Sabtu, 12 Juni 2010

Keberuntungan dan Kebahagiaan

Penulis : Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan

Dinukil dari www.asysyariah.com

Siapa gerangan yang tak hendak mendapatkan untung? Siapa pula yang tak ingin meraih bahagia? Semua orang tentu mendambakan keberuntungan sekaligus kebahagiaan. Namun banyak orang menyangka keberuntungan dan kebahagiaan itu dapat diraih bila seseorang berhasil mendapatkan dunia berupa harta, pangkat, jabatan, dan kedudukan. Karena pandangan seperti itu, mereka pun menghabiskan waktu, umur, dan tenaga mereka guna meraih apa yang menurut mereka sebagai sebab (faktor) keberuntungan dan kebahagiaan. Padahal, sungguh mereka telah salah dan tidaklah mereka di atas petunjuk. Lihatlah Qarun yang hidup di zaman Nabi Musa q, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya saja harus dipikul oleh sekelompok lelaki yang kuat. Namun apa akhirnya kisahnya? Karena kedurhakaannya, ia ditenggelamkan ke dalam bumi bersama hartanya, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala kabarkan dalam Al-Qur’an:
فَخَسَفْنَا بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ فَمَا كَانَ لَهُ مِنْ فِئَةٍ يَنْصُرُونَهُ مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Kami pun membenamkan Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi, maka tidak ada suatu golongan pun yang menolongnya selain Allah (dari azab-Nya).” (Al-Qashash: 81)
Sampai pula kabar kepada kita tentang Fir‘aun si durjana yang binasa dengan kerajaan dan kekuasaannya. Demikian pula umat-umat terdahulu yang memiliki kekuatan hebat dan kekuasaan yang besar, namun ingkar kepada Rabb semesta alam.
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ. إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ. الَّتِي لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلَادِ. وَثَمُودَ الَّذِينَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ. وَفِرْعَوْنَ ذِي الْأَوْتَادِ. الَّذِينَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ. فَأَكْثَرُوا فِيهَا الْفَسَادَ. فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ. إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ
“Apakah kamu tidak memerhatikan bagaimana Rabbmu telah berbuat terhadap kaum ‘Ad, (yaitu) penduduk Iram yang memiliki bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu di negeri-negeri lain. Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah. Dan kaum Fir’aun yang mempunyai tentara yang banyak, yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu. Oleh sebab itulah Rabbmu menimpakan kepada mereka cemeti azab. Sesungguhnya Rabbmu benar-benar mengawasi.” (Al-Fajr: 6-14)
Lalu, apakah kemajuan teknologi dalam berbagai bidang yang di zaman ini dikuasai oleh orang-orang kafir merupakan sebab keberuntungan dan kebahagiaan mereka? Sekali-kali tidak!
Ketahuilah wahai saudariku, bila iman tidak menjadi pegangan dan akidah yang shahihah tidak menjadi landasan, akan rusak binasalah dunia dan jadilah seluruh amalan tiada berfaedah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman mengabarkan tentang amalan orang-orang kafir:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا
“Dan amal-amal orang-orang kafir adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu, dia tidak mendapati apa-apa....” (An-Nur: 39)
مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ لَا يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ هُوَ الضَّلَالُ الْبَعِيدُ
“Permisalan amalan-amalan orang-orang yang kafir kepada Rabb mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari apa yang telah mereka usahakan di dunia. Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” (Ibrahim: 18)
Kehidupan orang kafir di dunia ini –dengan segenap harta yang ada pada mereka berikut kekuasaan, kekuatan, dan teknologi– Allah Subhanahu wa Ta’ala namakan dengan perhiasan sementara, yang akan berakhir dengan kerugian dan api neraka.
لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ. مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمِهَادُ
“Janganlah sekali-kali kamu teperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka adalah Jahannam dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (Ali ‘Imran: 196-197)
Sebagian kaum muslimin yang lemah imannya teperdaya manakala melihat orang-orang kafir diberi keluasan dan kelapangan dalam kehidupan dunia. Akibatnya ia kagum dan mengagungkan mereka di dalam hatinya. Sebaliknya, bila ia melihat kelemahan yang menimpa kaum muslimin dan terbelakangnya kehidupan mereka, ia menyangka semua itu gara-gara Islam. Islam berikut pemeluknya pun jadi hina di dalam jiwanya.
Ketahuilah, kebangkrutan dan kerugian orang kafir di dunia dan di akhirat merupakan suatu kemestian, karena mereka telah kehilangan penegak keberuntungan dan kebahagiaan. Di antara yang paling inti adalah iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari akhir. Keberuntungan hanyalah bagi orang-orang beriman dan bertakwa, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ. الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ. أُولَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ. الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak wanita yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa yang mencari di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat yang dipikulnya dan janjinya, dan orang-orang yang menjaga shalat mereka. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yaitu) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (Al-Mu’minun: 1-11)
الم. ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ. الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ. وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ. أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugrahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Al-Qur’an yang telah diturunkan kepadamu dan beriman kepada kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya kehidupan akhirat. Mereka itulah yang tetap beroleh petunjuk dari Rabb mereka dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Baqarah: 1-5)
Sebab-sebab keberuntungan yang bisa kita sebutkan di sini di antaranya:
• Bertaubat dari dosa-dosa, beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beramal shalih. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَأَمَّا مَنْ تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَعَسَى أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُفْلِحِينَ
“Adapun orang yang bertaubat dan beriman serta mengerjakan amal shalih maka semoga ia termasuk orang-orang yang beruntung.” (Al-Qashash: 67)
• Terus-menerus berzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman-Nya:
وَاذْكُرُوا اللهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Berzikirlah kalian kepada Allah dengan sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung.” (Al-Anfal: 45)
• Menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji dan menjauh dari sifat-sifat tercela. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Berinfaklah dengan infak yang baik untuk diri kalian. Barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (At-Taghabun: 16)
Dalam surah yang lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى. وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan dirinya. Dia ingat nama Rabbnya kemudian ia mengerjakan shalat.” (Al-A’la: 14-15)
Demikianlah wahai saudariku... Akan datang suatu hari kelak di mana tampak bagi seluruh manusia siapa yang beruntung dan siapa yang merugi. Hari yang pasti itu adalah hari ditimbangnya seluruh amalan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالْوَزْنُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ فَمَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ. وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ بِمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَظْلِمُونَ
“Timbangan pada hari itu ialah kebenaran. Maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu berlaku zalim terhadap ayat-ayat Kami.” (Al-A’raf: 8-9)
Sebelum datang hari itu, masih terbuka kesempatan bagi kita. Selama hayat masih dikandung badan, (masih ada kesempatan) untuk berbenah diri sehingga kita mengatur amalan kita, memperbaiki apa yang rusak dari amalan kita dan memperbanyak amal kebaikan agar berat dalam timbangan pada hari kiamat kelak. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Disarikan dari Al-Khuthab Al-Minbariyyah fil Munasabat Al-’Ashriyyah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, 2/183-186)

