Kamis, 03 Oktober 2013

WAS-WAS KETIKA BERSUCI DAN SHALAT

Dewan Tetap Arab Saudi untuk Riset Ilmiyah dan Fatwa

Tanya:

Ada seseorang yang mengalami gangguan pada perutnya, barangkali karena sering masuk angin, sehingga ia sangat kesulitan menyempurnakan wudhu’. Misalnya ketika membasuh wajah, ia merasa angin keluar dari perutnya (was-was buang angin / kentut -red). Karena khawatir wudhu’nya tidak sempurna iapun mengulanginya. Hal itu juga di alaminya ketika sedang shalat. Namun ia tidak mencium bau apapun. Bagaimanakah solusinya?

Jawab:

Alhamdulillah, itu hanyalah was-was dari setan saja untuk merusak ibadah seorang muslim. Ia harus menepis perasaan was-was tersebut. Ia tidak perlu membatalkan shalatnya atau mengulang wudhu’nya hingga ia mendengar suara atau mencium baunya. Berdasarkan riwayat Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
“Jika salah seorang di antara kamu merasakan sesuatu pada perutnya sehingga membuatnya ragu apakah keluar sesuatu darinya ataukah tidak, hendaknya ia tidak keluar dari masjid sehingga ia mendengar suara atau mencium baunya.”

Maksudnya adalah ia benar-benar yakin telah buang angin (berhadas), selama ia masih ragu maka wudhu’nya masih dianggap sah.

Dinukil dari Fatawa Lajnah Daimah juz V/226
Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta
Dewan Tetap Arab Saudi untuk riset-riset ilmiyah dan fatwa
بسم الله الرحمن الرحيم

KERAGU-RAGUAN DALAM IBADAH
DAN SOLUSINYA


Sebelum masuk ke permasalahan, ada kaidah fiqih penting yang perlu dipahami karena berkaitan dengan pembahasan, yaitu:

(اليَقِيْنُ لَا يَزُوْلُ بِالشَّكِّ)[1]

Artinya: Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.
Makna kaidah: Perkara yang meyakinkan tidak bisa diangkat hukumnya kecuali dengan bukti nyata bukan semata-mata keraguan. Sehingga apabila muncul keraguan pada suatu perkara maka hukumnya dikembalikan kepada hukum yang diyakini pada perkara tersebut sebelum keraguan itu muncul.[2]
Dalil kaidah (diantaranya): ‘Abdulloh bin Zaid Rodhiyallohu ‘Anhu mengisahkan tentang seorang lelaki yang datang kepada Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam mengadukan bahwa ketika sholat dia menduga dirinya telah berhadats, maka Rosululloh bersabda: 

«لاَ يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا»

“Jangan kamu tinggalkan sholat sampai kamu mendengar suara atau mendapatkan bau” (HR Bukhory-Muslim)

Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda:
«إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِى بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَىْءٌ أَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا»
“Apabila salah seorang diantara kalian mendapatkan ‘sesuatu’ di perutnya, sehingga samar baginya apakah ada yang keluar dari (perut)nya atau tidak. Maka janganlah dia keluar dari masjid (yakni memutus sholat-pen) sampai mendengar suara atau mendapatkan bau” (HR Bukhory dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)

Sisi Pendalilan: Pada hadits-hadits di atas, hukum asal masuknya seseorang ke dalam sholat adalah dalam keadaan berwudhu’. Maka wudhu’nya tidak bisa dihukumi batal sampai dia benar-benar yakin kalau dia telah berhadats.

CATATAN PENTING:

Kaidah ini diterapkan jika orang tersebut tidak memiliki “Dugaan kuat” dalam perkara yang diragukannya itu. Apabila dia memiliki dugaan kuat terhadap salah satu kemungkinan, maka dia beramal dengan dugaan kuatnya itu. Karena syari’at membolehkan beramal dengan “Dugaan kuat” ketika tidak bisa beramal dengan sesuatu yang yakin. 


Diantara dalilnya:
وَإِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ فَلْيُتِمَّ عَلَيْهِ
“Apabila salah seorang kalian ragu dalam sholatnya maka carilah mana yang benar, kemudian sempurnakanlah sholat di atas (pilihannya) itu.” (HR Bukhory-Muslim dari Ibnu Mas’ud Rodhiyallohu ‘Anhu)
Sisi pendalilan: Rosululloh memerintahkan untuk mencari mana yang lebih benar (tentunya dengan melihat indikasi-indikasi) dalam keadaan munculnya keraguan, dan ibadah tetap diteruskan.

