Rabu, 29 Desember 2010

Sebab-sebab Penghapus Dosa

Penulis : Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar



Dinukil dari www.asysyariah.com

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu mengatakan:

“Dosa-dosa itu akan mengurangi keimanan. Jika seorang hamba bertaubat, Allah k akan mencintainya. Derajatnya akan diangkat disebabkan taubatnya.
Sebagian salaf mengatakan: ‘Dahulu setelah Nabi Dawud ‘alaihissalam bertaubat, keadaannya lebih baik dibandingkan sebelum terjatuh dalam kesalahan. Barangsiapa yang ditakdirkan untuk bertaubat maka dirinya seperti yang dikatakan Sa’id ibnu Jubair radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya seorang hamba yang melakukan amalan kebaikan, bisa jadi dengan sebab amalan kebaikannya itu akan memasukkannya ke dalam neraka. Bisa jadi pula seorang hamba melakukan amalan kejelekan akan tetapi membawa dirinya masuk ke dalam surga. Hal itu karena ia membanggakan amalan kebaikannya. Sebaliknya, hamba yang terjatuh ke dalam kejelekan membawa dirinya untuk meminta ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni kesalahan-kesalahannya.”

Telah disebutkan dalam hadits yang shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِمِ

“Amal-amal (seorang hamba) tergantung amalan-amalan yang dikerjakan pada akhir kehidupannya.”

Sesungguhnya kesalahan/dosa seorang mukmin akan dihapuskan dengan sepuluh sebab, sebagai berikut:

1. Bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuninya. Karena seseorang yang bertaubat dari sebuah dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa.

2. Meminta ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuninya.

3. Mengerjakan amalan-amalan kebaikan, karena amalan-amalan kebaikan akan menghapuskan amalan-amalan kejelekan.

4. Mendapatkan doa dari saudara-saudaranya yang beriman. Mereka memberikan syafaat kepadanya ketika masih hidup dan sesudah meninggal.

5. Mendapatkan hadiah pahala dari amalan-amalan saudara-saudaranya yang beriman agar Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan manfaat kepadanya dari hadiah tersebut.

6. Mendapatkan syafaat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

7. Mendapatkan musibah-musibah di dunia ini yang akan menghapuskan dosa-dosanya.

8. Mendapatkan ujian-ujian di alam barzakh yang akan menghapus dosa-dosanya.

9. Mendapatkan ujian-ujian di padang Mahsyar pada hari kiamat yang akan menghapuskan dosa-dosanya.

10. Mendapatkan rahmat dari Arhamur Rahimin, Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Barangsiapa yang tidak memiliki salah satu sebab dari sebab-sebab yang bisa menghapuskan dosa-dosa ini, janganlah ia mencela kecuali kepada dirinya sendiri. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا عِبَادِي إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ

“Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya ini adalah amalan-amalanmu. Aku menghitungnya untukmu kemudian Aku membalasinya untukmu. Maka barangsiapa yang mendapatkan kebaikan hendaklah ia memuji Allah, dan barangsiapa yang mendapatkan selain daripada itu maka janganlah ia mencela kecuali kepada dirinya sendiri.”


(Diambil dari Risalah Tuhfatul ‘Iraqiyah fi A’malil Qalbiyyah hal. 32-33, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu)

Jumat, 24 Desember 2010

Sahabat Rasulullah - generasi pertama ummat Islam

Penulis: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed


Telah kita sebutkan pada edisi yang lalu bahwa yang pertama kali menyambut dakwah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah istrinya, yaitu Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid. Ia seorang wanita yang hanif (condong kepada Al-Haq) dan yang tidak terbawa fitnah jahiliyah. Maka dengannya, Allah meringankan beban Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Apabila beliau mendengarkan sesuatu yang tidak ia sukai atau bantahan manusia terhadapnya, atau tuduhan-tuduhan mereka terhadapnya yang menjadikan beliau bersedih, semuanya itu akan hilang ketika beliau pulang ke rumah menemui istrinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala pun mempersiapkan untuknya rumah dari mutiara di Surga, sebagaimana yang diriwayatkan dari Aisyah radhiallahu anha.

وَلَقَدْ أُمِرَ أَنْ يُبَشِّرَهَا بِبَيْتٍ مِنْ قَصْبٍ فِي الْجَنَّةِ ﴿رواه مسلم﴾

"... Beliau telah diperintahkan untuk memberi khabar gembira kepadanya dengan rumah dari mutiara di Surga." (HR. Muslim)

Setelah itu, yang masuk Islam dari keluarga beliau adalah Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu yang ketika itu masih berumur 10 tahun.

Beliau (Ali) adalah anak paman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang dipelihara oleh beliau di rumahnya. Ali dididik dan dibesarkan di Madrasah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Mengapa Ali berada di bawah didikan/peliharaan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam? Kisahnya adalah sebagai berikut:

Diriwayatkan oleh Ibnu Hisyam bahwa Quraisy ketika itu ditimpa musibah kelaparan, sedangkan Abu Thalib memiliki keluarga yang besar (banyak). Maka berkatalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada Al-Abbas bin Abdil Muthalib, turunan Bani Hasyim yang paling berkecukupan: "Wahai Abbas, sesungguhnya saudaramu Abu Thalib banyak keluarganya, sedang manusia sedang ditimpa (musibah) sebagaimana kamu ketahui. Maka berangkatlah bersama kami kepadanya untuk meringankan (beban) dari keluarganya! Saya mengambil seorang anaknya dan engkau mengambil seorang." Maka Abbas berkata: "Baiklah." Kemudian berangkatlah hingga keduanya mendatangi Abu Thalib, dan berkata: "Kami ingin meringankan kamu dari keluargamu hingga lepas dari manusia apa yang menimpa mereka." Abu Thalib pun berkata: "Kalau engkau berdua meninggalkan Aqil untukku, silahkan kalian perbuat apa yang kalian maukan." Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengambil Ali dan dipeliharanya, sedangkan Abbas mengambil Ja'far kemudian dipeliharanya. (lihat Sirah Ibnu Hisyam 1/245 atau ringkasannya oleh Abdus Salam Harun hal. 55)

Ali bin Abi Thalib pun tinggal di rumah beliau shallallahu alaihi wa sallam sampai datangnya Islam dan Ali sebagai remaja yang pertama masuk Islam, shalat bersama beliau shallallahu alaihi wa sallam.

Ibnu Hisyam melanjutkan kisah di atas sebagai berikut: "Disebutkan oleh para ulama bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam jika masuk waktu shalat berangkat ke Bukit-Bukit Makkah. Ali bin Abi Thalib ikut bersamanya dengan sembunyi-sembunyi dari Ayahnya (Abu Thalib), paman-pamannya dan seluruh kaumnya. Kemudian keduanya mengerjakan shalat dan ketika petang keduanya pulang. Mereka tetap seperti ini sesuai dengan kehendak Allah. Ketika Abu Thalib mendapati keduanya shalat pada suatu hari, maka berkatalah dia kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: "Wahai anak saudaraku, agama apa yang aku lihat kamu berpegang dengannya?" Beliau menjawab: "Wahai pamanku, ini adalah agama Allah, para malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya dan agama bapak kita Ibrahim alaihi salam. Allah mengutus aku sebagai Rasul-Nya membawa Dien ini kepada para hamba. Dan engkau wahai pamanku, yang paling berhak untuk aku beri nasehat dan aku ajak kepada petunjuk (hidayah). Engkaulah yang paling wajib untuk mengikutiku dan menolongku atas dakwah ini." Abu Thalib berkata: "Wahai anak saudaraku, aku tidak bisa meninggalkan agama nenek moyangku dan adat yang mereka ada di atasnya. Tetapi, demi Allah! Tidak akan kubiarkan sesuatu yang tidak kau sukai mengenai/menimpa kamu selama aku hidup! (Sirah Ibnu Hisyam 1/245)

Demikianlah, walaupun paman beliau shallallahu alaihi wa sallam tidak mengikuti dakwahnya, tapi dia bersumpah untuk melindunginya. Inilah kehendak Allah dan tidak ada seorangpun yang dapat menghalangi kehendak-Nya.

Berikutnya, di antara keluarga beliau yang masuk Islam adalah anak angkatnya Zaid bin Haritsah. Dia asalnya budak milik Khadijah radhiallahu anha, istri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ketika Rasulullah melihatnya dan memintanya, maka Khadijah memberikannya. Setelah itu, Rasulullah memerdekakannya dan mengangkatnya sebagai anak. Zaid sangat bahagia dan cinta kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bahkan mengalahkan cintanya kepada orang tuanya dan pamannya.

Dikisahkan dalam Mukhtashar Sirah Muhammad bin Abdil Wahhab: Bahwa ayah Zaid yaitu Haritsah dan pamannya datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk menebusnya. Maka keduanya berkata kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam: "Wahai anak pemimpin kaum. Kalian adalah penduduk tempat suci (Baitullah) dan tetangganya. Kalian melepaskan orang yang kesusahan dan memberi makan tawanan. Kami datang kepadamu untuk anakku, yaitu budakmu. Maka berbuat baiklah engkau kepada kami dalam tebusannya." Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun berkata: "Maukah kalian selain itu?" Mereka berkata: "Apakah itu?" Beliau bersabda: "Aku panggil dia dan aku beri dia pilihan. Kalau dia memilih kalian maka dia untuk kalian dan kalau dia memilihku, maka sungguh demi Allah, aku tidak memilih atas orang yang telah memilihku (yakni tidak bisa memaksa selain itu)." Maka berkata mereka: "Engkau telah berbuat lebih dari sekedar adil, dan telah berbuat baik." Maka dipanggillah Zaid kemudian beliau berkata: "Tahukah engkau siapa mereka?" Dia menjawab: "Ya, dia adalah ayahku dan pamanku." Beliau berkata: "Sedangkan aku orang yang sudah kau ketahui dan telah kau lihat bagaimana persahabatanku padamu, maka apakah engkau memilihku atau memilih mereka?" Berkata Zaid: "Aku tidak memilih siapapun di atasmu. Engkau menduduki kedudukan ayah dan pamanku."

Maka ayah Zaid dan pamannya berkata: "Celaka engkau wahai Zaid! Apakah engkau memilih perbudakan daripada kemerdekaan? Dan (memilih orang lain) daripada ayah dan pamanmu serta keluargamu?" Dia berkata: "Ya...! ya, aku melihat pada orang ini ada sesuatu. Aku tidak akan memilih di atas yang aku sudah pilih seorangpun selamanya" (Padahal kejadian ini sebelum beliau diangkat sebagai Nabi, pen). Melihat kejadian ini Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar ke Hijir (dekat Ka'bah) dan berkata: "Aku persaksikan bahwa Zaid adalah anakku, aku mewariskan kepadanya dan dia mewarisiku!" Ketika melihat demikian, tenanglah jiwa ayah dan pamannya, kemudian keduanya pergi. Maka (sejak itu) dia dipanggil Zaid bin Muhammad sampai datangnya Islam dan Allah menurunkan ayat:

ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ ﴿الأحزاب: ٥﴾

"Panggillah mereka dengan ayah-ayah mereka, itu lebih adil di sisi Allah." (Al-Ahzab: 5)

Az-Zuhri berkata: "Aku tidak mengetahui seorangpun masuk Islam sebelum Zaid." (Mukhtashar Sirah Muhammad bin Abdul Wahab hal. 57-58)

Selanjutnya, yang pertama masuk Islam dari kalangan laki-laki (dewasa) adalah Abu Bakar bin Abi Quhafah. Nama beliau adalah 'Atieq dan nama ayahnya adalah Utsman dari Bani Taim bin Murrah Al-Quraisy. Beliau sebelumnya adalah shahabat dekat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, mengenali Nabi dan sifat-sifatnya yang terpuji. Tidak pernah Abu Bakar mendapati beliau berdusta sama sekali. Maka ketika Rasulullah mengabarkan tentang kerasulannya, dia segera menyambutnya tanpa ragu sedikitpun dan berkata: "Ayah ibuku sebagai jaminan sungguh engkau pemilik kejujuran. Aku bersaksi tidak ada sesembahan kecuali Allah dan engkau adalah Rasulullah." (Nurul Yaqin Muhammad Hudhari Bik hal. 28)

Setelah masuk Islam, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu anhu menampakkan keislamannya dan berdakwah mengajak ke jalan Allah dan Rasul-Nya. Beliau adalah orang yang disukai di kaumnya, yang pandai bergaul dan dicintai oleh mereka. Beliau memiliki nasab (keturunan) yang mulia di Quraisy dan yang paling mengerti tentang Quraisy, baik dan buruknya. Dia seorang pedagang yang kaya dan memiliki akhlak yang dikenal baik. Orang-orang dari kaumnya berdatangan kepadanya untuk berbagai permasalahan, karena ilmu dan perdagangannya, dan juga karena baik pergaulannya.