Menyikapi Nikmat Dunia Sebagai Ujian

Penulis : Al-Ustadz Abu Muhammad AbdulMu’thi, Lc

Dinukil dari www.asysyariah.com

Adalah suatu anggapan yang keliru bila cobaan hanya terbatas pada yang tidak mengenakkan saja.
Sebut misalnya kefakiran dan penyakit. Pandangan yang sempit tentang cobaan tersebut merupakan akibat dari ketidaktahuan seorang tentang kehidupan dunia. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala di banyak ayat Al-Qur’an telah menegaskan, demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di sekian haditsnya, bahwa nikmat dan kesenangan duniawi merupakan ujian bagi hamba sebagaimana kesengsaraan hidup juga dijadikan cobaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (Al-Anbiya’: 35)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata menafsirkan ayat ini: “(Kami uji kalian) dengan kesusahan dan kesenangan, dengan sehat dan sakit, dengan kekayaan dan kefakiran, serta dengan yang halal dan yang haram. Semuanya adalah ujian.”
Ibnu Yazid rahimahullahu mengatakan: “Kami uji kalian dengan sesuatu yang disenangi dan yang dibenci oleh kalian, agar Kami melihat bagaimana kesabaran dan syukur kalian.”
Al-Kalbi rahimahullahu berkata: “(Maksud Kami uji) dengan kejelekan adalah yang berupa kefakiran dan musibah. Sedangkan diuji dengan kebaikan adalah yang berupa harta dan anak.”
Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ. كَلَّا بَل لَا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ
“Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: ‘Rabbku telah memuliakanku.’ Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: ‘Rabbku menghinakanku.’ Sekali-kali tidak (demikian).” (Al-Fajr: 15-17)
Perhatikanlah ayat-ayat ini, bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji hamba-Nya dengan memberikan kemuliaan, nikmat, dan keluasan rezeki, sebagaimana pula Allah Subhanahu wa Ta’ala mengujinya dengan menyempitkan rezeki. Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingkari orang yang menyangka bahwa diluaskannya rezeki seorang hamba merupakan bukti pemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya dan bahwa disempitkannya rezeki adalah bentuk dihinakannya hamba. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingkari dengan mengatakan ﮪﮫ (Sekali-kali tidak), yakni bahwa perkara yang sebenarnya tidak seperti yang diucapkan oleh (sebagian) orang. Bahkan Aku (Allah Subhanahu wa Ta’ala) terkadang menguji dengan nikmat-Ku, sebagaimana terkadang Aku memberi nikmat dengan cobaan-Ku.
Di sana juga masih banyak ayat yang semakna dengan yang telah disebutkan. Misalnya:
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (Al-An’am: 165)
Juga firman-Nya:
إِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْأَرْضِ زِينَةً لَهَا لِنَبْلُوَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik amalannya.” (Al-Kahfi: 7) [lihat ‘Uddatush Shabirin, karya Ibnul Qayyim rahimahullahu hal. 247-248, cet. Darul Yaqin]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إِنَّ لِكُلِ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya bagi tiap umat ada fitnah (ujian yang menyesatkan), dan fitnah umatku adalah harta.” (Shahih Sunan At-Tirmdzi no. 2336)
Sufyan rahimahullahu mengatakan: “Bukan termasuk yang mendalam ilmunya bila seseorang tidak menganggap bala (musibah) sebagai nikmat dan kenikmatan sebagai cobaan.” (lihat ‘Uddatush Shabirin hal. 211)
Musibah dianggap sebagai nikmat karena musibah yang menimpa seorang mukmin adakalanya sebagai penghapus dosa yang dilakukannya, atau untuk meninggikan derajatnya, atau sebagai cambuk peringatan agar dia kembali ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Syukur Nikmat
Segala nikmat yang diperoleh hamba dalam bentuk apapun, baik yang bersifat materi atau non-materi, yang bersifat duniawi atau ukhrawi, maka menuntut untuk disyukuri. Tentunya semakin banyak dan besar suatu pemberian maka kewajiban untuk bersyukur pun semakin besar. Ketika menyebutkan nikmat yang diberikan kepada Nabi Dawud q dan keluarganya berupa nikmat duniawi serta ukhrawi, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berikan kepada kebanyakan orang, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اعْمَلُوا ءَالَ دَاوُدَ شُكْرًا وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“Beramallah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah), dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (Saba’: 13)
Sebagian salaf berkata: “Tatkala dikatakan hal ini kepada keluarga Dawud, maka tidaklah datang suatu waktu kecuali di tengah-tengah mereka ada yang melakukan shalat. Adalah Khalid bin Shafwan tatkala masuk menemui Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullahu, ia mengatakan: ‘Wahai amirul mukminin, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak ridha ada seseorang kedudukannya di atasmu, maka janganlah kamu mau ada orang lebih bersyukur dari kamu’.” (Syarh Hadits Syaddad, Ibnu Rajab rahimahullahu, hal.41-42)
Bersyukur merupakan ibadah yang besar, sebagaimana firman-Nya:
وَاشْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (An-Nahl: 114)
Mensyukuri nikmat juga sebab paling utama untuk dilanggengkannya nikmat serta ditambahkannya. Namun sebaliknya, mengkufuri nikmat dan menggunakannya pada kemaksiatan juga faktor utama dari dicabutnya nikmat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Ibrahim: 7)
Tentunya merupakan sikap yang sangat tercela bila seorang tidak mau berterima kasih kepada Sang Pemberi nikmat. Terlebih lagi sampai menggunakannya pada perkara yang mendatangkan kemurkaan Sang Pemberi. Bila seperti ini seseorang menyikapi pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka azab lebih dekat ketimbang rahmat, dan kenikmatan sudah di ambang pintu untuk meninggalkannya. Ini persis seperti yang dialami oleh kaum Saba’ dahulu. Di mana kaum Saba’ –nama suatu kabilah Arab yang tinggal di Ma’rib, Yaman– telah mampu membuat bendungan raksasa sehingga negeri itu subur dan makmur. Namun kemewahan dan kemakmuran ini menyebabkan mereka ingkar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendustakan para rasul. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menimpakan azab berupa banjir hebat yang ditimbulkan oleh bobolnya bendungan Ma’rib. Kerajaan Saba’ yang waktu itu mencapai puncak kemewahan dan kemakmuran tinggal cerita. Negeri itu menjadi kering. Kerajaan Saba’ pun runtuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah kisahkan tentang runtuhnya kerajaan Saba’ dalam Al-Qur’an surat Saba’ ayat 15-17.
Mensyukuri nikmat meliputi beberapa perkara:
1. Meyakini dalam hati bahwa nikmat yang diterima semata-mata pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seperti inilah sikap seorang mukmin. Dia tidak menisbatkan nikmat kepada kekuatan, kepintaran, keberaniannya, dan semisalnya. Adalah Nabi Sulaiman q tatkala singgasana Ratu Saba’ bisa didatangkan di hadapannya dalam tempo sekejap, maka beliau berkata:
هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي ءَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ
“Ini termasuk karunia Rabbku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya).” (An-Naml: 40)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Nabi Sulaiman q tidak teperdaya dengan (menyombongkan) kerajaan, kekuasaan, dan kemampuannya. Ini berbeda dengan kebanyakan para raja yang bodoh. Nabi Sulaiman q tahu bahwa ini adalah ujian dari Rabbnya, sehingga khawatir bila tidak mampu mensyukurinya.” (Tafsir As-Sa’di hal. 605)
Coba bandingkan dengan sikap dan ucapan Qarun yang menyombongkan kemampuannya, seperti yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kisahkan:
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي
“Qarun berkata: ‘Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku’.” (Al-Qashash: 78)
Ucapan dan kesombongan Qarun sudah berlalu beribu-ribu tahun, namun sikapnya masih terus terwariskan sampai saat ini. Kerap sekali kita dengar ucapan yang senada dengannya, seperti: “Harta ini saya peroleh semata-mata karena hasil karya dan ketekunan (kerja keras) saya.” Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya). Dan bila kamu ditimpa oleh kemudaratan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (An-Nahl: 53)
2. Memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala karunia-Nya dengan mengucapkan puji syukur dan menceritakannya secara lahir. Karena, selalu mengingat dan menceritakan pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mendorong untuk bersyukur. Hal itu karena manusia mempunyai tabiat menyukai orang yang berbuat baik kepadanya.
3. Menggunakan nikmat untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan untuk maksiat, serta merealisasikan beragam amal shalih sebagai bentuk mensyukuri nikmat. Karena nikmat hanyalah titipan yang seharusnya dijaga dan tidak dipergunakan kecuali pada batasan-batasan yang dibolehkan agama. Apabila kita perhatikan perjalanan hidup para kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala dari kalangan para nabi dan orang-orang shalih, niscaya kita dapati mereka adalah teladan dalam mensyukuri nikmat. Kedudukan dan kekuasaan yang ada pada mereka dijadikan sarana untuk menebarkan keadilan di tengah-tengah manusia. Harta yang mereka peroleh dibelanjakan pada pos-pos kebaikan serta untuk menyokong untuk kemuliaan Islam dan muslimin. Ilmu yang mereka dapatkan diamalkan dan ditebarkan tanpa mengharapkan apapun kecuali keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lihat salah satu misal teladan terbaik bagi kita yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana beliau banyak melakukan shalat malam hingga bengkak kakinya. Tatkala beliau ditanya tentang hal itu, padahal dosa dan kesalahannya yang telah lalu dan yang akan datang telah diampuni, maka beliau bersabda:
أَفَلَا أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْداً شَكُورًا
“Mengapa aku tidak ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur.” (HR. Al-Bukhari)

