. 6307)

Maksudnya, uban tersebut akan menjadi cahaya, sehingga pemiliknya menjadikannya sebagai penunjuk jalan. Cahaya itu akan berjalan di hadapannya di kegelapan padang mahsyar, sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala memasukkannya ke dalam jannah (surga). Uban, meski bukan rekayasa hamba, namun bila muncul karena suatu sebab, seperti jihad atau takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ditempatkan pada usaha (amalan) hamba. Oleh karena itu, dimakruhkan –bahkan tidak keliru bila dikatakan haram– mencabut uban yang ada di jenggot atau semisalnya. (lihat Faidhul Qadir karya Al-Munawi, 6/202)

Tentang larangan mencabut uban, telah diriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا تَنْتَفُوا الشَّيْبَ فَإِنَّهُ نُورُ الْمُسْلِمِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Janganlah kalian mencabut uban, karena ia merupakan cahaya seorang muslim di hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, dll. Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam Riyadush Shalihin menghasankannya)

Kedua: menyayangi anak kecil
Bila orang yang telah lanjut usia mendapatkan hak penghormatan dan pemuliaan, demikian pula dengan anak yang masih kecil, dia berhak mendapat kasih sayang yang penuh. Anak kecil yang belum baligh secara umum masih lemah fisik dan mentalnya, serta belum mengetahui persis tentang kemaslahatan untuk dirinya. Kondisi yang seperti ini tentunya menggugah kita untuk memberikan kasih sayang kepadanya, karena beban syariat juga belum ditujukan kepadanya dan pena pencatat dosa pun belum berlaku atasnya. Oleh karenanya, menyayangi anak kecil merupakan keharusan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا

“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil kami.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menshahihkannya dalam Riyadhush Shalihin)

Bila sifat belas kasihan dicabut dari seseorang maka hal itu menjadi pertanda kecelakaan baginya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُنْزَعُ الرَّحْمَةُ إِلاَّ مِنْ شَقِيٍّ

“Tidaklah sifat kasih sayang dicabut melainkan dari orang yang celaka.” (HR. Ahmad dll. Dalam Shahihul Jami’ no. 7467, Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu menshahihkannya)

Pernah pada suatu saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma, cucunya. Waktu itu, di sisi Nabi ada seorang bernama Al-Aqra’ bin Habis At-Tamimi sedang duduk. Maka Al-Aqra’ mengatakan: “Sesungguhnya saya memiliki sepuluh anak, tidak pernah satu pun yang saya cium.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kepadanya dan mengatakan:

مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ

“Orang yang tidak menyayangi maka tidak disayangi (Allah Subhanahu wa Ta’ala).” (HR. Al-Bukhari no. 5997)

Lihatlah, betapa meruginya yang tidak mendapat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala padahal rahmat-Nya sangat luas. Sungguh balasan kebaikan adalah kebaikan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ

“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Ar-Rahman: 60)
Tentunya, menyayangi anak kecil tidak hanya terbatas pada anaknya sendiri bahkan umum sifatnya. Bentuk menyayangi anak kecil juga banyak. Misalnya, dengan mencandainya tanpa ada kedustaan untuk memasukkan kegembiraan pada dirinya, menciumnya, menggendongnya, mengusap kepalanya, menyapa dan menyalaminya, serta mengucapkan salam kepadanya.

Pada suatu saat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu melewati anak-anak kecil lalu ia mengucapkan salam kepada mereka. Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan demikian.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Termasuk menyayangi anak kecil adalah tidak mengarahkan mereka kepada hal-hal yang membahayakannya.

Demikianlah bimbingan Islam yang sangat mulia. Umat hendaknya membuka mata agar melihat dengan nyata indahnya agama yang mereka anut ini. Perlu dipertegas kembali bahwa bimbingan Islam selalu relevan, tidak akan pernah usang dengan perubahan waktu dan zaman. Kita tidak akan terlalu bahagia dengan pesatnya teknologi dan menjamurnya penemuan (inovasi) baru, bila mental umat tidak dibangun, sehingga akidahnya rapuh dan akhlaknya karut-marut. Lihat saja, ketika kecanggihan teknologi telah merambah berbagai lapisan masyarakat yang semestinya dimanfaatkan sebagai sarana kebaikan, namun ternyata tidak sedikit dijadikan alat dan media untuk saling mencaci, memfitnah, membenci, dan menzalimi.

Mari kita semua kembali kepada bimbingan agama kita dan bangkit dari kelalaian kita. Semoga kewibawaan umat yang diharapkan tidak hanya angan-angan belaka. Wallahu a’lam.