Kemudian mulailah dia berdakwah mendukung Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan hartanya dan jiwanya hingga Rasulullah mengatakan di akhir hayatnya:

إِنَّ أَمَنَّ النَّاسِ عَلَيَّ فِيْ صُحْبَتِهِ وَ مَالِهِ: أَبُوْ بَكْرٍ، وَ لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيْلاً غَيْرَ رَبِّي لاَتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ، وَلَكِنْ أُخُوَّةُ الإِسْلاَمِ وَ مَوَدُّتُهُ، لاَ يَبْقَيَنَّ فِي الْمَسْجِدِ بَابٌ إِلاَّ سُدَّ إِلاَّ بَابَ أَبِي بَكْرٍ. ﴿رواه البخاري – الفتح ٧/۳٥٩﴾

"Sesungguhnya manusia yang paling banyak memberikan jasa kepadaku dalam persahabatan dan hartanya adalah Abu Bakar. Seandainya aku (boleh) mengambil khalil (kekasih) selain Rabbku niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar (sebagai khalil), tetapi persaudaraan Islam dan kasih sayangnya. Tidak akan tersisa satu pintu pun di masjid kecuali tertutup, melainkan pintu Abu Bakar." (HR. Bukhari, Fathul Bari 7/359 hadits 3604)

Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan bahwa Abu Bakar adalah orang yang pertama masuk Islam dengan mengambil istinbath dengan hadits:

إِنَّ اللهَ بَعَثَنِي إِلَيْكُمْ، فَقُلْتُمْ كَذِبْتَ وَ قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: صَدَقَ، وَوَاسَانِي بِنَفْسِهِ وَ مَالِهِ ﴿رواه البخاري – الفتح ٧/٢٦٦﴾

"Sesungguhnya Allah mengutusku kepada kalian. Maka kalian berkata (kepadaku): "Engkau dusta!" tapi Abu Bakar mengatakan: "Engkau benar!" Dan ia mendukungku dengan jiwa dan hartanya." (HR. Bukhari, Fathul Bari 7/366. Lihat Sirah Shahihah 1/134 karya D. Akram Dhiaul Umari)

Orang-orang yang masuk Islam melalui dakwah Abu Bakar adalah: Utsman bin Affan bin Abil Ash dari Bani Umayah Al-Qurasyi yang kemudian dijuluki Dzun nurain (yang memiliki dua cahaya) karena pernikahannya dengan dua anak perempuan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Yang pertama beliau menikahi Ruqayyah radhiallahu anha tetapi kemudian meninggal dunia. Setelah itu beliau menikah dengan saudaranya yaitu Umi Kultsum radhiallahu anha.

Ketika pamannya Al-Hakim mengetahui keislamannya, beliau diikat tangannya dan dikatakan kepadanya: "Apakah kamu benci agama nenek moyangmu dan lebih menyukai agama yang baru? Demi Allah, aku tidak akan melepaskan kamu sampai kamu melepaskan apa yang kamu pegang." Maka Utsman radhiallahu anhu berkata kepadanya: "Demi Allah, aku tidak akan melepaskan dan memisahkan diri darinya!" Ketika Al-Hakim melihat kekuatan hatinya dalam memegang al-haq, maka dia membiarkannya (membebaskannya). Ini semua ketika beliau waktu itu berumur kira-kira tiga puluh tahun. (Nurul Yakin hal 28)

Setelah Utsman, di antara yang masuk Islam melalui dakwah Abu Bakar adalah Zubair bin Awwam bin Khuwailid dari Bani Asad Al-Quraisy, dan ibunya Shafiyyah binti Abdil Muthalib. Ketika paman beliau mendengar keislamannya, dia menyodorkan asap (mendekatkan api) kepadanya sedangkan dia dalam keadaan terikat, agar kembali kepada agama bapak-bapaknya. Tetapi Allah kuatkan dan Allah mantapkan (dalam keislaman). Beliau waktu itu belum melewati umur baligh.

Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu'jamul Kabir (239) dari riwayat Hisyam bin Urwah, dia berkata: "Zubair masuk Islam ketika berumur 16 tahun dan tidak pernah takhalluf (absen) dalam berbagai peperangan bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sampai beliau terbunuh dalam umur empat puluh sekian tahun." (Berkata Al-Haitsami: riwayat ini mursal shahih, lihat Ta'liq Nurul Yakin hal 28)

Abdurrahman bin Auf dari Bani Zuhrah Al-Quraisy adalah yang berikutnya masuk Islam. Diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu'jamul Kabir 253 dari Ibnu Sirin bahwa Abdurrahman bin Auf di zaman jahiliyah namanya adalah Abdul Ka'bah. Maka Rasulullah memberinya nama Abdurrahman. (sanadnya shahih, lihat Ta'liq Nurul Yakin hal 29) Beliau adalah salah seorang dari 10 orang yang diberi berita gembira dengan surga.

Setelah Abdurrahman bin Auf, disusul oleh Sa'ad bin Abi Waqqash dari Bani Zuhrah Al-Qurasyi yang masuk Islam dengan perantaraan dakwah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Dalam riwayat Muslim dan Tirmidzi disebutkan bahwa Hamunah binti Abi Sufyan, ibunya Sa'ad, ketika mengetahui keislaman anaknya, dia berkata: "Wahai Sa'ad, sampai kepadaku (berita) bahwa engkau sudah keluar dari agama bapak-bapakmu. Demi Allah! Atap tidak akan menaungiku dari panas dan dingin, makanan dan minuman haram bagiku, sampai engkau kafir kepada Muhammad!" Maka tetaplah ibunya dalam keadaan demikian selama tiga hari. Sa'ad pun kemudian datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengadukan perihal ibunya. Maka turunlah firman Allah Ta'ala sebagai pelajaran kepadanya:

وَوَصَّيْنَا الإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ ﴿العنكبوت: ٨﴾

"Kami wasiatkan kepada manusia untuk berbakti pada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya mengajak engkau untuk menyekutukan Aku, apa-apa yang tidak ada ilmu padamu, maka jangan taati keduanya. Kepada-Ku-lah kamu kembali, kemudian Aku beritakan padamu apa-apa yang telah kamu kerjakan." (Al-Ankabut: 8)

Dalam kitab Nurul Yaqin disebutkan bahwa Allah mewasiatkan beliau untuk berbakti pada kedua orang tuanya baik mukmin maupun kafir. Adapun jika keduanya mengajak kepada kesyirikan, maka ini jelas merupakan kemaksiatan kepada Allah. Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq (pencipta). (lihat Nurul Yaqin hal. 29)

Orang berikutnya yang mendapat dakwah Abu Bakar ialah Thalhah bin Ubaidillah dari Bani Taim bin Murrah Al-Quraisy. Beliau sebelumnya sudah mendengar tentang Rasul yang akan datang dan sifat-sifatnya dari pendeta-pendeta Yahudi. Maka ketika Abu Bakar mengajaknya, kemudian mendengar dari Rasul shallallahu alaihi wa sallam sesuatu yang memberikan manfaat kepadanya, juga karena dia melihat Dien ini mantap dan jauh dari kejelekan-kejelekan (cacat-cacat) yang biasa ada pada orang Arab, maka dia segera menyambutnya untuk masuk Islam. (HR. Ibnu Sa'ad dalam Thabaqat 3/215 dan Baihaqi 2/185. Tapi riwayatnya dhaif) Beliau juga termasuk sepuluh orang yang diberi khabar gembira dengan jannah (surga).

Kemudian generasi pertama dari kalangan budak (mawali) adalah: Bilal bin Abi Rabah radhiallahu anhu, seorang budak dari Habsi milik Umayyah bin Khalaf. Yang kemudian dibeli oleh Abu Bakar dan dimerdekakan. Selanjutnya beliau ditunjuk sebagai muadzin Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Disusul kemudian oleh Khabab bin Arat keluarga Yasir, Suhai bin Ar-Rumi radhiallahu anhuma dan lain-lain. Dinukil dalam Sirah Shahihah: bahwa telah tsabit (shahih) riwayat bahwa Ammar bin Yasir masuk Islam di awal pertama munculnya Islam. Beliau menceritakan tentang dirinya dengan berkata: "Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan tidaklah bersamanya (pengikutnya) kecuali lima orang budak, dua orang wanita dan Abu Bakar." (HR Bukhari). Berkata Ibnu Hajar: "Adapun lima orang budak. Mereka adalah Bilal, Zaid bin Haritsah, Amir bin Fuhairah, Abu Fakihah dan yang kelima bisa jadi Syaqran. Adapun dua orang wanita adalah Khadijah dan Ummu Aiman atau Sumayyah." (Fathul Bari 7/373-374, Sirah Shahihah hal. 137)

Abdullah bin Mas'ud radhiallahu anhu juga termasuk generasi pertama pemeluk Islam. Beliau menceritakan kisah Islamnya sebagai berikut: "Waktu itu aku seorang remaja tanggung yang menggembalakan kambing milik Uqbah bin Abi Mu'ith di Makkah. Ketika itu datanglah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Abu Bakar kepadaku. Keduanya telah lari dari musyrikin, maka dia berkata: 'Wahai ghulam (anak) apakah engkau memiliki susu untuk kami?' Aku mengatakan: 'Saya seorang yang diberi amanat. Aku tidak bisa memberi kamu berdua minum (susu).' Keduanya berkata: 'Apakah memiliki kambing betina yang muda, yang belum dikawini jantan?' Aku katakan: 'Ya.' Kemudian aku bawa kepadanya. Maka Abu Bakar mengikatnya dan Rasulullah memegang susunya dan berdoa. Kemudian berkumpullah (membesarlah) susunya. Abu Bakar segera datang dengan membawa batu yang berlubang (sebagai gelas pent). Maka mulailah beliau memerasnya dan meminumnya. Beliau, Abu Bakar dan kemudian keduanya memberiku. Setelah itu beliau berkata: 'berkerutlah!' Maka berkerutlah (susu tersebut).

Setelah kejadian itu aku mendatangi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam aku mengatakan: 'Ajarilah aku ucapan-ucapan yang baik itu (yang dimaksud adalah Al-Qur`an).' Maka Rasulullah bersabda: 'Sungguh engkau anak yang berpendidikan.' Maka aku mengambil dari mulutnya tujuh puluh surat. Tidak ada seorang pun yang membantah aku padanya." (HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, dengan sanad hasan, Sirah Shahihah hal 137). Riwayat Al-Waqidi menyebutkan bahwa Abdullah bin Mas'ud masuk Islam sebelum Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam masuk ke rumah Arqam (Thabaqat Ibnu Sa'ad 1/151, juga lihat Sirah Shahihah halaman yang sama).

Berikutnya yang termasuk generasi pertama adalah Amru bin Absah As-Sulami radhiallahu anhu. Beliau menceritakan tentang keislamannya sebagai berikut: "Waktu itu di zaman jahiliyyah, orang sudah mengira bahwa manusia dalam keadaan sesat dan bahwasanya mereka tidak berada di atas agama apapun dan mereka dalam keadaan menyembah berhala. Kemudian aku mendengar seseorang di Makkah membawa berita-berita. Maka duduklah aku di atas kendaraanku, dan berangkatlah aku di sana. Ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam keadaan sembunyi dari kejaran kaumnya. Maka aku berpura-pura sampai aku masuk kepadanya dan berkata: "Siapa engkau?" Beliau menjawab: "Aku Nabi." Aku mengatakan: "Apakah Nabi itu?" Beliau berkata: "Allah mengutusku." Saya katakan: "Dengan apa Allah mengutusmu?" Beliau berkata: "Aku diutus untuk menyambung silaturahmi, menghancurkan berhala dan agar mengesakan Allah dan tidak disekutukan." Saya berkata: "Siapa yang bersamamu (yang mengikuti, pent.) dalam masalah ini." Beliau berkata: "Orang merdeka dan budak." Dia (Amru) bermaksud berkata: "Yang bersamanya pada waktu itu dari orang-orang beriman adalah Abu Bakar dan Bilal." Aku katakan padanya: "Sesungguhnya aku mengikutimu." Beliau berkata: "Sungguh engkau tidak akan bisa pada saat sekarang ini. Tidakkah engkau melihat keadaanku saat sekarang ini. Tidakkah engkau melihat keadaanku dan keadaan manusia? Kembalilah engkau ke keluargamu, (nanti) jika engkau mendengar tentang aku dan aku sudah menonjol (dhahir) datanglah engkau kepadaku." Dan Amru berkata: "Maka berangkatlah aku kembali ke keluargaku. Sampai ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam datang ke Madinah dan aku di keluargaku. Mulailah aku mencari-cari berita. Bertanya pada orang-orang yang datang dari Madinah sampai datanglah kepadaku beberapa orang dari penduduk Yatsrib (penduduk Madinah). Maka saya tanyakan pada mereka: "Apa yang dilakukan oleh orang yang datang ke Madinah?" Mereka berkata: "Manusia bersegera kepadanya sedang kaumnya ingin membunuhnya, tapi mereka tidak mampu." Maka berangkatlah aku ke Madinah dan masuklah aku kepadanya." (HR. Muslim 1/596, lihat Sirah Shahihah hal. 139)

Termasuk juga generasi pertama yang masuk Islam adalah Abu Dzar Al-Ghifari. Dia adalah seorang dari Arab gunung (Badui) yang manis tutur katanya dan fasih (demikianlah keistimewaan orang-orang Badui dalam segi bahasa mereka sangat fasih, pen).