Tidak Tertipu Dengan Nikmat
Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menentukan watak kalian sebagaimana telah menentukan rezeki di antara kalian. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberi harta kepada orang yang Ia cintai dan orang yang Ia benci. (Namun) Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberi keimanan kecuali kepada yang Ia cintai.” (Shahih Al-Adab Al-Mufrad no. 209)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan harta dan kedudukan kepada orang yang Dia cintai dari kalangan para nabi dan wali, seperti Nabi Sulaiman q dan shahabat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Sebagaimana Dia memberi kemewahan dunia sementara kepada para musuh-Nya semisal Fir’aun dan Qarun. Hal ini seperti yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan:
كُلًّا نُمِدُّ هَؤُلَاءِ وَهَؤُلَاءِ مِنْ عَطَاءِ رَبِّكَ وَمَا كَانَ عَطَاءُ رَبِّكَ مَحْظُورًا
“Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan itu Kami berikan bantuan dari kemurahan Rabbmu. Dan kemurahan Rabbmu tidak dapat dihalangi.” (Al-Isra’: 20)
Oleh sebab itu, janganlah seorang tertipu bila melihat orang kafir dan para pelaku maksiat diberi kemewahan dunia dan kedudukan terpandang. Karena itu adalah istidraj (jebakan) bagi hamba dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ
“Bila kamu melihat Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan) dari Allah.” (HR. Ahmad, dll, lihat Shahihul Jami’ no. 561)