PENGARUH KERAGUAN DALAM IBADAH

Sebagai gambaran singkat, ada tiga kondisi munculnya keragu-raguan. Keraguan menjelang melakukan ibadah, di pertengahan ibadah atau setelah ibadah. Kita ambil masalah wudhu’ sebagai contoh karena banyak orang tertimpa was-was dalam masalah ini.

Menjelang wudhu’
Seseorang mendatangi masjid dan melewati tempat wudhu’ ketika imam sudah di rakaat terakhir. Dia ragu apakah dia telah wudhu’ atau belum ?
Dijawab dengan kaidah. Kembalikanlah kepada hal yang diyakini sebelum munculnya keraguan ini. Apakah sebelum datang ke masjid, dia sempat melakukan sholat dua rakaat di rumahnya atau tidak ? Jika jawabnya “Ya”, maka hukum asal sebelum munculnya keraguan: “Dia telah berwudhu’” karena dia telah sholat dua raka’at di rumah yang tentunya dalam keadaan berwudhu’. Maka dia langsung ikut bersama imam tanpa wudhu’ dan jangan pedulikan keraguan yang sempat muncul[3]. Jika jawabnya “Tidak”, maka tidak ada baginya indikasi yang menunjukkan bahwa dia telah berwudhu’. Oleh sebab itu hukum asal sebelum muncul keraguan: “Dia dalam keadaan berhadats’”, maka wajib baginya untuk berwudhu’[4] walaupun dia bakal ketinggalan jama’ah bersama imam. Karena bagi orang yang ragu apakah dia telah melakukan sesuatu atau tidak, hukum asalnya: “Dia belum melakukannya”[5].

Di pertengahan wudhu’. 
Seseorang ragu apakah dia buang angin atau tidak ?
Dijawab dengan kaidah, kalau dia tidak yakin telah buang angin maka teruskan wudhu’nya karena sebagian wudhu’ yang dilakukannya telah mengikuti cara yang syar’i sebagaimana kisah shohabat yang ragu dalam sholatnya.

Setelah wudhu’. 
Seseorang ragu apakah ketika wudhu’ dia berhadats atau tidak ?
Dijawab dengan kaidah, karena dia telah melakukan wudhu’ yang syar’i maka hukum asalnya: “Dia selesai wudhu’ dalam keadaan suci”.
Keraguan yang semacam ini kalau dibiarkan, maka akan membuka pintu was-was yang tiada hentinya[6]. Karena setiap selesai wudhu’ maka dia akan mengulang lagi, selesai mengulang maka dia mengulang lagi, dan ini merupakan sesuatu kesulitan dalam menjalankan syari’at. Alloh Suhbanahu wa Ta’ala berfirman:

﴿وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ﴾

“Dia tidak menjadikan kesukaran dalam agama bagi kalian” (QS Al-Hajj Ayat 87)

PERBANDINGAN ANTARA PENGAMALAN “DUGAAN KUAT” DENGAN PENGAMALAN HUKUM YANG DIYAKINI SEBELUM MUNCUL KERAGUAN

Seseorang melakukan sholat ‘Ashar kemudian ragu apakah dia telah sholat dua rakaat atau tiga?
Kalau dugaannya kuat bahwa dia telah sholat dua rakaat, maka dia lanjutkan sholatnya di atas dugaan itu dan dia sempurnakan dua rakaat sisanya. Demikian juga kalau dugaannya kuat dia telah sholat tiga rakaat, maka dia cukup menyempurnakan satu rakaat sisa, kemudian sujud sahwi.[7]

Adapun kalau dia tidak memiliki dugaan kuat kepada salah satu kemungkinan, maka dia harus kembali pada perkara yang betul-betul diyakini, yaitu: Bagaimanapun kemungkinannya yang jelas dia telah sholat dua rakaat. Maka dia bangun sholatnya di atas keyakinan itu dan dia sempurnakan dua rakaat sisa, kemudian sujud sahwi.