Ketika dia mendengar diutusnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dia menyuruh saudaranya: "Naikilah kendaraanmu ke lembah ini dan beritahu aku tentang berita orang yang mengaku nabi dan datang kepadanya berita dari langit! Dengarlah ucapannya, dan bawalah kemari." Maka berangkatlah ia sampai datang ke Makkah. Di sana ia mendengar ucapan Rasul shallallahu alaihi wa sallam, kemudian kembali kepada Abu Dzar dan berkata: "Aku melihat dia menyuruh agar kita berakhlak yang mulia dan dia mengucapkan ucapan yang bukan sya'ir."

Abu Dzar berkata: "Engkau tidak mencukupi apa yang aku inginkan." Kemudian dia mempersiapkan bekalnya, membawa tempat airnya dan berangkatlah beliau ke Makkah. Beliau mendatangi masjid dan mencari-cari Nabi shallallahu alaihi wa sallam (dalam keadaan tidak mengenalinya). Tapi dia tidak suka untuk bertanya tentangnya, karena dia mengetahui kebencian Quraisy kepada setiap orang yang berhubungan dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Ketika datang waktu malam, Ali radhiallahu anhu melihat dia. Maka tahulah Ali radhiallahu anhu bahwa dia orang asing. Diajaknya dia sebagai tamunya di rumahnya. Ali tidak bertanya tentang sesuatu (tujuan atau keperluan) satu sama lain sesuai dengan kaidah dalam menghormati tamu di kalangan Arab, yaitu tidak bertanya tentang tujuan dan maksud kedatangannya, kecuali setelah tiga hari.

Pada pagi harinya, kembali dia membawa tempat air dan bekalnya ke masjid sampai habis hari itu dan dia belum melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Maka ketika petang hari, dia kembali ke pembaringannya di masjid. Kemudian Ali melewatinya dan berkata: "Bukankah sudah waktunya seorang untuk mengetahui rumah yang kemarin dia diterima sebagai tamunya?" Maka dibangunkannya kemudian pergi bersamanya, juga tak saling bertanya satu sama lainnya. Pada hari yang ketiga, kembali dia seperti tadi, maka Ali berkata kepadanya: "Tidaklah engkau mau mengabarkan kepadaku apa yang menyebabkan engkau datang kemari?" Dia berkata: "Kalau engkau mau memberikan janji kepadaku mau menunjukkan aku, akan kerjakan (menjawab)." Maka Ali memberikan janjinya dan dia mengabarkan. Ali berkata: "Sesungguhnya itu adalah haq. Dia adalah utusan Allah. Jika pagi hari nanti, ikutilah aku. Kalau aku melihat sesuatu yang aku khawatirkan atasmu aku berhenti, seakan-akan aku menuangkan air. Dan jika aku berjalan, ikutilah aku sampai engkau masuk ke tempat aku masuk." Abu Dzar pun mengerjakan yang demikian. Dia berangkat mengikuti jejak Ali sampai masuk ke tempat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan mendengarkan ucapannya. Di situ beliau masuk Islam dan berkatalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam: "Pulanglah engkau ke kaummu dan khabarkanlah kepada mereka (tentang aku) sampai datang perintahku." Dia berkata (Abu Dzar): "Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, aku akan menyeru dengannya di tengah-tengah mereka (kaum Quraisy)." Dia segera keluar hingga mendatangi masjid berseru dengan sekeras suaranya: "Asyhadu anla ilaha Illallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah!" Maka bangkitlah kaum Quraisy dan memukulinya hingga ia terbaring. Abbas pun datang memarahi mereka dan mengucapkan: "Celaka kalian! Tidakkah kalian tahu bahwa dia dari suku Ghifar? Jalan perdagangan kalian ke Syam melewati mereka." Abbas segera menolongnya dan menyelamatkannya dari mereka. Tetapi kembali Abu Dzar mengulanginya pada keesokan harinya dan kembali mereka memukulinya sampai Abbas datang kembali. (HR. Bukhari dalam Manaqibul Anshar dan Muslim dalam Fadha`il Shahabah)

Setelah itu, banyak dari para shahabat yang masuk Islam, sampai turunnya perintah dari Allah untuk menjahrkan dakwah (dakwah secara terang-terangan) dan (sampai) masuk Islamnya Umar bin Khattab dan Hamzah bin Abdul Muthalib.


Maraji':
1. Sirah Ibnu Hisyam
2. Mukhtashar Sirah Ibnu Hisyam oleh Abdus Salam Harun
3. Mukhtashar Sirah oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
4. Nurul Yaqin oleh Muhammad Hudhari Bik
5. Sirah Shahihah oleh D. Akram Dhiaul Umari

(Dikutip dari http://salafy.iwebland.com/baca.php?id=43. Sumber: Majalah Salafy edisi IV/Dzulqa'dah/1416/1996 rubrik Sirah. Judul asli Para Sahabat Generasi Pertama Ummat ini. Penulis Ustadz Muhammad Umar As-Sewed.)

Mengapa Harus Bermanhaj Salaf ?

Orang-orang yang hidup pada zaman Nabi adalah generasi terbaik dari umat ini. Mereka telah mendapat pujian langsung dari Allah dan Rasul-Nya sebagai sebaik-baik manusia. Mereka adalah orang-orang yang paling paham agama dan paling baik amalannya sehingga kepada merekalah kita harus merujuk.

Manhaj Salaf, bila ditinjau dari sisi kalimat merupakan gabungan dari dua kata; manhaj dan salaf. Manhaj dalam bahasa Arab sama dengan minhaj, yang bermakna: Sebuah jalan yang terang lagi mudah. (Tafsir Ibnu Katsir 2/63, Al Mu’jamul Wasith 2/957).

Sedangkan salaf, menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Siapa saja yang telah mendahuluimu dari nenek moyang dan karib kerabat, yang mereka itu di atasmu dalam hal usia dan keutamaan. (Lisanul Arab, karya Ibnu Mandhur 7/234). Dan dalam terminologi syariat bermakna: Para imam terdahulu yang hidup pada tiga abad pertama Islam, dari para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in (murid-murid shahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid-murid tabi’in). (Lihat Manhajul Imam As Syafi’i fii Itsbatil ‘Aqidah, karya Asy Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al ‘Aqil, 1/55).

Berdasarkan definisi di atas, maka manhaj salaf adalah: Suatu istilah untuk sebuah jalan yang terang lagi mudah, yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tabi’in dan tabi’ut tabi’in di dalam memahami dienul Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Seorang yang mengikuti manhaj salaf ini disebut dengan Salafy atau As Salafy, jamaknya Salafiyyun atau As Salafiyyun. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “As Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf.” (Siyar A’lamin Nubala 6/21).

Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf (Salafiyyun) biasa disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah dikarenakan berpegang teguh dengan Al Quran dan As Sunnah dan bersatu di atasnya. Disebut pula dengan Ahlul Hadits wal Atsar dikarenakan berpegang teguh dengan hadits dan atsar di saat orang-orang banyak mengedepankan akal. Disebut juga Al Firqatun Najiyyah, yaitu golongan yang Allah selamatkan dari neraka (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash), disebut juga Ath Thaifah Al Manshurah, kelompok yang senantiasa ditolong dan dimenangkan oleh Allah (sebagaimana yang akan disebutkan dalam hadits Tsauban). (Untuk lebih rincinya lihat kitab Ahlul Hadits Humuth Thaifatul Manshurah An Najiyyah, karya Asy Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al Madkhali).

Manhaj salaf dan Salafiyyun tidaklah dibatasi (terkungkung) oleh organisasi tertentu, daerah tertentu, pemimpin tertentu, partai tertentu, dan sebagainya. Bahkan manhaj salaf mengajarkan kepada kita bahwa ikatan persaudaraan itu dibangun di atas Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan pemahaman Salafush Shalih. Siapa pun yang berpegang teguh dengannya maka ia saudara kita, walaupun berada di belahan bumi yang lain. Suatu ikatan suci yang dihubungkan oleh ikatan manhaj salaf, manhaj yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya.

Manhaj salaf merupakan manhaj yang harus diikuti dan dipegang erat-erat oleh setiap muslim di dalam memahami agamanya. Mengapa? Karena demikianlah yang dijelaskan oleh Allah di dalam Al Quran dan demikian pula yang dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di dalam Sunnahnya. Sedang kan Allah telah berwasiat kepada kita: “Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An Nisa’: 59)

Adapun ayat-ayat Al Quran yang menjelaskan agar kita benar-benar mengikuti manhaj salaf adalah sebagai berikut: 1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : “Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalannya orang-orang yang telah Engkau beri nikmat.” (Al Fatihah: 6-7)

Al Imam Ibnul Qayyim berkata: “Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan berusaha untuk mengikutinya…, maka setiap orang yang lebih mengetahui kebenaran serta lebih konsisten dalam mengikutinya, tentu ia lebih berhak untuk berada di atas jalan yang lurus. Dan tidak diragukan lagi bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, mereka adalah orang-orang yang lebih berhak untuk menyandang sifat (gelar) ini daripada orang-orang Rafidhah.” (Madaarijus Saalikin, 1/72).

Penjelasan Al Imam Ibnul Qayyim tentang ayat di atas menunjukkan bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang mereka itu adalah Salafush Shalih, merupakan orang-orang yang lebih berhak menyandang gelar “orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah” dan “orang-orang yang berada di atas jalan yang lurus”, dikarenakan betapa dalamnya pengetahuan mereka tentang kebenaran dan betapa konsistennya mereka dalam mengikutinya. Gelar ini menunjukkan bahwa manhaj yang mereka tempuh dalam memahami dienul Islam ini adalah manhaj yang benar dan di atas jalan yang lurus, sehingga orang-orang yang berusaha mengikuti manhaj dan jejak mereka, berarti telah menempuh manhaj yang benar, dan berada di atas jalan yang lurus pula.

2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam,, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’: 115)

Al Imam Ibnu Abi Jamrah Al Andalusi berkata: “Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin disini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan generasi pertama dari umat ini, karena mereka merupakan orang-orang yang menyambut syariat ini dengan jiwa yang bersih. Mereka telah menanyakan segala apa yang tidak dipahami (darinya) dengan sebaik-baik pertanyaan, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun telah menjawabnya dengan jawaban terbaik. Beliau terangkan dengan keterangan yang sempurna. Dan mereka pun mendengarkan (jawaban dan keterangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut), memahaminya, mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, menghafalkannya, dan menyampaikannya dengan penuh kejujuran. Mereka benar-benar mempunyai keutamaan yang agung atas kita. Yang mana melalui merekalah hubungan kita bisa tersambungkan dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, juga dengan Allah Ta'ala.’” (Al Marqat fii Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan sungguh keduanya (menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin –red) adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran.” (Majmu’ Fatawa, 7/38).

Setelah kita mengetahui bahwa orang-orang mukmin dalam ayat ini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (As Salaf), dan juga keterkaitan yang erat antara menentang Rasul dengan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, maka dapatlah disimpulkan bahwa mau tidak mau kita harus mengikuti “manhaj salaf”, jalannya para sahabat.

Sebab bila kita menempuh selain jalan mereka di dalam memahami dienul Islam ini, berarti kita telah menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan akibatnya sungguh mengerikan… akan dibiarkan leluasa bergelimang dalam kesesatan… dan kesudahannya masuk ke dalam neraka Jahannam, seburuk-buruk tempat kembali… na’udzu billahi min dzaalik.

3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kesuksesan yang agung.” (At-Taubah: 100).

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak mengkhususkan ridha dan jaminan jannah (surga)-Nya untuk para sahabat Muhajirin dan Anshar (As Salaf) semata, akan tetapi orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pun mendapatkan ridha Allah dan jaminan surga seperti mereka.

Al Hafidh Ibnu Katsir berkata: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengkhabarkan tentang keridhaan-Nya kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik, dan ia juga mengkhabarkan tentang ketulusan ridha mereka kepada Allah, serta apa yang telah Ia sediakan untuk mereka dari jannah-jannah (surga-surga) yang penuh dengan kenikmatan, dan kenikmatan yang abadi.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/367). Ini menunjukkan bahwa mengikuti manhaj salaf akan mengantarkan kepada ridha Allah dan jannah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَا ءَامَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ Artinya : "Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu)." [QS Al Baqoroh: 137]

Adapun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah sebagai berikut: 1. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya barang siapa di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti maka ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin yang terbimbing, berpeganglah erat-erat dengannya dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham…” (Shahih, HR Abu Dawud, At Tirmidzi, Ad Darimi, Ibnu Majah dan lainnya dari sahabat Al ‘Irbadh bin Sariyah. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455). Dalam hadits ini dengan tegas dinyatakan bahwa kita akan menyaksikan perselisihan yang begitu banyak di dalam memahami dienul Islam, dan jalan satu-satunya yang mengantarkan kepada keselamatan ialah dengan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin (Salafush Shalih). Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan agar kita senantiasa berpegang teguh dengannya. Al Imam Asy Syathibi berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam -sebagaimana yang engkau saksikan- telah mengiringkan sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin dengan sunnah beliau, dan bahwasanya di antara konsekuensi mengikuti sunnah beliau adalah mengikuti sunnah mereka…, yang demikian itu dikarenakan apa yang mereka sunnahkan benar-benar mengikuti sunnah nabi mereka  atau mengikuti apa yang mereka pahami dari sunnah beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, baik secara global maupun secara rinci, yang tidak diketahui oleh selain mereka.”(Al I’tisham, 1/118).

2. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : “Terus menerus ada sekelompok kecil dari umatku yang senantiasa tampil di atas kebenaran. Tidak akan memudharatkan mereka orang-orang yang menghinakan mereka, sampai datang keputusan Allah dan mereka dalam keadaan seperti itu.” (Shahih, HR Al Bukhari dan Muslim, lafadz hadits ini adalah lafadz Muslim dari sahabat Tsauban, hadits no. 1920).

Al Imam Ahmad bin Hanbal berkata (tentang tafsir hadits di atas): “Kalau bukan Ahlul Hadits, maka aku tidak tahu siapa mereka?!” (Syaraf Ashhabil Hadits, karya Al Khatib Al Baghdadi, hal. 36).

Al Imam Ibnul Mubarak, Al Imam Al Bukhari, Al Imam Ahmad bin Sinan Al Muhaddits, semuanya berkata tentang tafsir hadits ini: “Mereka adalah Ahlul Hadits.” (Syaraf Ashhabil Hadits, hal. 26, 37). Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini merupakan tanda dari tanda-tanda kenabian (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam), di dalamnya beliau telah menyebutkan tentang keutamaan sekelompok kecil yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan setiap masa dari jaman ini tidak akan lengang dari mereka. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mendoakan mereka dan doa itupun terkabul. Maka Allah ‘Azza Wa Jalla menjadikan pada tiap masa dan jaman, sekelompok dari umat ini yang memperjuangkan kebenaran, tampil di atasnya dan menerangkannya kepada umat manusia dengan sebenar-benarnya keterangan. Sekelompok kecil ini secara yakin adalah Ahlul Hadits insya Allah, sebagaimana yang telah disaksikan oleh sejumlah ulama yang tangguh, baik terdahulu ataupun di masa kini.” (Tarikh Ahlil Hadits, hal 131).

Ahlul Hadits adalah nama lain dari orang-orang yang mengikuti manhaj salaf. Atas dasar itulah, siapa saja yang ingin menjadi bagian dari “sekelompok kecil” yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hadits di atas, maka ia harus mengikuti manhaj salaf.

3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “…. Umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk ke dalam neraka, kecuali satu golongan. Beliau ditanya: ‘Siapa dia wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: golongan yang aku dan para sahabatku mengikuti.” (Hasan, riwayat At Tirmidzi dalam Sunannya, Kitabul Iman, Bab Iftiraqu Hadzihil Ummah, dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash).

Asy Syaikh Ahmad bin Muhammad Ad Dahlawi Al Madani berkata: “Hadits ini sebagai nash (dalil–red) dalam perselisihan, karena ia dengan tegas menjelaskan tentang tiga perkara: - Pertama, bahwa umat Islam sepeninggal beliau akan berselisih dan menjadi golongan-golongan yang berbeda pemahaman dan pendapat di dalam memahami agama. Semuanya masuk ke dalam neraka, dikarenakan mereka masih terus berselisih dalam masalah-masalah agama setelah datangnya penjelasan dari Rabb Semesta Alam. - Kedua, kecuali satu golongan yang Allah selamatkan, dikarenakan mereka berpegang teguh dengan Al Quran dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan mengamalkan keduanya tanpa adanya takwil dan penyimpangan. - Ketiga, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menentukan golongan yang selamat dari sekian banyak golongan itu. Ia hanya satu dan mempunyai sifat yang khusus, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri (dalam hadits tersebut) yang tidak lagi membutuhkan takwil dan tafsir. (Tarikh Ahlil Hadits hal 78-79). Tentunya, golongan yang ditentukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu adalah yang mengikuti manhaj salaf, karena mereka di dalam memahami dienul Islam ini menempuh suatu jalan yang Rasulullah dan para sahabatnya berada di atasnya.

Berdasarkan beberapa ayat dan hadits di atas, dapatlah diambil suatu kesimpulan, bahwa manhaj salaf merupakan satu-satunya manhaj yang harus diikuti di dalam memahami dienul Islam ini, karena: 1. Manhaj salaf adalah manhaj yang benar dan berada di atas jalan yang lurus. 2. Mengikuti selain manhaj salaf berarti menentang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang berakibat akan diberi keleluasaan untuk bergelimang di dalam kesesatan dan tempat kembalinya adalah Jahannam. 3. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf dengan sebaik-baiknya, pasti mendapat ridha dari Allah dan tempat kembalinya adalah surga yang penuh dengan kenikmatan, kekal abadi di dalamnya. 4. Manhaj salaf adalah manhaj yang harus dipegang erat-erat, tatkala bermunculan pemahaman-pemahaman dan pendapat-pendapat di dalam memahami dienul Islam, sebagaimana yang diwasiatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. 5. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah sekelompok dari umat ini yang senantiasa tampil di atas kebenaran, dan senantiasa mendapatkan pertolongan dan kemenangan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. 6. Orang-orang yang mengikuti manhaj salaf, mereka adalah golongan yang selamat dikarenakan mereka berada di atas jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika: 1. Al Imam Abdurrahman bin ‘Amr Al Auza’i berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti jejak salaf walaupun banyak orang menolakmu, dan hati-hatilah dari pemahaman/pendapat tokoh-tokoh itu walaupun mereka mengemasnya untukmu dengan kata-kata (yang indah).” (Asy Syari’ah, karya Al Imam Al Ajurri, hal. 63). 2. Al Imam Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit berkata: “Wajib bagimu untuk mengikuti atsar dan jalan yang ditempuh oleh salaf, dan hati-hatilah dari segala yang diada-adakan dalam agama, karena ia adalah bid’ah.” (Shaunul Manthiq, karya As Suyuthi, hal. 322, saya nukil dari kitab Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 54). 3. Al Imam Abul Mudhaffar As Sam’ani berkata: “Syi’ar Ahlus Sunnah adalah mengikuti manhaj salafush shalih dan meninggalkan segala yang diada-adakan (dalam agama).” (Al Intishaar li Ahlil Hadits, karya Muhammad bin Umar Bazmul hal. 88). 4. Al Imam Qawaamus Sunnah Al Ashbahani berkata: “Barangsiapa menyelisihi sahabat dan tabi’in (salaf) maka ia sesat, walaupun banyak ilmunya.” (Al Hujjah fii Bayaanil Mahajjah, 2/437-438, saya nukil dari kitab Al Intishaar li Ahlil Hadits, hal. 88) 5. Al-Imam As Syathibi berkata: “Segala apa yang menyelisihi manhaj salaf, maka ia adalah kesesatan.” (Al Muwafaqaat, 3/284), saya nukil melalui Al Marqat fii Nahjis Salaf Sabilun Najah, hal. 57). 6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak tercela bagi siapa saja yang menampakkan manhaj salaf, berintisab dan bersandar kepadanya, bahkan yang demikian itu disepakati wajib diterima, karena manhaj salaf pasti benar.” (Majmu’ Fatawa, 4/149). Beliau juga berkata: “Bahkan syi’ar Ahlul Bid’ah adalah meninggalkan manhaj salaf.” (Majmu’ Fatawa, 4/155).

Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa membimbing kita untuk mengikuti manhaj salaf di dalam memahami dienul Islam ini, mengamalkannya dan berteguh diri di atasnya, sehingga bertemu dengan-Nya dalam keadaan husnul khatimah. Amin yaa Rabbal ‘Alamin. Wallahu a’lamu bish shawaab.

(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al Atsari, Lc, judul asli Mengapa Harus Bermanhaj Salaf, rubrik Manhaji, Majalah Asy Syariah. Url sumber http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=82)

Ringan dalam Menghukum

Penulis : Al-Ustadzah Ummu 'Abdirrahman Bintu 'Imran

Dinukil dari www.asysyariah.com


Siapa pun mungkin mengetahui, kemampuan akal anak-anak tidak sesempurna yang ada pada orang dewasa. Anak memiliki kemampuan memahami dan mencerna yang masih sangat terbatas.

Karena itulah, kadangkala muncul kesalahan atau kekeliruan yang terkadang dia sendiri belum mampu memahami dan mengerti bahwa tindakannya itu adalah suatu kesalahan.
Menyogok mulut adik, contoh ringannya, terkadang bermula dari maksud baik untuk menyuapi si adik. Namun justru kadang menjadi kesalahan di mata orangtua, karena –sekali lagi dengan keterbatasan sang anak– belum mampu melakukannya dengan benar. Sementara dia sendiri belum mampu memandang hal itu sebagai suatu kesalahan.

Demikianlah keadaan seorang anak dengan segala keterbatasannya. Sehingga syariat pun meringankan beban amalan bagi anak kecil, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dinukilkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصِّبْيَانِ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ

“Diangkat pena dari tiga golongan: orang yang tidur hingga dia terjaga, anak kecil hingga dia baligh, dan orang gila sampai kembali akalnya.” (HR. Abu Dawud no. 4403, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud: shahih)
Di samping itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghasung kita untuk bersikap lemah lembut dan menjauhi kekasaran dalam segala hal, termasuk kepada anak-anak kita tentunya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada istri beliau, 'Aisyah radhiyallahu ‘anha:

يَا عَائِشَةُ، إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ

“Wahai 'Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan menyukai kelembutan, dan Dia memberikan pada kelembutan apa yang tidak Dia berikan pada kekasaran, maupun pada segala sesuatu selainnya.” (HR. Al-Bukhari no. 6928 dan Muslim no. 2593)

Al-Qadhi 'Iyadh rahimahullahu menjelaskan bahwa dengan kelemahlembutan ini akan dapat dicapai berbagai tujuan, dan akan mudah pula untuk mendapatkan apa yang diharapkan, yang semua itu tak dapat diperoleh dengan selain kelembutan. (Syarh Shahih Muslim, 16/144)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memuji orang yang memiliki sifat lemah lembut, dalam sabda beliau yang dinukilkan oleh Abud Darda` radhiyallahu ‘anhu:

مَنْ أُعْطِيَ حَظَّهُ مِنَ الرِّفْقِ فَقَدْ أُعْطِيَ حَظَّهُ مِنَ الْخَيْرِ، وَمَنْ حُرِمَ حَظَّهُ مِنَ الرِّفْقِ فَقَدْ حُرِمَ حَظَّهُ مِنَ الْخَيْرِ

“Barangsiapa yang diberikan bagiannya berupa kelembutan, berarti dia diberikan bagiannya berupa kebaikan, dan barangsiapa dihalangi bagiannya berupa kelembutan, berarti dia dihalangi dari bagiannya berupa kebaikan.” (HR. At-Tirmidzi no.2013, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: shahih)

Oleh karena itu pula kita, orangtua, mestinya berlapang-lapang dalam memberikan hukuman dan celaan pada anak-anak. Terlebih lagi pada hal-hal yang bukan merupakan kemaksiatan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling lapang dalam memudahkan perkara. Sebagaimana dikabarkan oleh istri beliau, 'Aisyah radhiyallahu ‘anha:

مَا خُيِّرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ إِلاَّ أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدُ النَّاسِ مِنْهُ

“Tak pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan pilihan di antara dua perkara, kecuali beliau pasti memilih yang paling ringan di antara keduanya selama perkara itu bukan suatu dosa. Apabila perkara itu suatu dosa, maka beliau adalah orang yang paling jauh darinya.” (HR. Al-Bukhari no.3560 dan Muslim no.2327)

Hadits ini menunjukkan disenanginya memilih sesuatu yang lebih mudah dan lebih ringan, selama hal itu bukan sesuatu yang haram atau makruh. (Syarh Shahih Muslim, 15/82)
Kelapangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini juga dialami sendiri oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam semenjak usia kanak-kanak. Anas radhiyallahu ‘anhu menceritakan:

لـَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ، أَخَذَ أَبُو طَلْحَةَ بِيَدِي فَانْطَلَقَ بِي إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أَنَسًا غُلاَمٌ كَيِّسٌ فَلْيَخْدُمْكَ. قَالَ: فَخَدَمْتُهُ فِي السَّفَرِ وَالْحَضَرِ، وَاللهِ مَا قَالَ لِي لِشَيْءٍ صَنَعْتُهُ: لِمَ صَنَعْتَ هَذَا هَكَذَا؟ وَلاَ لِشَيْءٍ لَمْ أَصْنَعْهُ: لِمَ لَمْ تَصْنَعْ هَذَا هَكَذَا؟

“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, Abu Thalhah menggamit tanganku. Pergilah ia bersamaku menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Anas adalah anak yang cerdas, maka izinkan dia melayanimu.’ Maka aku pun melayani beliau ketika bepergian maupun menetap. Demi Allah, tak pernah beliau mengatakan tentang sesuatu yang kukerjakan, ‘Mengapa kau lakukan hal ini seperti ini?’ Tidak pula beliau mengatakan tentang sesuatu yang tak kukerjakan, ‘Mengapa tidak kaukerjakan hal ini seperti ini?’.” (HR. Al-Bukhari no.2768 dan Muslim no. 2309)