Kenikmatan Dunia Bukan Ujian Ringan
Kenikmatan dunia dengan berbagai macamnya merupakan ujian yang berat. Sahabat ‘Abdurrahman bin ’Auf radhiyallahu ‘anhu berkata: “Dahulu kami diuji bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kesengsaraan, maka kami (mampu) bersabar. Kemudian setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal kami diuji dengan kesenangan maka kami tidak bersabar.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2464)
‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu hendak mengatakan bahwa mereka diuji dengan kefakiran, kesulitan, dan siksaan (musuh) maka mereka mampu bersabar. Namun tatkala (kesenangan) dunia, kekuasaan, dan ketenangan datang kepada mereka, maka mereka bersikap sombong. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi)
Di saat kran dunia dibuka lebar-lebar, maka manusia akan berlomba-lomba untuk mendapatkannya meskipun ada sesuatu yang harus dikorbankan. Persaudaraan yang dahulu terjalin erat kini harus rusak berantakan karena ambisi kebendaan. Sikap saling cinta dan benci yang dahulu diukur dengan agama, sekarang sudah terbalik timbangannya. Karena dunia mereka menjalin persaudaraan. Karenanya pula mereka melontarkan kebencian. Dengan ini mereka tega memutuskan tali kekerabatan, mengalirkan darah, dan melakukan beragam kemaksiatan. Seperti inilah bila kemewahan dunia menjadi puncak tujuan seseorang. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا الْفَقْرُ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا فَتُهلِكُكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُم
“Bukanlah kefakiran yang aku takutkan atas kalian. Tetapi aku khawatir akan dibuka lebar (pintu) dunia kepada kalian, seperti telah dibuka lebar kepada orang sebelum kalian. Nanti kalian akan saling bersaing untuk mendapatkannya sebagaimana mereka telah bersaing untuknya. Nantinya (kemewahan) dunia akan membinasakan kalian seperti telah membinasakan mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Adalah di akhir-akhir masa sahabat telah muncul gejala yang dikhawatirkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di mana fitnah kekuasaan telah memicu adanya peperangan. Persatuan mulai tercabik-cabik dan ketenangan sudah mulai terusik serta jiwa solidaritas melemah di antara manusia. Adalah ‘Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Sungguh kami telah mengalami suatu masa di mana tidak ada seorang pun (menganggap) lebih berhak dengan uang dinar dan dirhamnya yang dimilikinya lebih dari saudaranya yang muslim. Kemudian sekarang dinar dan dirham lebih dicintai oleh seorang daripada saudaranya yang muslim.” (Shahih Adab Al-Mufrad no. 81)
Tentunya, semakin jauh suatu masa dari zaman kenabian maka akan didapatkan kenyataan yang lebih pahit dan lebih menyedihkan dari sebelumnya. Tidak asing bila sekarang ada orang yang masih mengaku muslim namun tidak lagi peduli dengan kewajiban dan agamanya. Ambisi dunia telah menyita seluruh waktu, tenaga, dan hartanya. Seolah lisan hal-nya hendak mengatakan: “Hidup hanya di dunia, di sini kita hidup, di sini pula kita mati, dan tidak ada hari kebangkitan.” Orang seperti ini bila engkau ajak kepada kebaikan dan majelis ilmu, maka seribu alasan akan dikemukakan untuk tidak mendatanginya. Subhanallah, untuk dunia yang fana yang nantinya akan dia tinggalkan, segala kemampuan dia curahkan. Namun untuk amal kebaikan sebagai bekal untuk akhirat yang kekal ternyata tidak ada kesempatan barang sedikit pun.
Seseorang Akan Ditanya Tentang Nikmat
Nikmat bukan pemberian cuma-cuma yang kita bebas mempergunakannya semau kita. Bahkan ia merupakan amanah yang kita akan dimintai pertanggungjawabannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (At-Takatsur: 8)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan nikmat di sini adalah sehatnya badan, pendengaran, dan penglihatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menanyai hamba-hamba-Nya tentang nikmat tersebut, pada apa mereka pergunakan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menanyai mereka padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih tahu tentangnya daripada mereka. Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa ayat tadi adalah berita dari Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa seluruh nikmat akan ditanya oleh-Nya. Qatadah berkata: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menanyai semua hamba-Nya tentang apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah titipkan kepada mereka berupa nikmat dan hak-Nya.” (lihat Tafsir Al-Qasimi, 7/379)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَزُولُ قَدَمُ ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ: عَنْ عُمُرِهِ فِيمَ أفنَاهُ؟ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَ أَبْلَاهُ؟ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ؟ وَمَا ذَا عَمِلَ فِيمَ عَلِمَ؟
“Tidak akan bergeser kaki anak Adam (manusia) dari sisi Rabbnya di hari kiamat hingga ditanya tentang lima hal. Tentang umurnya untuk apa ia gunakan, tentang masa mudanya pada apa ia habiskan, tentang hartanya darimana ia peroleh dan pada apa ia belanjakan, dan tentang apa yang ia amalkan dari ilmunya?” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2417, cet. Al-Ma’arif)
Wallahu a’lam.

Nikmat Lisan, Untuk Apa Kita Gunakan?