SEPUTAR WAS-WAS

Was-was merupakan sebuah keraguan yang tidak terbangun di atas suatu dasar yang jelas akan tetapi muncul di atas khayalan atau sekedar rasa bimbang. Was-was biasanya muncul pada orang yang sering mengalami keragu-raguan. Was-was tidak ada obatnya kecuali berpaling darinya dan tidak memperdulikannya.[8]

Penyebab utama was-was adalah gangguan dan bisikan syaithon. ‘Utsman bin Abil ‘Ash Rodhiyallohu ‘Anhu datang mengadu kepada Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwa syaithon mengganggu bacaannya ketika sholat sehingga dia menjadi ragu. Maka Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan :

« ذَاكَ شَيْطَانٌ يُقَالُ لَهُ خِنْزِبٌ فَإِذَا أَحْسَسْتَهُ فَتَعَوَّذْ بِاللهِ مِنْهُ وَاتْفِلْ عَلَى يَسَارِكَ ثَلاَثًا »

“Itu adalah syaithon yang dinamakan Khinzib[9]. Apabila engkau merasakannya maka berlindunglah kepada Alloh (ta’awwudz) darinya dan tiuplah[10] ke sebelah kirimu sebanyak tiga kali” (HR Muslim). Maka ‘Utsman pun mengerjakannya dan hilanglah gangguan itu darinya.
Pintu masuknya syaithon terbesar adalah kebodohan seseorang tentang ilmu agamanya adapun pada orang yang berilmu dia hanya bisa “mencuri”. Hal itu dikarenakan dia bisa menyusupkan perancuannya kepada orang-orang bodoh dengan aman tanpa penentangan. Karena itulah was-was ini banyak terlihat pada orang-orang yang semangat beribadah tapi ilmu kurang.[11]
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan[12]: “Diantara tipu dayanya yang berhasil memperdaya orang-orang bodoh adalah tipu dayanya dalam perkara thoharoh dan sholat ketika berniat, sampai dia bisa menjerumuskan mereka ke dalam ikatan-ikatan dan belenggu, serta meninggalkan pengikutan terhadap sunnah Rosululloh Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam. Dikhayalkan kepada salah seorang diantara mereka bahwa apa-apa yang datang dari sunnah tidak cukup, mesti ditambah dengan yang lain, sehingga terkumpul pada mereka rasa capek disertai batal atau berkurangnya pahala”.

MELEPASKAN DIRI DARI WAS-WAS

Mungkin kebanyakan orang yang terkena was-was sudah mengetahui tidak ada cara lain baginya untuk lepas dari jerat tersebut kecuali dengan tidak memperdulikan was-was tersebut sama sekali, namun terkadang sulit dalam penerapannya. Nah, dari penjelasan sebelumnya, setidaknya ada beberapa perkara penting yang bisa menjadi sebab bagi seseorang untuk menerapkan hal tersebut:
Pertama, Menuntut ilmu syar’i, sehingga jelas baginya hukum-hukum syari’at yang benar. Karena Alloh hanya memerintahkan hamba-Nya untuk berjalan di atas apa yang Dia syari’atkan, tidak dipulangkan kepada perasaan atau dugaan.
Kedua, Bersandar sepenuhnya kepada Alloh, meminta pertolongan kepada-Nya, serta meminta perlindungan kepada-Nya dari bisikan syaithon dan terus beribadah di atas ilmu.[13]
Tambahkan perkara yang berikutnya:
Ketiga, Menutup celah munculnya was-was.
Misalnya  bagi seseorang yang was-was dalam sholatnya merasa bahwa kemaluan basah, perkara yang dia lakukan adalah apabila dia selesai berwudhu’ maka dia perciki kemaluannya, sehingga jika datang rasa was-was di sholat maka dia akan menganggap bahwa basah yang terasa berasal dari air yang dipercikkan. [14]
Karena itu juga dinasehatkan bagi orang-orang yang terkena penyakit yang menyebabkan keluarnya kencing atau buang angin sering tanpa bisa ditahan, untuk berupaya mencari pengobatannya, menutup pintu was-was. Adapun hukumnya, diantara ulama[15] memfatwakan kalau dia cukup berwudhu’ setiap kali sholat. Walaupun antara waktu wudhu’ sampai selesai sholat dia mengeluarkan hadats sebab sakit yang dideritanya.

Ini adalah fatwa yang kuat insya Alloh karena dia dalam kondisi yang diluar batas kemampuannya. Alloh Ta’ala berfirman:

﴿لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا﴾

“Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya (QS Al-Baqoroh Ayat 233)

﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُم﴾

“Bertakwalah kepada Alloh semampu kalian” (QS At-Taghobun Ayat 16)
Inilah yang ana pahami dalam masalah ini Wallohu A’lam bish Showaab.