Ketika Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu –yang saat itu masih kanak-kanak– enggan melakukan sesuatu yang beliau perintahkan, beliau tidak mencerca dan menghukumnya. Dikisahkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ خُلُقًا، فَأَرْسَلَنِي يَوْمًا لِحَاجَةٍ. فَقُلْتُ: وَاللهِ، لاَ أَذْهَبُ. وَفِي نَفْسِي أَنْ أَذْهَبَ لِمَا أَمَرَنِي بِهِ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجْتُ حَتَّى أَمُرُّ عَلَى صِبْيَانٍ وَهُمْ يَلْعَبُوْنَ فِي السُّوقِ، فَإِذَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ قَبَضَ بِقَفَايَ مِنْ وَرَائِي، قَالَ: فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ وَهُوَ يَضْحَكُ. فَقَالَ: يَا أُنَيْسُ، أَذَهَبْتَ حَيْثُ أَمَرْتُكَ؟ قَالَ قُلْتُ: نَعَمْ، أَنَا أَذْهَبُ، يَا رَسُوْلَ اللهِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Suatu hari, beliau pernah menyuruhku untuk suatu keperluan. Maka kukatakan, “Demi Allah, saya tidak mau pergi!” Sementara dalam hatiku, aku berniat untuk pergi guna melaksanakan perintah Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pun keluar hingga melewati anak-anak yang sedang bermain-main di pasar. Tiba-tiba muncul Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memegang tengkukku dari belakang. Aku pun memandang beliau yang sedang tertawa. Beliau mengatakan, “Wahai Anas kecil, engkau pergi juga melakukan perintahku?” Aku menjawab, “Ya, saya pergi, wahai Rasulullah!” (HR. Muslim no. 2310)

Ini semua menunjukkan kesempurnaan akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagusnya pergaulan, serta kesabaran dan kelapangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Syarh Shahih Muslim, 15/70)

Namun jika suatu perkara itu merupakan perbuatan dosa, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tak segan untuk melarang. Seperti ketika cucu beliau makan sebutir kurma yang berasal dari kurma sedekah, sementara keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam haram memakan sedekah. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan peristiwa ini:

أَخَذَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ تَمْرَةً مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ فَجَعَلَهَا فِي فِيْهِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: كِخْ كِخْ، ارْمِ بِهَا، أَمَا عَلِمْتَ أَنَّا لاَ نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ؟

Al-Hasan bin 'Ali radhiyallahu ‘anhuma memungut sebutir kurma dari kurma sedekah, lalu dia masukkan kurma itu ke mulutnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Kikh, kikh (tinggalkan dan buang barang itu, pent.)! Buang kurma itu! Tidakkah kau tahu, kita ini tidak boleh makan sedekah?” (HR. Muslim no. 1069)

Juga dalam permasalahan membiasakan ibadah shalat pada anak-anak. Ketika mengajarkan amalan yang agung ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orangtua untuk memukul anak-anak yang enggan menunaikan shalat, meremehkan dan menyia-nyiakannya, jika mereka telah mencapai usia sepuluh tahun. Pukulan ini bukan untuk menyakiti si anak, melainkan untuk mendidik dan meluruskan mereka. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini disampaikan oleh 'Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhu:

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka bila enggan melakukannya pada usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur di antara mereka.” (HR. Ahmad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ush Shaghir no. 5744: hadits ini hasan)

Demikian pula yang ada pada para sahabat. Mereka tidak segan bersikap keras bila melihat salah seorang dari keluarganya berbuat kemungkaran. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma ketika melihat salah seorang di antara keluarganya bermain dadu. Dikisahkan oleh Nafi’, maula Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:

أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا وُجِدَ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِهِ يَلْعَبُ بِالنَّرْدِ ضَرَبَهُ وَكَسَرَهَا

“Apabila Abdullah bin ‘Umar mendapati salah seorang dari anggota keluarganya bermain dadu, maka beliau memukulnya dan memecahkan dadu itu.” (Dikatakan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 960: shahihul isnad mauquf)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah ditanya tentang pendidikan terhadap anak yatim
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pun menjawab:

إِنِّي لَأَضْرِبُ الْيَتِيْمَ حَتَّى يَنْبَسِطَ

“Sesungguhnya aku pernah memukul anak yatim sampai (menangis) tertelungkup.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no.105: shahihul isnad)

Begitulah yang dilakukan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, sebagaimana orangtua terhadap anaknya. Dia memberikan hukuman pula pada anak yatim yang ada dalam asuhannya, sampai tertelungkup di atas tanah, sebagaimana yang biasa terjadi pada anak-anak bila dimarahi, mereka telungkup dan menangis. Pukulan ini dimaksudkan untuk memberikan pendidikan kepada si anak, bukan pukulan yang menyakitkan.

Inilah bimbingan Islam yang sempurna untuk kita –orangtua– dalam membimbing dan mendidik anak-anak kita, agar kita dapat mendudukkan sesuatu sesuai kadarnya dan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Inilah pengajaran kepada kita yang akan mempertanggungjawabkan pendidikan anak-anak kita di hadapan Allah.

وَالْـمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ

“Seorang istri adalah penanggung jawab rumah tangga dan anak-anak suaminya serta kelak akan ditanya tentang mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 5188 dan Muslim no. 1829)
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Ringan dalam Menghukum

Penulis : Al-Ustadzah Ummu 'Abdirrahman Bintu 'Imran

Dinukil dari www.asysyariah.com


Siapa pun mungkin mengetahui, kemampuan akal anak-anak tidak sesempurna yang ada pada orang dewasa. Anak memiliki kemampuan memahami dan mencerna yang masih sangat terbatas.

Karena itulah, kadangkala muncul kesalahan atau kekeliruan yang terkadang dia sendiri belum mampu memahami dan mengerti bahwa tindakannya itu adalah suatu kesalahan.
Menyogok mulut adik, contoh ringannya, terkadang bermula dari maksud baik untuk menyuapi si adik. Namun justru kadang menjadi kesalahan di mata orangtua, karena –sekali lagi dengan keterbatasan sang anak– belum mampu melakukannya dengan benar. Sementara dia sendiri belum mampu memandang hal itu sebagai suatu kesalahan.

Demikianlah keadaan seorang anak dengan segala keterbatasannya. Sehingga syariat pun meringankan beban amalan bagi anak kecil, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dinukilkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ، وَعَنِ الصِّبْيَانِ حَتَّى يَحْتَلِمَ، وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَعْقِلَ

“Diangkat pena dari tiga golongan: orang yang tidur hingga dia terjaga, anak kecil hingga dia baligh, dan orang gila sampai kembali akalnya.” (HR. Abu Dawud no. 4403, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud: shahih)
Di samping itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghasung kita untuk bersikap lemah lembut dan menjauhi kekasaran dalam segala hal, termasuk kepada anak-anak kita tentunya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada istri beliau, 'Aisyah radhiyallahu ‘anha:

يَا عَائِشَةُ، إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ

“Wahai 'Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan menyukai kelembutan, dan Dia memberikan pada kelembutan apa yang tidak Dia berikan pada kekasaran, maupun pada segala sesuatu selainnya.” (HR. Al-Bukhari no. 6928 dan Muslim no. 2593)

Al-Qadhi 'Iyadh rahimahullahu menjelaskan bahwa dengan kelemahlembutan ini akan dapat dicapai berbagai tujuan, dan akan mudah pula untuk mendapatkan apa yang diharapkan, yang semua itu tak dapat diperoleh dengan selain kelembutan. (Syarh Shahih Muslim, 16/144)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memuji orang yang memiliki sifat lemah lembut, dalam sabda beliau yang dinukilkan oleh Abud Darda` radhiyallahu ‘anhu:

مَنْ أُعْطِيَ حَظَّهُ مِنَ الرِّفْقِ فَقَدْ أُعْطِيَ حَظَّهُ مِنَ الْخَيْرِ، وَمَنْ حُرِمَ حَظَّهُ مِنَ الرِّفْقِ فَقَدْ حُرِمَ حَظَّهُ مِنَ الْخَيْرِ

“Barangsiapa yang diberikan bagiannya berupa kelembutan, berarti dia diberikan bagiannya berupa kebaikan, dan barangsiapa dihalangi bagiannya berupa kelembutan, berarti dia dihalangi dari bagiannya berupa kebaikan.” (HR. At-Tirmidzi no.2013, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: shahih)

Oleh karena itu pula kita, orangtua, mestinya berlapang-lapang dalam memberikan hukuman dan celaan pada anak-anak. Terlebih lagi pada hal-hal yang bukan merupakan kemaksiatan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling lapang dalam memudahkan perkara. Sebagaimana dikabarkan oleh istri beliau, 'Aisyah radhiyallahu ‘anha:

مَا خُيِّرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ إِلاَّ أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدُ النَّاسِ مِنْهُ

“Tak pernah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan pilihan di antara dua perkara, kecuali beliau pasti memilih yang paling ringan di antara keduanya selama perkara itu bukan suatu dosa. Apabila perkara itu suatu dosa, maka beliau adalah orang yang paling jauh darinya.” (HR. Al-Bukhari no.3560 dan Muslim no.2327)

Hadits ini menunjukkan disenanginya memilih sesuatu yang lebih mudah dan lebih ringan, selama hal itu bukan sesuatu yang haram atau makruh. (Syarh Shahih Muslim, 15/82)
Kelapangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini juga dialami sendiri oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam semenjak usia kanak-kanak. Anas radhiyallahu ‘anhu menceritakan:

لـَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ، أَخَذَ أَبُو طَلْحَةَ بِيَدِي فَانْطَلَقَ بِي إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أَنَسًا غُلاَمٌ كَيِّسٌ فَلْيَخْدُمْكَ. قَالَ: فَخَدَمْتُهُ فِي السَّفَرِ وَالْحَضَرِ، وَاللهِ مَا قَالَ لِي لِشَيْءٍ صَنَعْتُهُ: لِمَ صَنَعْتَ هَذَا هَكَذَا؟ وَلاَ لِشَيْءٍ لَمْ أَصْنَعْهُ: لِمَ لَمْ تَصْنَعْ هَذَا هَكَذَا؟

“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, Abu Thalhah menggamit tanganku. Pergilah ia bersamaku menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Anas adalah anak yang cerdas, maka izinkan dia melayanimu.’ Maka aku pun melayani beliau ketika bepergian maupun menetap. Demi Allah, tak pernah beliau mengatakan tentang sesuatu yang kukerjakan, ‘Mengapa kau lakukan hal ini seperti ini?’ Tidak pula beliau mengatakan tentang sesuatu yang tak kukerjakan, ‘Mengapa tidak kaukerjakan hal ini seperti ini?’.” (HR. Al-Bukhari no.2768 dan Muslim no. 2309)

Ketika Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu –yang saat itu masih kanak-kanak– enggan melakukan sesuatu yang beliau perintahkan, beliau tidak mencerca dan menghukumnya. Dikisahkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ خُلُقًا، فَأَرْسَلَنِي يَوْمًا لِحَاجَةٍ. فَقُلْتُ: وَاللهِ، لاَ أَذْهَبُ. وَفِي نَفْسِي أَنْ أَذْهَبَ لِمَا أَمَرَنِي بِهِ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجْتُ حَتَّى أَمُرُّ عَلَى صِبْيَانٍ وَهُمْ يَلْعَبُوْنَ فِي السُّوقِ، فَإِذَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ قَبَضَ بِقَفَايَ مِنْ وَرَائِي، قَالَ: فَنَظَرْتُ إِلَيْهِ وَهُوَ يَضْحَكُ. فَقَالَ: يَا أُنَيْسُ، أَذَهَبْتَ حَيْثُ أَمَرْتُكَ؟ قَالَ قُلْتُ: نَعَمْ، أَنَا أَذْهَبُ، يَا رَسُوْلَ اللهِ

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Suatu hari, beliau pernah menyuruhku untuk suatu keperluan. Maka kukatakan, “Demi Allah, saya tidak mau pergi!” Sementara dalam hatiku, aku berniat untuk pergi guna melaksanakan perintah Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pun keluar hingga melewati anak-anak yang sedang bermain-main di pasar. Tiba-tiba muncul Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memegang tengkukku dari belakang. Aku pun memandang beliau yang sedang tertawa. Beliau mengatakan, “Wahai Anas kecil, engkau pergi juga melakukan perintahku?” Aku menjawab, “Ya, saya pergi, wahai Rasulullah!” (HR. Muslim no. 2310)

Ini semua menunjukkan kesempurnaan akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagusnya pergaulan, serta kesabaran dan kelapangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Syarh Shahih Muslim, 15/70)

Namun jika suatu perkara itu merupakan perbuatan dosa, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tak segan untuk melarang. Seperti ketika cucu beliau makan sebutir kurma yang berasal dari kurma sedekah, sementara keluarga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam haram memakan sedekah. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan peristiwa ini:

أَخَذَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ تَمْرَةً مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ فَجَعَلَهَا فِي فِيْهِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: كِخْ كِخْ، ارْمِ بِهَا، أَمَا عَلِمْتَ أَنَّا لاَ نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ؟

Al-Hasan bin 'Ali radhiyallahu ‘anhuma memungut sebutir kurma dari kurma sedekah, lalu dia masukkan kurma itu ke mulutnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Kikh, kikh (tinggalkan dan buang barang itu, pent.)! Buang kurma itu! Tidakkah kau tahu, kita ini tidak boleh makan sedekah?” (HR. Muslim no. 1069)

Juga dalam permasalahan membiasakan ibadah shalat pada anak-anak. Ketika mengajarkan amalan yang agung ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orangtua untuk memukul anak-anak yang enggan menunaikan shalat, meremehkan dan menyia-nyiakannya, jika mereka telah mencapai usia sepuluh tahun. Pukulan ini bukan untuk menyakiti si anak, melainkan untuk mendidik dan meluruskan mereka. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini disampaikan oleh 'Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhu:

مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka bila enggan melakukannya pada usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur di antara mereka.” (HR. Ahmad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’ush Shaghir no. 5744: hadits ini hasan)

Demikian pula yang ada pada para sahabat. Mereka tidak segan bersikap keras bila melihat salah seorang dari keluarganya berbuat kemungkaran. Sebagaimana yang dilakukan oleh Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma ketika melihat salah seorang di antara keluarganya bermain dadu. Dikisahkan oleh Nafi’, maula Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:

أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا وُجِدَ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِهِ يَلْعَبُ بِالنَّرْدِ ضَرَبَهُ وَكَسَرَهَا

“Apabila Abdullah bin ‘Umar mendapati salah seorang dari anggota keluarganya bermain dadu, maka beliau memukulnya dan memecahkan dadu itu.” (Dikatakan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 960: shahihul isnad mauquf)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah ditanya tentang pendidikan terhadap anak yatim
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pun menjawab:

إِنِّي لَأَضْرِبُ الْيَتِيْمَ حَتَّى يَنْبَسِطَ

“Sesungguhnya aku pernah memukul anak yatim sampai (menangis) tertelungkup.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no.105: shahihul isnad)

Begitulah yang dilakukan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, sebagaimana orangtua terhadap anaknya. Dia memberikan hukuman pula pada anak yatim yang ada dalam asuhannya, sampai tertelungkup di atas tanah, sebagaimana yang biasa terjadi pada anak-anak bila dimarahi, mereka telungkup dan menangis. Pukulan ini dimaksudkan untuk memberikan pendidikan kepada si anak, bukan pukulan yang menyakitkan.

Inilah bimbingan Islam yang sempurna untuk kita –orangtua– dalam membimbing dan mendidik anak-anak kita, agar kita dapat mendudukkan sesuatu sesuai kadarnya dan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Inilah pengajaran kepada kita yang akan mempertanggungjawabkan pendidikan anak-anak kita di hadapan Allah.

وَالْـمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ

“Seorang istri adalah penanggung jawab rumah tangga dan anak-anak suaminya serta kelak akan ditanya tentang mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 5188 dan Muslim no. 1829)
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Pendidik adalah Pengganti Orangtua

Penulis : Al-Ustadz Abul 'Abbas Muhammad Ihsan

Dinukil dari www.asysyariah.com


Generasi yang shalih dan shalihah adalah harapan dan cita-cita setiap individu muslim dan muslimah semenjak memutuskan untuk berumah tangga. Sehingga dia berusaha memilih calon pasangan hidup yang cocok dan sesuai dengan ketentuan syariat, dengan harapan Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mengaruniakan kepadanya keturunan baik yang diharapkan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Al-Baqarah: 221)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ؛ لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ، تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Wanita itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah wanita yang memiliki agama, kalau tidak niscaya kamu akan merugi.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Adapun usaha berikutnya adalah meminta dan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar dikaruniai keturunan yang shalih dan shalihah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa’.” (Al-Furqan: 74)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ: بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانَ أَبَدًا

“Seandainya salah seorang kalian apabila hendak menggauli istrinya dia berdoa (yang artinya): Dengan menyebut nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari setan, dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami; maka sesungguhnya apabila ditakdirkan mendapat keturunan melalui hubungan tersebut, setan tidak akan memudaratkannya selamanya.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma)
Setelah Allah Subhanahu wa Ta'ala karuniakan keturunan, maka bertambah banyak tanggung jawabnya: kewajiban memelihara, menafkahi, dan mendidik. Yang paling besar adalah tanggung jawab untuk mendidiknya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)

Sufyan Ats-Tsauri berkata dari Manshur, dari ‘Ali radhiyallahu 'anhu: “Didiklah mereka dan ajarilah mereka.” Mujahid rahimahullahu berkata: “Bertakwalah kalian kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berwasiatlah (berilah nasihat) kepada keluarga kalian dengan takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/332)

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Seorang hamba tidak akan selamat (dari adzab-Nya) kecuali dia menegakkan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala pada dirinya dan pada orang-orang yang ada di bawah tanggung jawabnya, seperti istri, anak, dan selain mereka.”
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الْإِمَامُ رَاعٍ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِ بَيْتِهِ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْؤُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Masing-masing kalian adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Pimpinan negara adalah pemimpin, dan akan ditanya tentang rakyatnya. Seorang kepala rumah tangga adalah pemimpin bagi keluarganya dan akan ditanya tentang rakyatnya. Seorang istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya, dan akan ditanya tentang rakyatnya. Seorang pembantu adalah yang bertanggung jawab tentang harta tuannya dan akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Maka masing-masing kalian adalah pemimpin dan akan ditanya tentang rakyatnya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa tarbiyah dan pendidikan anak adalah tanggung jawab orangtua atau wali. Namun tatkala dihadapkan kepada realita keterbatasan ilmu, kemampuan, dan kesempatan yang dimiliki oleh orangtua atau wali, mereka menyerahkan tanggung jawab tarbiyah dan pendidikan tersebut kepada lembaga-lembaga tarbiyah yang telah tersedia, atau kepada para pendidik seperti ustadz dan ustadzah yang memiliki kemampuan dan tanggung jawab pendidikan. Tentunya juga harus didukung dengan lingkungan yang kondusif dan prasarana yang cukup.

Dari sinilah kita dapat menyatakan bahwa tarbiyah dan pendidikan itu akan berjalan dengan baik, insya Allah, jika ditopang oleh empat hal:

1. Kesadaran orangtua atau wali.
2. Pendidik atau lembaga tarbiyah yang berakidah dan bermanhaj yang benar, serta memiliki kesadaran tanggung jawab tarbiyah.
3. Lingkungan yang kondusif untuk tarbiyah.
4. Sarana dan prasarana.
Beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum memasukkan anak ke sebuah lembaga tarbiyah adalah dengan memerhatikan keadaan lembaga tersebut serta para pendidiknya yang:
1. Berakidah dan bermanhaj yang benar (Ahlus Sunnah wal Jamaah).
2. Berilmu dan bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
3. Berakhlak mulia dan sabar.
4. Bertanggung jawab terhadap tarbiyah anak.
5. Lingkungan yang baik.

Hal ini karena pendidikan anak (tarbiyatul aulad) adalah tanggung jawab orangtua atau wali, sehingga harus benar-benar diperhatikan. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ

“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (Al-Ma’arij: 32)

Sehingga orangtua atau wali seharusnya mencarikan teman duduk yang terbaik bagi anaknya, yaitu ustadz atau ustadzah, para pembantu pendidikan, serta teman-teman belajar yang baik.

Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السُّوءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يَحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخِ الْكِيْرِ إِمَّا يَحْرِقُ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا مُنْتِنَةً

“Hanya saja permisalan teman duduk yang baik dan teman duduk yang jelek seperti orang yang membawa minyak wangi (misik) dan orang yang meniup tungku (untuk membakar besi). Orang yang membawa misik, mungkin akan memberimu misik tersebut, atau mungkin engkau akan membelinya dari dia, atau engkau akan mendapatkan bau wangi darinya. Adapun peniup tungku (untuk membakar besi) mungkin akan membakar pakaianmu (dengan percikan api), atau mungkin engkau akan mendapatkan bau tak sedap darinya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Lingkungan memiliki andil yang besar dalam tarbiyah. Lihatlah bimbingan seorang yang berilmu kepada orang yang telah membunuh seratus orang tatkala ia ingin bertaubat:

انْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللهَ تَعَالَى فَاعْبُدِ اللهَ مَعَهُمْ وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضٌ سُوءٌ

“Pergilah ke negeri demikian dan demikian, karena di sana ada orang-orang yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka beribadahlah kepada Allah bersama mereka, dan jangan kembali ke negerimu karena negerimu adalah negeri yang buruk.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu)

Muhammad bin Sirin rahimahullahu berkata:

إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِيْنَكُمْ

“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”

Peran Seorang Pendidik

Seorang pendidik (ustadz atau ustadzah) memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk dan mencetak anak-anak didiknya, terutama anak didik yang belum berakal dan belum baligh. Mereka akan senantiasa memerhatikan dan berusaha meniru apa yang dilakukan oleh pendidiknya. Bahkan sering kita dengar dari mereka ketika dinasihati orangtua atau walinya, atau terjadi perbedaan pendapat di antara mereka, mereka mengatakan: “Ustadz/ ustadzahku berkata demikian” atau “melakukan demikian.” Oleh karena itulah, para pendidik wajib menyadari akan kedudukannya dalam pandangan anak didiknya, yaitu sebagai pengganti orangtua atau walinya, yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ

“Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (Ali ‘Imran: 79)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Masing-masing kalian adalah pemimpin, dan masing-masing kalian akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.”

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ مِثْلُ الْوَالِدِ أُعَلِّمُكُمْ

“Hanya saja kedudukanku bagi kalian seperti orangtua, maka aku ajari kalian.” (HR. An-Nasa`i no. 40 dan Ibnu Majah no. 313)

Beberapa hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang pendidik dalam rangka pendidikan adalah:

1. Menjadi teladan yang baik dalam ilmu dan amal.

Allah Subhanahu wa Ta'ala mengisahkan perkataan Nabi Syu’aib q kepada kaumnya:

وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ

“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan.” (Hud: 88)

Dari Abu ‘Amr Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Barangsiapa memberikan contoh yang baik dalam Islam, maka dia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala sebesar pahala orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang memberikan contoh yang jelek, dia akan mendapatkan dosanya dan dosa sebesar dosa orang yang mengikuti dia, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)

Sehingga, seorang pendidik harus terus berusaha agar perbuatannya tidak menyelisihi ucapannya, terutama di hadapan anak-anak didiknya. Karena hal ini akan menjatuhkan kewibawaannya dan menghilangkan barakah ilmunya, serta bisa membinasakan dirinya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (Al-Baqarah: 44)

Dari Abu Zaid Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhuma, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ :يَا فُلَانُ، مَا لَكَ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ؟ فَيَقُولُ: بَلَى، قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ وَأَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ

“Didatangkan seseorang pada hari kiamat kemudian dilemparkan ke dalam neraka, maka isi perutnya keluar kemudian dia berputar-putar padanya sebagaimana keledai berputar di penggilingan. Maka penghuni neraka berkumpul (melihatnya) lalu mereka berkata: ‘Wahai fulan, kenapa kamu? Bukankah kamu memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar?’ Dia menjawab: ‘Ya. Aku menyuruh yang ma’ruf namun aku tidak melakukannya. Aku melarang dari yang mungkar namun aku melakukannya’.” (Muttafaqun ‘alaih)

2. Materi pendidikan yang diberikan kepada anak didik ditekankan pada akidah dan akhlak atau adab, dengan cara menunjukkan dalil-dalilnya bila mampu.

Karena dengan demikian, pendidik melatih anak didiknya untuk bersikap ilmiah dalam beragama.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang Luqman Al-Hakim:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah), sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar’.” (Luqman: 13)

Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’.” (Al-Anbiya`: 25)

Dari Mu’adz radhiyallahu 'anhu, dia berkata:

بَعَثَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللهِ –وفي رواية- أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ

“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengutusku ke Yaman. Beliau bersabda: ‘Sungguh kamu akan mendakwahi suatu kaum dari ahli kitab. Maka dakwahilah mereka untuk mengucapkan syahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, dan bahwasanya aku adalah utusan Allah’.”

Dalam riwayat yang lain: “Agar mereka mentauhidkan Allah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Metode atau cara yang dituntunkan oleh para imam salaf seperti Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab rahimahullahu di dalam kitab Al-Ushul Ats-Tsalatsah bagus sekali. Alangkah bagusnya kalau anak didik disuruh menghafal kemudian dijelaskan sesuai dengan tingkat pemahaman mereka. Sedikit demi sedikit. Ini dalam permasalahan akidah.