Penulis : Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan

Dinukil dari www.asysyariah.com


Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Al-Mu’thi, Ar-Razzaq, Dzat Yang Maha memberikan berbagai nikmat kepada seluruh makhluk-Nya untuk menegakkan kewajiban dan ketaatan mereka kepada-Nya semata. Itulah salah satu bukti rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Adapun jenis dan jumlah nikmat-Nya, hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha mengetahui. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
“Dan (Dia) menyempurnakan untukmu nikmat-Nya, lahir dan batin.” (Luqman: 20)
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya).” (An-Nahl: 53)
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.” (Ibrahim: 34)
Dari sekian banyak kenikmatan yang Allah Subhanahu wa Ta’ala limpahkan kepada hamba-hamba-Nya, termasuk yang paling agung adalah nikmat lisan. Dengan lisannya, seorang hamba akan mampu berkomunikasi dan mengungkapkan apa yang ada pada dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ عَيْنَيْنِ. وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ
“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah, dan dua buah bibir.” (Al-Balad: 8-9)
Lisan yang kecil ini ibaratnya pedang bermata dua. Jika tidak memberi manfaat kepada pelakunya, maka dia justru akan membinasakan tuannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaf: 18)
وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ. كِرَامًا كَاتِبِينَ
“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu).” (Al-Infithar: 10-11)
Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullahu berkata: “Sungguh, as-salafush shalih rahimahumullah telah sepakat bahwa malaikat yang ada di samping kanan seorang hamba adalah malaikat yang akan mencatat seluruh amal kebaikan. Sedangkan malaikat yang ada di samping kirinya adalah malaikat yang akan mencatat amalan kejelekan.” (Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam, 1/336)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menerangkan makna ayat tersebut dalam Tafsir-nya: “Amalan kalian pasti akan dihisab. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menugaskan sebagian malaikatnya yang mulia untuk mencatat ucapan dan perbuatan kalian. Mereka (para malaikat itu) mengetahui amalan kalian, baik amalan hati maupun anggota badan. Maka, sepantasnya kalian memuliakan dan menghormati mereka (dengan kebaikan dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, pen.).”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِكَلِمَةٍ مِنْ رِضْوَانِ اللهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَرْفَعُهُ اللهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِكَلِمَةٍ مِنْ سُخْطِ اللهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا إِلَى جَهَنَّمَ
“Sungguh seorang hamba mengucapkan sebuah kalimat yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang dia tidak ingat atau pikirkan, yang dengannya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengangkat derajatnya. Dan sungguh seorang hamba mengucapkan sebuah kalimat yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dia tidak ingat atau pikirkan, maka dengan sebab itu, dia akan masuk ke dalam Jahannam.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Sehingga, orang yang bijak adalah orang yang berpikir sebelum berbicara; apakah perkataan yang ingin dia ucapkan akan mendatangkan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala atau kemurkaan-Nya? Akan mendatangkan keuntungan di akhirat ataukah kerugian?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَـحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa menjamin apa yang ada di antara dua tulang rahangnya (yakni lisan), dan apa yang ada di antara kedua kakinya (yakni kemaluan), niscaya aku menjamin jannah (surga) baginya.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia mengucapkan perkataan yang baik atau diam.” (Muttafaqun ‘alaih dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Makna hadits ini adalah apabila seorang hamba ingin berbicara, hendaknya dia berpikir terlebih dahulu. Apabila telah nampak jelas baginya bahwa tidak ada kerugian/madharat terhadap dirinya, hendaknya dia mengatakannya. Namun apabila nampak jelas baginya kerugian/madharat atau dia ragu-ragu, maka hendaknya dia diam.” (Syarh Shahih Muslim, 1/222)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Makna hadits tersebut ialah ketika seseorang ingin berbicara hendaknya dia berpikir terlebih dahulu. Jika yakin bahwa ucapannya tidak menimbulkan akibat yang jelek dan tidak menyeretnya pada perkara yang haram atau makruh, hendaknya dia berbicara. Namun apabila perkaranya adalah mubah, yang selamat adalah dia diam, supaya tidak terseret ke dalam perkara yang haram atau makruh.” (Fathul Bari, 13/149)
Perhatikan pula ucapan Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu ketika menceritakan bagaimana Iblis la’natullah ‘alaih mengomando bala tentaranya. “Iblis berkata kepada anak buahnya: ‘Berjaga-jagalah kalian pada pos lisan, karena pos tersebut adalah pos yang paling strategis. Doronglah lisannya untuk mengucapkan berbagai perkataan yang akan merugikannya dan tidak akan menguntungkannya. Halangilah hamba itu untuk membiasakan lisannya dengan hal-hal yang bermanfaat, seperti dzikir, istighfar, membaca Al-Qur’an, memberi nasihat, dan berbicara tentang ilmu. Niscaya kalian akan mendapatkan dua hasil besar di pos ini, tidak usah engkau hiraukan hasil manapun yang engkau dapatkan:
1. Dia berbicara dengan kebatilan. Orang yang berbicara dengan kebatilan adalah saudara dan penolongmu.
2. Dia berdiam diri dari kebenaran. Orang yang tidak berbicara dengan kebenaran adalah saudaramu yang bisu, sebagaimana saudaramu yang pertama tadi, hanya saja dia pandai bicara. Barangkali saudaramu yang bisu ini lebih bermanfaat bagi kalian. Tidakkah kalian dengar ucapan seorang pemberi nasihat1: ‘Orang yang berbicara dengan kebatilan adalah setan yang pandai bicara, sedangkan orang yang diam dari kebenaran adalah setan yang bisu.’
Maka teruslah kalian berjaga di pos itu. Pos yang dia bisa berbicara dengan kebenaran atau menahan diri dari kebatilan. Hiasilah pembicaraan kebatilan kepadanya, dengan segala cara. Takut-takutilah dia untuk menyampaikan kebenaran, dengan segala cara.
Ketahuilah wahai anak-anakku, pos lisan inilah tempat aku berhasil membinasakan anak keturunan Adam dan menyeret mereka ke dalam Jahannam. Betapa banyak korban yang berhasil aku bunuh, aku tawan, atau aku lukai melalui pos ini.” (Ad-Da’u wad Dawa’, hal. 154-155)
Selanjutnya, Iblis berkata kepada anak buahnya: “Gunakanlah dua senjata yang tidak akan menyebabkan kalian kalah:
1. Lalai dan lengah. Jadikanlah hati mereka berlalu dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalai terhadap akhirat, dengan segala cara. Kalian tidak mendapatkan sesuatu yang lebih berharga dalam usaha kalian dibandingkan perkara itu. Karena, tatkala hati lalai dari mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala maka kalian akan mampu menguasai dan menyesatkannya.
2. Syahwat. Hiasilah syahwat itu dalam hati mereka. Tampakkanlah indahnya syahwat di pelupuk mata mereka. Lalu seranglah mereka dengan dua senjata itu. Kalian tidak memiliki kesempatan yang lebih berharga untuk membinasakan mereka dibandingkan dua kesempatan itu.” (Ad-Da’u wad Dawa’, hal. 157)
Adapun perangkap-perangkap Iblis –yang menjebak banyak hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala– tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Di antaranya:

1. Ghibah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan makna ghibah dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
أَتَدْرُونَ مَا الْغِيْبَةُ؟ قَالُوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
“Tahukah kalian apa ghibah itu?” Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau menceritakan tentang saudaramu perkara yang dia benci.” Beliau ditanya: “Bagaimana kalau perkara yang aku katakan itu memang ada pada dirinya?” Beliau menjawab: “Kalau apa yang engkau katakan itu ada pada dirinya, sungguh engkau telah mengghibahinya. Apabila tidak ada padanya, sungguh engkau telah memfitnahnya.” (HR. Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkan harga diri seorang muslim dalam khutbah yang mulia dan di waktu yang mulia (yakni di hari Arafah), di tempat yang mulia pula (di Arafah). Dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّ دِمَائَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، وَفِي بَلَدِكُمْ هَذَا، وَفِي شَهْرِكُمْ هَذَا
“Maka sesungguhnya darah kalian haram, harta kalian haram, dan kehormatan kalian pun haram, sebagaimana haramnya (terhormatnya) hari kalian ini, di negeri kalian ini, dalam bulan kalian ini.” (Muttafaqun ‘alaih)
Sehingga, merendahkan dan menjatuhkan harga diri/kehormatan seorang muslim tanpa alasan yang benar adalah haram hukumnya. Barangsiapa yang mencari-cari kekurangan saudaranya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membongkar aibnya dan mempermalukannya. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata:
صَعِدَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم الْمِنْبَرَ فَنَادَى بِصَوْتٍ رَفِيعٍ: يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ الْإِيْمَانُ إِلَى قَلْبِهِ، لَا تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا تُعَيِّرُوهُمْ وَلَا تَتبعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحُهُ اللهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ رَحْلِهِ
“Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya dan belum masuk ke dalam hatinya. Jangan kalian menyakiti kaum muslimin. Jangan kalian menjelek-jelekkan mereka dan jangan kalian mencari-cari kekurangan mereka. Karena barangsiapa mencari-cari kekurangan saudaranya yang muslim, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mencari-cari kekurangannya. Barangsiapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala cari-cari kekurangannya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membongkar aibnya dan mempemalukannya, walaupun dia berada di dalam rumahnya.” (HR. At-Tirmidzi)
Ketahuilah, ghibah adalah salah satu dosa besar yang akan menyebabkan pelakunya mendapat azab kubur apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengampuninya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَمَّا عُرِجَ بِي مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْشُونَ وُجُوهَهُمْ وَصُدُورَهُمْ فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ
Tatkala aku dimi’rajkan (dinaikkan ke langit) aku melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku tajam dari tembaga. Mereka mencakar wajah dan dada mereka. maka aku bertanya: “Siapa mereka ini, wahai Jibril?” Jibril menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang suka makan daging manusia (menggunjing/ghibah) dan menjatuhkan kehormatan mereka.” (HR. Abu Dawud, dan disebutkan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Ghibah itu haram hukumnya berdasarkan ijma’. Tidak ada pengecualian selain terhadap orang-orang yang jelas kemaslahatannya, seperti dalam al-jarh wat ta’dil (mencela/ memuji para perawi hadits), dalam nasihat sebagaimana nasihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Fathimah bintu Qais radhiyallahu ‘anha.”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Ketahuilah bawa ghibah itu dibolehkan untuk tujuan syar’i, yang mana tidak mungkin tujuan tersebut tercapai kecuali dengan ghibah itu. Hal ini ada pada enam perkara.” (Riyadhush Shalihin)
Keenam hal tersebut terkumpul dalam ucapan seorang penyair:
الذَّمُّ لَيْسَ بِغِيْبَةٍ فِي سِتَّةٍ
مُتَظَلِّمٍ وَمُعَرِّفٍ وَمُحَذِّرٍ
وَلِمُظْهِرٍ فِسْقًا وَمُسْتَفْتٍ وَمَنْ
طَلَبَ الْإِعَانَةَ فِي إِزَالَةِ مُنْكَرٍ
Ghibah itu tidak tercela pada enam perkara
Orang yang dizalimi, yang mengenalkan, dan yang memperingatkan
Orang yang menampakkan kefasikan, peminta fatwa
Orang yang minta tolong untuk menghilangkan kemungkaran