Dalam masalah akhlak atau adab, bisa diambilkan dari kitab Riyadhush Shalihin. Dalil-dalilnya dihafalkan dan dijelaskan pula sesuai dengan kemampuan mereka.
Materi fiqih bisa diambil dari ‘Umdatul Ahkam dengan metode yang sama. Hal ini insya Allah lebih bermanfaat bagi anak didik. Selain pula sebagai sebuah upaya untuk mengenalkan dan menanamkan kecintaan dalam diri anak didik terhadap para imam salaf dan cara mereka dalam memahami agama

3. Memberi beban hafalan atau materi pelajaran lainnya sesuai dengan kemampuan mereka, sehingga anak didik merasa senang dan semangat belajar.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)

يُرِيدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah: 185)

Dari Anas radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا

“Mudahkanlah dan jangan kalian persulit. Berilah kabar gembira dan jangan kalian membuat (mereka) lari (dari dakwah).” (Muttafaqun ‘alaih)
Ketika ada anak didik mendapatkan kesulitan dalam menghafal atau materi pelajaran lainnya, hendaknya pendidik berusaha membantunya dan menjelaskan sejelas-jelasnya, dengan sabar dan berulang-ulang. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ

“Bila kalian memberi beban kepada mereka, maka bantulah mereka.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu)

Hendaknya pendidik tidak memberikan beban hafalan atau pelajaran yang tidak dimampu oleh anak didik. Beban hafalan atau pelajaran di luar kemampuan mereka akan menyebabkan mereka malas belajar dan putus asa, tidak mau belajar lagi. Hal ini haram hukumnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau berdoa:
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ
“Ya Allah, barangsiapa mengurus sebagian dari urusan umatku kemudian dia menyusahkan mereka, maka jadikanlah dia susah. Dan barangsiapa yang mengurus sebagian urusan umatku kemudian bersikap lemah lembut terhadap mereka, maka lemah lembutlah kepadanya.” (HR. Muslim)
Dari Jabir radhiyallahu 'anhuma, dia berkata:
صَلىَّ مُعَاذٌ بِأَصْحَابِهِ الْعِشَاءَ فَطَوَّلَ عَلَيْهِمْ فَقَالَ n: أَتُرِيْدُ أَنْ تَكُونَ يَا مُعَاذُ فَتَّانًا؟ إِذَا أَمَّمْتَ النَّاسَ فَاقْرَأْ {وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا} وَ {سَبِحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى} وَ {اقْرَأْ بِسْمِ رَبِّكَ} وَ {وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى}
“Mu’adz mengimami shalat Isya bagi para sahabatnya, lalu dia memanjangkan (shalat) hingga memberatkan mereka. Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Apakah engkau ingin menjadi orang yang menimbulkan fitnah, wahai Mu’adz? Apabila engkau mengimami orang-orang, bacalah Wasy-syamsi wa dhuhaha, atau Sabbihisma rabbikal a’la, atau Iqra` bismi rabbika, atau Wal-laili idza yaghsya’.” (Muttafaqun ‘alaih)
4. Sabar menghadapi berbagai karakter, tingkah laku dan tingkat kecerdasan anak-anak didiknya. Karena, itu semuanya adalah ujian dan cobaan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ
“Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar?” (Al-Furqan: 20)
Memang fitrah manusia akan mencintai anak yang penurut, pandai, cerdas dan berakhlak baik. Namun kecintaan itu tidak boleh menghalanginya untuk mendidik dengan adab yang benar atau justru membawanya berbuat tidak adil terhadap anak didiknya yang lain, misalnya dalam pemberian atau hibah.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat mencintai Hasan bin ‘Ali radhiyallahu 'anhuma. Namun tatkala dia hendak makan kurma shadaqah (dan shadaqah adalah haram bagi ahlil bait), beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pun mencegahnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dia berkata:
أَخَذَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ c تَمْرَةً مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ فَجَعَلَهَا فِي فِيهِ فَقَالَ النَّبِيُّ n: كَخْ كَخْ. لِيَطْرَحَهَا ثُمَّ قَالَ: أَمَا شَعَرْتَ أَنَّا لَا نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ؟
“Hasan bin ‘Ali radhiyallahu 'anhuma mengambil sebutir kurma shadaqah kemudian dia masukkan ke mulutnya. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: ‘Kakh, kakh,’ agar Hasan membuangnya. Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Tidakkah engkau mengerti bahwa kita (ahlul bait) tidak makan shadaqah?’ (Muttafaqun ‘alaih)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga sangat mencintai Fathimah radhiyallahu 'anha, namun beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
وَأَيْمُ اللهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعَ مُحَمَّدٌ يَدَهَا
“Demi Allah, bila Fathimah bintu Muhammad mencuri, sungguh Muhammad (n) akan memotong tangannya.” (Muttafaqun ‘alaih, dari sahabat Usamah bin Zaid radhiyallahu 'anhuma)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
فَاتَّقُوا اللهَ وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ
“Bertakwalah kepada Allah, dan bersikap adillah terhadap anak-anakmu.” (Muttafaqun ‘alaih, dari sahabat An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu 'anhuma)
Bila pendidik mendapati anak didik yang bandel, kurang beradab, tidak cerdas atau banyak tingkah, maka kebenciannya tidak boleh menyeretnya untuk berbuat zalim. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Ma`idah: 8)
Upaya pembenahan dan perbaikan terhadap anak yang bandel atau banyak tingkah bisa diusahakan tanpa pukulan. Bisa dengan nasihat secara lisan, atau dibentak, atau ditakut-takuti tanpa berlebihan sehingga tidak menimbulkan sikap minder pada anak. Hal itu dilakukan terlebih dahulu disertai dengan doa, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Sesungguhnya kelemahlembutan itu tidaklah ada dalam suatu perkara kecuali akan menjadikannya bagus, dan tidaklah kelemahlembutan itu dicabut dari sesuatu kecuali akan menjadikannya jelek.” (HR. Muslim, dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha, dia berkata:
مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا
“Tidaklah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diberi pilihan antara dua perkara kecuali beliau akan memilih yang paling mudah atau ringan, selama bukan dosa.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha, dia berkata:
مَا ضَرَبَ النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَطُّ بِيَدِهِ وَلَا امْرَأَةً وَلاَ خَادِمًا إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah memukul dengan tangannya kepada istri maupun pembantu, kecuali dalam jihad di jalan Allah.” (HR. Muslim)
5. Bersikap pemaaf dan tawadhu’ (rendah hati)
Dua perkara ini memiliki pengaruh yang besar dalam tarbiyah dan pendidikan. Karena, ketika anak didik mendapati ustadz atau ustadzahnya memiliki jiwa pemaaf dan tawadhu’, hal itu akan menambah kewibawaan di hadapan anak didik. Sehingga berbagai macam nasihat dan bimbingan akan lebih mudah mereka terima. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ
“Tidaklah shadaqah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah seorang hamba dengan pemaafannya kecuali izzah (kewibawaan). Dan tidaklah seseorang bersikap rendah hati (tawadhu’) karena Allah, kecuali Allah akan meninggikan derajatnya.” (HR. Muslim)
6. Berusaha menggunakan kata-kata yang baik dan banyak mendoakan kebaikan bagi anak didiknya. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia berkata yang baik atau diam (bila tidak mampu).” (Muttafaqun ‘alaih, dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
“Dan kalimat yang baik itu shadaqah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dari ‘Adi bin Hatim radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ
“Berlindunglah kalian dari neraka, walaupun dengan menyedekahkan separuh kurma. Barangsiapa yang tidak mendapatkannya, maka dengan kata-kata yang baik.” (Muttafaqun ‘alaih)
Di antara kalimat yang baik adalah doa kebaikan untuk anak didiknya. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendoakan kebaikan bagi Ibnu ‘Abbas, Hasan bin ‘Ali, dan para sahabat yang lainnya g:
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ
“Ya Alah, pahamkanlah dia (Ibnu ‘Abbas) dalam agama, dan ajarilah dia tafsir.” (HR. Ath-Thabarani, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 2589)
اللَّهُمَّ إِنِّي أُحِبُّهُ فَأَحِبَّهُ
“Ya Allah, sesungguhnya aku mencintainya (Hasan bin ‘Ali), maka cintailah dia.” (Muttafaqun ‘alaih)
Para ulama pun mencontohkan untuk mendoakan kebaikan bagi murid-muridnya. Misalnya dengan ucapan rahimakallah (semoga Allah merahmatimu), hadakallah (semoga Allah memberimu hidayah), ashlahakallah (semoga Allah memperbaikimu), dan lainnya.
Mudah-mudahan dengan berbagai daya dan upaya tersebut, Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan barakah terhadap usaha-usaha tarbiyah dan pendidikan anak-anak kita. Sehingga muncul dari mereka para ulama dan da’i yang berjalan di atas akidah dan manhaj Ahlus Sunnah. Amin. Allahumma taqabbal du’a`.

Anak, Antara Harapan dan Impian

Penulis : Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin

Dinukil dari www.asysyariah.com

Sebagai insan beriman, selaiknya untuk tiada henti-henti menabur rasa syukur dalam hidupnya. Syukur, atas beragam nikmat dan karunia yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan kepadanya. Betapa banyak curahan nikmat dan karunia yang direguk, tiadalah diri mampu untuk membilangnya. Ini telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tegaskan dalam firman-Nya:

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nahl: 18)

Bagi insan beriman yang pandai mensyukuri nikmat, tentulah Allah Subhanahu wa Ta’ala kelak menambah kenikmatan itu. Ini sebagaimana telah Allah Subhanahu wa Ta’ala nyatakan:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (Ibrahim: 7)

Juga, bagi insan beriman yang secara cerdas menyikapi kucuran beragam nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, dirinya kelak memperoleh keberuntungan, kesuksesan, dan kemenangan. Firman-Nya:

فَاذْكُرُوا ءَالاَءَ اللهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Al-A’raf: 69)
Satu dari beragam nikmat yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepada hamba-hamba-Nya adalah anak. Firman-Nya:

وَاللهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَةِ اللهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
“Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak anak dan cucu-cucu, dan memberimu rizki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?” (An-Nahl: 72)

Firman-Nya:

لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ. أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ

“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Asy-Syura: 49-50)

Demikianlah, Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan segala sesuatu atas manusia. Termasuk dalam pemberian anak. Maka, segala nikmat yang ada pada manusia, semuanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).” (An-Nahl: 53)

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullahu membagi nikmat ke dalam dua bagian.

Pertama, an-ni’mah al-muthlaqah.

Yaitu kenikmatan yang bisa mengantarkan kepada kebahagiaan abadi. Seperti nikmat dalam berislam dan mengikuti As-Sunnah. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan untuk memohon meraup nikmat ini. Memohon agar mendapat hidayah untuk menempuh jalan orang-orang yang meraih nikmat ini:

وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

“Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul (Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa`: 69)

Kedua, an-ni’mah al-muqayyadah.

Yaitu kenikmatan yang digambarkan seperti nikmat memperoleh kesehatan, kekayaan, kekuatan jasad, kedudukan, banyak anak dan memiliki para istri yang baik, serta nikmat-nikmat yang sejenis. Kenikmatan semacam ini diberikan kepada orang yang berbuat kebaikan, juga kepada orang yang berbuat kemaksiatan, mukmin maupun kafir. Kenikmatan seperti di atas, bila diberikan kepada orang kafir, merupakan bentuk istidraj (dalam bahasa Jawa: dilulu) dengan kenikmatan itu, mengarahkan dirinya kepada azab, petaka. Hakikatnya dia tidak memperoleh nikmat, tapi sesungguhnya dirinya memperoleh bala (sesuatu yang bisa menyusahkan). Firman-Nya:

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ

“Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata: ‘Rabbku telah memuliakanku’. Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: ‘Rabbku menghinakanku’.” (Al-Fajr: 15-16) [Ijtima’ Al-Juyusy Al-Islamiyyah, hal. 33]

Kata Ibnu Katsir rahimahullahu bahwa firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (dalam ayat di atas) sebagai bentuk pengingkaran terhadap orang yang berkeyakinan apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala meluaskan rizkinya berarti dirinya mendapat kemuliaan. Padahal tidak demikian. Bahkan hal itu merupakan bentuk bala dan ujian. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:

أَيَحْسَبُونَ أَنَّمَا نُمِدُّهُمْ بِهِ مِنْ مَالٍ وَبَنِينَ(55)نُسَارِعُ لَهُمْ فِي الْخَيْرَاتِ بَل لَا يَشْعُرُونَ

“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? Tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” (Al-Mu`minun: 55-56)

Demikian pula sebaliknya, apabila mengalami bala, ujian dan kesempitan rizki, dirinya berkeyakinan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menghinakannya. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: كَلاَّ (Sekali-kali tidak demikian). Permasalahannya tidaklah seperti yang dia yakini. Tidak seperti ini dan tidak seperti yang ini pula. Karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan harta kepada siapa yang Dia suka dan yang tidak Dia suka. Menyempitkan harta kepada yang Dia suka dan yang tidak Dia suka. Sesungguhnya titik pijak dari itu semua adalah ketaatan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam (menyikapi) dua keadaan: apabila dia sebagai orang yang berkecukupan (kaya), hendaknya dia bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas yang demikian ini. Apabila dia fakir, hendaknya menyikapinya dengan sabar.” (‘Umdatut Tafsir ‘an Al-Hafizh Ibni Katsir, Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullahu, 3/683)

Karenanya, seseorang yang telah dikaruniai anak hendaknya menjaga anak tersebut agar tidak menghadirkan bala dan malapetaka. Kehadirannya tidak menjadi fitnah (ujian) yang menyeret orangtuanya kepada sesuatu yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Untuk itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan bahwa harta dan anak adalah fitnah (ujian).

إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya harta dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (At-Taghabun: 15)

Maksud ayat ini, harta dan anak adalah bala (sesuatu yang bisa menyusahkan), ujian dan cobaan yang membawamu ke arah perbuatan yang haram dan menghalangi dari hak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, janganlah menaati mereka dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Fathul Qadir, Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, 5/317)
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kepada manusia untuk menjaga diri, istri dan anak-anaknya dari api neraka. Membimbing dan mengarahkan mereka untuk menetapi apa yang telah disyariatkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini merupakan bagian dari kewajiban memberikan pendidikan terhadap anak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُونَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
Dari Abdullah bin ‘Umar, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ فَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُمْ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُمْ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلىَ مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُولٌ عَنْهُ، أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap diri kamu adalah pemimpin, maka dia bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang amir (penguasa) yang membawahi rakyatnya adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab terhadap mereka. Seorang suami adalah pemimpin atas penghuni rumahnya (keluarga) dan dia bertanggung jawab terhadap mereka. Seorang istri adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan dia bertanggung jawab terhadap mereka. Seorang budak adalah pemimpin atas harta majikannya dan dia bertanggung jawab terhadapnya. Ingatlah, tiap-tiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)

Islam mendorong setiap pemeluknya, dalam hal ini para orangtua, untuk memenuhi kewajibannya dalam mendidik anak. Islam tak menghendaki kehidupan generasi ke depan diliputi keterpurukan akidah, melemahnya iman, dan ketiadaan paham terhadap syariat. Sesungguhnya seorang yang beriman yang memiliki kekokohan iman tentu lebih baik dan lebih dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada yang lemah. Abu Hurairah mengungkapkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada mukmin yang lemah.” (HR. Muslim no. 2664)

Menurut Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu, yang dimaksud ‘mukmin yang kuat’ yakni (kuat) dalam keimanannya. Bukan kuat dari aspek fisik (tubuh). Karena, kekuatan tubuh seseorang bisa mendukung pada sesuatu yang berbahaya bila kekuatan itu digunakan untuk maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kekuatan tubuh sendiri, secara zat, tidaklah dikategorikan sebagai satu hal yang terpuji atau tercela. Bila seseorang menggunakannya untuk sesuatu yang bermanfaat di dunia dan akhirat, maka jadilah kekuatan tubuh itu sebagai suatu yang terpuji. Adapun bila difungsikan guna membantu dalam kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka kekuatan tubuh itu menjadi satu hal tercela. Maka, kekuatan yang dimaksud dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di muka: الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ bermakna قَوِيُّ الْإِيْمَانِ (kuat iman). Sebab kata الْقَوِيُّ kembali kepada sifat yang mendahuluinya yaitu kata al-iman. Seperti perkataan الرَّجُلُ الْقَوِيُّ (laki-laki yang kuat), artinya laki-laki itu perkasa (jantan). Begitu juga dengan kalimat الْمَؤْمِنُ الْقَوِيُّ yaitu kuat dalam masalah keimanannya.

Sesungguhnya seorang mukmin yang kuat, kokoh, tangguh keimanannya akan mengarahkannya untuk menegakkan kewajiban yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala embankan pada dirinya. Pun dirinya akan menambah dengan amalan-amalan nawafil (sunnah), dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala tentunya. Sedangkan bila diliputi dengan lemah iman, kelemahan imannya tak akan menghasung dirinya untuk mengerjakan hal-hal yang wajib serta meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan. (Syarhu Riyadhish Shalihin, 1/318)
Tak bisa diabaikan peran strategis orangtua dalam mencelup sosok anak menjadi insan beriman. Memiliki fitrah bertauhid yang tetap terjaga. Tidak terjerembab, jatuh dalam beragam penyimpangan. Sebagaimana dimaklumi, anak yang lahir ke alam fana ini telah memiliki fitrah mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia diciptakan dalam keadaan di atas tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَ تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Ar-Rum: 30)

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي ءَاتَيْنَاهُ ءَايَاتِنَا فَانْسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Rabbmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah)’.” (Al-A’raf: 172)

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah mengungkapkan bahwa penetapan tentang rububiyah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengarahkan anak kepadanya merupakan perkara yang bersifat fitrah. Adapun kesyirikan merupakan sesuatu yang baru (ada setelah anak berinteraksi dengan lingkungan atau terpengaruh pendidikan, pen.). Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

كُلُّ مَوْلُودٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan di atas fitrah. Maka, kedua orangtuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari no. 1384, dan Muslim no. 2658, dari hadits Abu Hurairah)

Lebih lanjut, Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah menyatakan bahwa lantaran pendidikan yang menyimpang dan lingkungan yang menyeleweng, terjadilah perubahan arah (dalam penetapan tauhid) pada diri anak. Dari sanalah anak melakukan bentuk taklid (melakukan proses imitasi/ meniru) pada orangtua mereka dalam kesesatan dan penyelewengan. (‘Aqidatu At-Tauhid, hal. 28)

Faktor bi`ah (lingkungan, termasuk di antaranya lingkungan keluarga) memiliki pengaruh yang besar terhadap tumbuh kembang anak. Keluarga yang harmonis, sehat dan senantiasa mendapat siraman nilai-nilai syariat, akan memberi pengaruh positif yang luar biasa terhadap pendidikan anak. Sebaliknya, keluarga yang buruk umumnya memberi pengaruh yang buruk pula pada pendidikan anak. Maka, peran orang tua memberikan kontribusi yang besar bagi pendidikan anak. Sebab, bila sebuah keluarga baik, maka kebaikan itu akan memberi pengaruh kepada anak. Biidznillah, dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Karenanya, keshalihan dan amal shalih orangtua sangat besar pengaruhnya dalam membentuk sosok kepribadian anak yang shalih. Sebaliknya, kehampaan dari amal shalih dan perilaku buruk dari orangtua justru bisa menghancurkan pendidikan anak. Bahkan tak hanya itu. Keadaan orangtua yang semacam ini bisa mendatangkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menjauhkan berkah dari-Nya. Memupus sakinah (ketenangan) di dalam rumah. Maka, sikap shalih dan giat beramal shalih dari orangtua merupakan suluh yang memercikkan seberkas cahaya bagi pendidikan anak. Betapa tidak. Bukankah orangtua yang senantiasa membaca Al-Qur`an, membaca surat Al-Baqarah, al-mu’awwidzat dan lainnya, bisa mendatangkan sakinah, rahmah dan menjadikan para setan lari?

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَحَفَتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيْمَنْ عِنْدَهُ

“Dan tidaklah berkumpul satu kaum di salah satu dari rumah-rumah Allah, mereka membaca Kitabullah (Al-Qur`an) dan mempelajarinya di antara mereka, kecuali akan turun atas mereka sakinah, tercurah atas mereka rahmah, para malaikat pun mengelilingi mereka dan Allah menyebut-nyebut mereka pada siapa yang di sisi-Nya.” (HR. Muslim, no. 2699)

Juga berdasar hadits dari Abu Hurairah z, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ، إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيْهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

“Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah.” (HR. Muslim no. 780)

Sungguh, tiada mampu terperikan bila Al-Qur`an ditinggalkan. Orangtua pun lalai dari zikir (mengingat) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Rumah dipenuhi dengan suara hiruk pikuk tetabuhan musik, dendang nasyid nan memabukkan jiwa, dan tembang lagu yang membangkitkan syahwat. Apatah lagi yang bisa diharapkan dari rumah yang sarat racun yang mematikan qalbu. Dahsyat! Ini merupakan upaya sistematis dari kalangan setan untuk memalingkan anak sehingga ternodai fitrahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ

“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (Al-An’am: 112)

Maka, tatkala rumah hampa dari zikir, di situlah setan bercokol. Setan mengembuskan pertikaian, permusuhan, dendam kesumat, ketidakharmonisan, kegalauan, dan sekian banyak keburukan lainnya. Tak ada berkah dan sakinah. Bagaimanakah anak akan bisa tumbuh manis dalam suasana rumah seperti ini? Nas`alullah al-’afiyah.

Sekali lagi, keshalihan dan amal shalih orangtua sangat memberi pengaruh bagi anak. Telisiklah, bagaimana kisah Musa dan Khidhir ‘alaihissalam kala tiba di tengah penduduk suatu negeri. Mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tak mau menjamu keduanya. Lantas, keduanya mendapati dinding rumah yang nyaris roboh, maka Khidhir menegakkan dinding itu. Musa pun berkata kepada Khidhir:

قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا

“Musa berkata: ‘Kalau engkau mau, niscaya engkau mengambil upah untuk itu’.” (Al-Kahfi: 77)

Perihal peristiwa ini, Khidhir pun memberitahu kepada Musa:

وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا

“Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedangkan ayah keduanya adalah seorang yang shalih. Maka Rabbmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (Al-Kahfi: 82)

Menurut Ibnu Katsir rahimahullahu, bunyi ayat:

وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا

“Ayah keduanya adalah seorang shalih.”

merupakan dalil bahwa seorang yang shalih akan dijaga keturunan-keturunannya, termasuk keberkahan ibadahnya bagi anak-anaknya di dunia dan akhirat dengan syafaatnya kepada mereka. (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 1/121)

Hal yang sama diungkapkan pula oleh Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu, bahwa sungguh (bagi) hamba yang shalih, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menjaganya dan menjaga anak-anaknya. (Taisir Al-Karimirrahman, hal. 521)
Ini merupakan berkah dari keshalihan orangtua, hingga Allah Subhanahu wa Ta’ala memelihara dan merahmati anak-anaknya.

فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ

“Maka Rabbmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Rabbmu.” (Al-Kahfi: 82)

Sebagai orangtua atau pendidik dituntut untuk senantiasa mengarahkan dan membimbing anak. Segenap upaya dikerahkan agar memperoleh hasil pendidikan yang optimal. Tak semata kemampuan intelektual yang ingin dicapai, seperti banyaknya menyerap hafalan, ilmu dan lain-lain. Namun, ingin dicapai pula pembentukan kepribadian yang tersinari nilai-nilai akhlak Islami, akidah yang murni dan ibadah yang baik. Keadaan semacam ini adalah sesuatu yang idealis dan menjadi harapan semua pihak. Tapi pada kenyataannya, sebagai orangtua atau pendidik dihadapkan pada satu kasus yang di luar keinginan dan harapannya. Anak yang dicitakan mampu menyerap dan mengamalkan nilai-nilai Islam ternyata memendam sejumput masalah. Perilakunya senantiasa mengundang masalah. Ada saja ulahnya yang tiada terpuji.

Bagi orangtua atau pendidik, selain harus tetap berupaya membimbing, mengarahkan dengan berbagai nasihat, juga tidak lupa untuk selalu memanjatkan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagai orangtua atau pendidik harus meyakini sepenuhnya bahwa yang memberi hidayah adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَنْ يَهْدِ اللهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَنْ يُضْلِلْ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.” (Al-A’raf: 178)

فَإِنَّ اللهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

“Maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya.” (Fathir: 8)

Hadits dari Sa’id bin Al-Musayyab, dari ayahnya, yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, mengungkapkan betapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tak memiliki daya untuk memberikan hidayah taufiq kepada paman beliau, Abu Thalib. Sehingga pamannya mati dalam kekafiran. Maka turunlah ayat:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Al-Qashash: 56)

Kisah ini bisa dilihat dalam Shahih Al-Bukhari, hadits no. 4772.
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah memerinci masalah hidayah menjadi dua macam. Pertama, al-huda (petunjuk) dengan makna ad-dalalah (tuntunan) dan al-bayan (penjelasan). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَأَمَّا ثَمُودُ فَهَدَيْنَاهُمْ فَاسْتَحَبُّوا الْعَمَى عَلَى الْهُدَى

“Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) dari petunjuk itu.” (Fushshilat: 17)
Kedua, al-huda (petunjuk) dengan makna at-taufiq dan al-ilham. Inilah yang tidak ada pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak ada kekuasaan pada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk memberi hidayah) kecuali (hidayah ini dari) Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (Al-Qashash: 56) [Syarh Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, hal. 8-9)

Dengan memahami dan meyakini masalah hidayah ini, setidaknya bisa melecut diri untuk senantiasa bersabar dalam menunaikan kewajiban mendidik anak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَاصْبِرْ إِنَّ الْعَاقِبَةَ لِلْمُتَّقِينَ

“Maka bersabarlah, sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Hud: 49)

Pendidik (orangtua) harus tetap gigih mengarahkan, membimbing, menuntun dan memberi keteladanan pada anak. Mudah-mudahan dengan segenap upaya ini Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi hidayah dan taufiknya kepada anak. Semoga. Wallahu a’lam.