Faedah
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata: “Ketahuilah, ghibah itu akan bertambah kejelekannya dan dosanya sesuai dengan siapa yang disakiti dengan ghibah tersebut. Ghibah terhadap orang biasa tidak seperti ghibah terhadap orang yang berilmu. Tidak pula seperti ghibah terhadap pemimpin negara, pejabat, menteri, dan sejenisnya. Karena ghibah terhadap pejabat baik pejabat rendah maupun pejabat tinggi lebih besar dosanya daripada ghibah terhadap orang yang tidak memiliki jabatan kepemimpinan atau kedudukan. Hal itu disebabkan bila engkau ghibah terhadap orang biasa, engkau hanyalah berbuat jelek terhadap pribadinya. Namun bila engkau ghibah terhadap orang yang memiliki jabatan atau kedudukan, sungguh engkau telah berbuat jelek terhadap pribadi dan kedudukannya yang terkait dengan kepentingan kaum muslimin. Contohnya, apabila engkau berbuat ghibah terhadap salah seorang ulama, perbuatan ini berarti permusuhan dan kebencian terhadap pribadinya. Engkau juga telah berbuat kejelekan atau kejahatan yang besar terhadap ilmu syariat yang dibawanya. Seorang yang berilmu adalah pengemban syariat. Apabila engkau menggunjingnya maka akan jatuh kewibawaannya dalam pandangan umat. Apabila telah jatuh wibawanya, umat tidak akan mendengarkan ucapannya dan tidak mau merujuk kepadanya dalam urusan agama mereka. Akibatnya, ilmu yang dimiliki orang alim tersebut diragukan kebenarannya karena engkau menggunjingnya. Ini adalah kejahatan yang besar terhadap syariat.
Demikian juga para pemimpin/pejabat. Apabila engkau melakukan ghibah terhadap seorang pejabat, raja, presiden, atau yang semisalnya, dampak jeleknya bukan hanya menimpa pribadinya. Bahkan ghibah itu akan menjatuhkan pribadinya sekaligus merusak kewibawaan serta kedudukannya. Ini berarti engkau telah menyusupkan kebencian dan kedengkian ke dalam hati rakyat terhadap penguasanya. Apabila engkau berhasil menanamkan kebencian dan kedengkian di hati mereka terhadap penguasanya, sungguh engkau telah melakukan kejahatan yang besar terhadap mereka. Hal ini juga merupakan sebab munculnya berbagai kekacauan, perselisihan, dan perpecahan dalam kehidupan (masyarakat). Bila hari ini ghibah telah berhasil menyebarkan berbagai macam ucapan, boleh jadi besok hari akan menyebarkan tembakan-tembakan. Karena apabila hati telah benci dan dengki terhadap penguasanya, dia tidak akan mau tunduk dan patuh terhadap perintahnya. Apabila dia diperintahkan untuk melakukan suatu kebaikan, dia akan melihat sebaliknya. (Syarh Riyadhish Shalihin, 4/46-47)

Cara Taubat dari Ghibah
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya Al-Wabil Ash-Shayyib (hal. 131) menyebutkan sebuah hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kaffarah ghibah (penghapus dosanya) adalah dengan memohon ampunan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi orang yang digunjing, dengan mengucapkan:
اللَّهُمَّ اغْفِرْلَنَا وَلَهُ
“Ya Allah, ampunilah kami dan dia.”
Al-Baihaqi rahimahullahu menyebutkan hadits tersebut dalam Ad-Da’watul Kabir, dan mengatakan bahwa di dalam sanadnya ada kelemahan. Dalam masalah ini, ada dua pendapat di kalangan ulama, yang keduanya adalah riwayat dari Al-Imam Ahmad rahimahullahu: Apakah cukup untuk bertaubat dari ghibah itu dengan memohon ampunan bagi orang yang dighibahi? Ataukah harus disertai pemberitahuan kepada orang itu dan meminta untuk dimaafkan?
Pendapat yang benar, taubat dari ghibah tidak membutuhkan pemberitahuan kepada orang yang dighibahi. Bahkan cukup dengan memohon ampunan baginya dan menyebut kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat yang dahulu dia mengghibahinya. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu dan selainnya.
Adapun sebagian ulama yang mengharuskan pemberitahuan kepada orang yang dighibahi sebagai bentuk taubatnya, mereka menganggap ghibah seperti hak-hak harta yang dizalimi. Padahal jelas perbedaannya. Dalam hak-hak yang terkait dengan harta, dengan dikembalikan hartanya atau yang setara dengannya, maka orang yang dizalimi akan mendapatkan manfaat darinya. Dia bisa mengambilnya atau menyedekahkannya. Yang seperti ini tidak mungkin terjadi pada ghibah. Yang akan terjadi pada orang yang dighibahi ketika dia diberitahu tentangnya, justru berlawanan dengan apa yang dimaksud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal tersebut justru akan menyakiti dan menyalakan kemarahannya. Boleh jadi dia akan membangkitkan permusuhan yang tidak akan bisa dipadamkan. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya yang seperti ini tentu tidak akan diperbolehkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi memerintahkan dan mewajibkannya.

2. Namimah (adu domba)
Namimah adalah menukil (memindahkan) ucapan seseorang kepada orang lain dengan tujuan merusak hubungan atau persaudaraan di antara keduanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh telah mencela orang yang berbuat namimah dan melarang kita mendengarkan ucapannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِينٍ. هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ. مَنَّاعٍ لِلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, yang sangat enggan berbuat baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa.” (Al-Qalam: 10-12)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ
“Tidak akan masuk surga, orang yang qattat (yakni ahli namimah).” (HR. Al-Bukhari dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu)
Dalam sebuah riwayat dalam Shahih Muslim:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ
“Tidak akan masuk surga, ahli namimah.”
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman ﯣ ﯤ , maknanya adalah orang yang berjalan di antara manusia untuk mengadu domba di antara mereka, dengan cara menukil ucapan dengan tujuan merusak hubungan dan persaudaraan di antara mereka. Ini adalah perbuatan yang membinasakan.”
Ummu Abdillah bintu Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu berkata: “Dalil-dalil yang mengandung ancaman seorang muslim tidak akan masuk surga bila melakukan dosa besar (seperti hadits ini, pen.) dipahami bahwa di dalamnya ada sesuatu yang mahdzuf (dibuang). Maksudnya adalah apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin membalasnya, atau maknanya dia tidak akan masuk surga secara langsung, di mana dia akan diazab sesuai kadar dosanya (apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak, pen.), namun akhirnya ia masuk surga. Sedangkan bila menghalalkannya, maka dia telah kafir karena telah mendustakan nash-nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Sama saja apakah dia melakukan perbuatan itu ataupun tidak. (Nashihati lin Nisa’, hal. 39)
Namimah adalah dosa besar yang akan menyebabkan pelakunya diazab dalam kuburnya, apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mengampuninya. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang masyhur. Disamping itu, namimah adalah perbuatan yang sangat tercela lagi berbahaya, yang akan merusak persahabatan dan persaudaraan. Bahkan namimah bisa merusak kecintaan antara sepasang suami istri, bapak dengan anaknya, atau seseorang dengan saudaranya, serta bisa merusak persaudaraan di antara kaum muslimin. Bahkan peperangan bisa terjadi karena namimah. Oleh karena itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam pelakunya tidak akan masuk surga.
Sebagian ulama, seperti Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahu menggolongkan namimah ke dalam jenis sihir. Karena namimah bisa merusak persaudaraan dan kecintaan antara dua pihak, sebagaimana pengaruh yang ditimbulkan sihir. Bahkan sebagian ulama yang lain mengatakan: “Sungguh ahli namimah itu bisa merusak dalam sekejap sebagaimana tukang sihir merusak dalam waktu satu bulan.”
Ummu Abdillah berkata: “Ketahuilah, orang yang melakukan namimah untuk kepentinganmu, maka dia akan melakukan namimah untuk membinasakanmu juga. Oleh karena itu, nasihatilah orang yang berbuat demikian dengan lemah lembut dan pengarahan yang baik berulang kali. Apabila dia tidak mau meninggalkannya maka peringatkanlah saudara-saudaramu darinya. Jauhilah dia, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي ءَايَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka mengalihkan pada pembicaraan yang lain. Jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Al-An’am: 68)

Faedah
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi hafizhahullah berkata: “Jauhilah faktor-faktor yang akan menumbuhkan kebencian, permusuhan, perselisihan, dan perpecahan. Jauhilah perkara-perkara ini. Karena perkara ini telah tersebar pada masa ini melalui usaha orang-orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui keadaan dan tujuan mereka. Benar-benar tersebar dan meluas. Perkara-perkara ini telah mencabik-cabik para pemuda di negeri ini (Arab Saudi), baik di universitas Islam maupun tempat lainnya. Bahkan di seluruh dunia. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena yang terjun di medan dakwah bukanlah orang-orang yang ahli, baik dari sisi ilmu maupun pemahamannya. Boleh jadi, musuh-musuh dakwah ini telah menyusupkan orang-orang yang akan mengacaukan dan memecah-belah di tengah-tengah salafiyyin. Ini bukanlah perkara yang mustahil, bahkan betul-betul telah terjadi. Maka bersemangatlah kalian untuk menjaga persaudaraan dan persatuan.” (Al-Hatstsu ‘alal Mawaddah, hal. 39-40)

3. Kadzib (kedustaan)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu berkata: “Kadzib maknanya adalah seseorang memberitakan sesuatu yang menyelisihi kenyataan atau kebenaran. Ketahuilah bahwasanya kedustaan itu bermacam-macam.
a. Dusta atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ini adalah kedustaan yang paling besar (dosa dan bahayanya). Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِآيَاتِهِ
“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah, atau mendustakan ayat-ayat-Nya?” (Al-An’am: 21)
Hal ini terbagi menjadi dua bagian:
- Seseorang menyatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan demikian atau Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan demikian, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala atau Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengatakan demikian itu.
- Dia menafsirkan Kalamullah atau Sunnah Rasul-Nya dengan tafsiran yang tidak seperti yang dimaukan Allah Subhanahu wa Ta’ala atau Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berarti telah membuat kedustaan atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala atau Rasul-Nya. Seperti orang yang dengan sengaja menafsirkan ayat atau hadits dengan tafsiran tertentu yang sesuai dengan hawa nafsunya, atau demi mendapatkan keuntungan duniawi. Dan betapa banyak orang yang terjatuh dalam perkara ini.
b. Kedustaan yang terjadi di kalangan umat
Di antara bentuknya:
- Seseorang menampakkan diri sebagai orang yang baik, berilmu, bertakwa, dan beriman, padahal hakikatnya tidak demikian. Sebenarnya dia adalah orang yang jahil, zalim, dan kufur. Hal ini adalah kemunafikan, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan tentang perbuatan orang-orang munafik:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ
“Di antara manusia ada yang mengatakan: ‘Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian’, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah: 8)
- Menisbatkan suatu ucapan, perbuatan atau pendapat, kepada seseorang, padahal orang tersebut tidak menyatakan atau melakukan hal tersebut.
- Menceritakan suatu perkara yang lucu agar orang-orang tertawa, padahal dia berdusta. Dari Mu’awiyah bin Haidah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِالْحَدِيثِ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ، وَيْلٌ لَهُ ثُمَّ وَيْلٌ لَهٌ
“Celaka orang yang menceritakan suatu perkara (yang dusta) untuk membuat suatu kaum tertawa dengannya. Celaka dia, kemudian celaka dia.” (HR. At-Tirmidzi dan Abu Dawud)

4. Qiila wa qala (katanya dan katanya)
Al-Imam Ibnu Abdil Barr rahimahullahu berkata: “Maknanya, berbicara dengan ucapan-ucapan yang tidak ada faedahnya. Kebanyakannya ghibah, keributan, dan dusta. Barangsiapa yang banyak melakukannya pasti dia tidak akan selamat dari kebatilan, ghibah, dan kedustaan. Wallahu a’lam.” (At-Tamhid, 21/289)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Maknanya adalah dia membicarakan setiap berita yang dia dengar. Dia menyatakan: ‘Telah dikatakan demikian’ dan ‘Fulan mengatakan demikian’, berupa perkara-perkara yang tidak dia ketahui kebenarannya dan tidak pula ia meyakininya.” (Riyadhush Shalihin)
Oleh karena itulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلَاثًا، فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا، وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai bagi kalian tiga perkara dan membenci bagi kalian tiga perkara. Dia meridhai bagi kalian agar kalian beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, kalian berpegang teguh dengan tali Allah (Al-Qur’an dan As-Sunnah), dan agar kalian tidak berpecah-belah. Dan Dia membenci bagi kalian qiila wa qala, banyak bertanya (keras kepala), dan membuang-buang harta (tanpa ada faedahnya).” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam berkata: “Barangsiapa yang tidak mau mengendalikan lisannya (dengan kebenaran), niscaya dia akan menggunakan lisannya pada perkara-perkara yang jelek. Lisan ini akan menyeretnya pada kebinasaan. Kalau sebuah kalimat saja terkadang bisa mencelakakan pemiliknya, terlebih lagi bahaya dan dosa yang ditimbulkan oleh lisan yang tidak terbatas jumlah dan macamnya. Oleh karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ
“Sesungguhnya seorang hamba berbicara dengan sebuah kalimat yang dia belum mendapatkan kejelasan padanya, maka dia tergelincir dengannya ke dalam neraka lebih jauh daripada jarak antara timur dan barat.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhudan ini adalah lafadz Al-Imam Muslim)
Sedangkan anggota badan yang lainnya tunduk dan takut terhadap lisan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ahmad, Ath-Thayalisi, dan yang lainnya, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ الْأَعْضَاءَ كُلَّهَا تَكْفِي اللِّسَانَ، تَقُولُ: اتَّقِ اللهَ فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ فَإِنِ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَإِنِ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا
“Apabila anak Adam masuk waktu pagi hari, sesungguhnya seluruh anggota tubuhnya mencela lisan. Mereka mengatakan: ‘Bertakwalah engkau kepada Allah! Karena kami tergantung denganmu. Apabila engkau lurus, niscaya kami pun akan lurus. Apabila engkau bengkok (menyimpang) maka kami pun akan menyimpang’.” (Tahdzirul Basyar min Ushul Asy-Syar, hal. 112)
Oleh karena itulah, hendaknya kita bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan lisan kita, sebagaimana perintah-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan ucapkanlah ucapan yang lurus, niscaya Allah akan memperbagus amalan-amalan kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia memperoleh kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab: 70-71)
Hanya dengan takwa, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memperbaiki amalan kita dan mengampuni dosa kita.
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Dia adalah Abu ‘Ali Ad-Daqqaq. Teks ucapannya dinukil dalam kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah hal. 57.

Bolehkah Menonton Sulap?

Dinukil dari www.asysyariah.com

Seringkali kami mendengar tentang apa yang dilakukan oleh para penyulap berupa atraksi-atraksi mereka yang disaksikan oleh anak-anak muslimin, baik melalui layar televisi atau secara langsung di sebagian daerah dengan atraksi yang cepat dan tersembunyi sehingga mengundang perhatian mata. Seperti mematikan dan menghidupkan burung, mengeluarkan telur dari dua tangan, dan hal-hal semacam ini. Lantas apa hukum dari menyaksikan hal itu dan apakah hal tersebut termasuk sihir?

Jawab:
Ya, itu termasuk salah satu macam sihir, yang disebut sihir takhyil (pengkhayalan/ilusi) semacam sihir yang dilakukan para tukang sihir Fir’aun, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan dalam surat Thaha ayat 66:
يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَى
“Terbayang kepada Musa seakan-akan ia (tali-tali dan tongkat-tongkat mereka) merayap cepat, lantaran sihir mereka.” (Thaha: 66)
Juga firman-Nya:
قَالَ أَلْقُوا فَلَمَّا أَلْقَوْا سَحَرُوا أَعْيُنَ النَّاسِ وَاسْتَرْهَبُوهُمْ وَجَاءُوا بِسِحْرٍ عَظِيمٍ
“Musa menjawab: ‘Lemparkanlah (lebih dahulu)!’ Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan).” (Al-A’raf: 116)
Hal-hal yang dilakukan para tukang sulap dalam sihir jenis ini adalah tidak sebenarnya. Bahkan hanya penipuan khayalan yang dilakukan penyulap untuk mengundang perhatian mata orang kepada apa yang dilakukannya dengan kecepatan tangannya.
Adapun itu disebut sebagai sihir, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutnya demikian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang para tukang sihir Fir’aun:
وَجَاءُوا بِسِحْرٍ عَظِيمٍ
“…Serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan).” (Al-A’raf: 116)
Akan tetapi, apa hukumnya melihat atraksi semacam itu?
Tanpa diragukan, tidak boleh menyaksikannya dan haram bagi seseorang melihatnya. Semestinya seseorang memperingatkan anak-anaknya agar tidak melihat yang semacam itu. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي ءَايَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka mengalihkan pada pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Al-An’am: 68)
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ ءَايَاتِ اللهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam.” (An-Nisa': 140)
Melihat sesuatu yang mungkar, padahal kita tidak mampu mengingkari. Kita juga dilarang duduk-duduk bersama orang yang melakukannya, karena dengan duduk di situ mengisyaratkan bahwa ia rela dengan perbuatan tersebut. Sementara sihir merupakan kemungkaran yang besar. Semestinya kita menjauhi tempat-tempatnya dan orang yang melakukannya. Demikian pula dalam permainan ini terkandung kesyirikan dan kekafiran, karena pesulap yang melakukan hal ini beranggapan bahwa ia memiliki sifat Rububiyyah (ketuhanan) yaitu kemampuan untuk menghidupkan sesuatu yang mati. Orang yang menganggap dirinya mampu melakukan demikian maka dia telah kafir, karena ini adalah kekhususan Rabb yang Maha Suci dan Tinggi.
Yang penting di sini, kami katakan bahwa tidak boleh menyaksikan permainan yang dilakukan para pesulap dan mengandung sihir takhyil yang juga memuat hal-hal yang kufur (kekafiran), syirik, atau haram, baik melalui media penyiaran atau yang lain. (Diambil dari kitab Kaifa Tatakhallas minas Sihr)