[1] Al-Qirofy menukilkan ijma’ ulama atas kaidah ini (Al-Furuq, perbedaan yang ke 10). Para ulama diantaranya: Ibnu ‘Abdil Barr (At-Tamhid 1/342), Ibnu Daqiqil ‘Ied (Al-Ihkam 1/250), An-Nawawy (Syarh Shohih Muslim hadits ke 361), Al-’Ala’iy (Al-Majmu’ul Madzhab 1/304), dan selain mereka menggolongkan kaidah ini ke dalam “Kaidah Besar” dimana banyak permasalan-permasalahan fiqih yang bisa dikembalikan ke kaidah ini atau langsung ke dalil-dalil kaidah ini (Lihat Ad-Durorul Bahiyah 140-141/ Syaikh ‘Abdulloh Khaulany). Setidaknya kaidah ini mencakup sekitar dua belas kaidah yang lain (Lihat Al-Mufashshol 285-322/ DR Ya’qub Bahusein).
[2] Akan diperjelas dengan contoh Insya Alloh.
[3] Pendapat ini yang dikuatkan jumhur (mayoritas) ulama. Adapun yang berpendapat (dari kalangan Malikiyyah) orang tersebut harus berwudhu’ bukan karena mereka menolak kaidah ini tapi karena mereka berpendapat bahwa sholat harus dibangun di atas wudhu’ yang betul-betul diyakini. Namun konteks hadits menunjukkan pendapat jumhurlah yang lebih kuat (lihat Al-Majmu’ul Madzhab 1/315)
[4] Ijma’ (sepakat) ulama dalam masalah ini, sebagaimana dinukilkan Ibnu Hazm (Marotibul Ijma’ 44) dan Imam An-Nawawy (Syarh Shohih Muslim no 361) Rahimahumalloh
[5] Lihat Al-Asybah Wan Nazho’ir (1/97)/ Asy-Syuyuthi Rahimahulloh
[6] Lihat Syarh Manzhumah Ushulil Fiqh wa Qowa’idih (171-172)/ Syaikh Al-’Utsaimin Rahimahulloh
[7] Khusus karena keraguan dalam sholat adapun dalam ibadah yang lain sujud sahwi tidak disyari’atkan
[8] Lihat Syarh Manzhumah Ushulil Fiqh wa Qowa’idih (173)/ Syaikh Al-’Utsaimin Rahimahulloh
[9] Diriwayatkan juga: Khinzab, Khanzab dan Khunzab (Imam An-Nawawy/ Syarh Shohih Muslim)
[10] Disertai sedikit percikan ludah
[11] Lihat Talbis iblis (1/121)/  Ibnul Jauzi Rahimahulloh
[12] Ighotsatul Lahfan (1/127)
[13] Lihat Syarh Manzhumah Ushulil Fiqh wa Qowa’idih (174)/ Syaikh Al-’Utsaimin Rahimahulloh
[14] Demikian fatwa Syaikhuna Yahya Al-Hajury Hafizhohulloh dalam masalah ini. Adapun atsar salaf sejauh ini ana baru mendapatkan satu atsar dari shohabat dan dua dari tabi’i dengan fatwa yang persis.
Atsar dari shohabat adalah atsar Ibnu ‘Abbas diriwayatkan ‘Abdur Rozzaq di Mushonnafnya no 574 lewat riwayat Al-A’Masy dari Sa’id bin Jubair. Seluruh periwayat tsiqoh, akan tetapi terdapat ‘an’anah Al-A’masy (mudallis level ketiga karena banyak melakukan tadlis para perowi dho’if). Dan ana tidak mendapatkan penjelasan dari ulama bahwa Al-A’Masy banyak mengambil riwayat dari Sa’id bin Jubair sehingga ana tawaqquf dalam menerima atsar ini. Dan konsekwensi dari tawaqquf adalah menolak.
Adapun atsar dari tabi’i, yang pertama adalah atsar Muhammad bin Ka’ab Al-Qurozhy diriwayatkan ‘Abdur Rozzaq di Mushonnafnya no 585 dan sanadnya shohih. Sementara yang kedua adalah atsar Maimun bin Mihron diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah di Mushonnafnya no 1790 dan sanadnya hasan. Wallohu A’lam
[15] Diantaranya Syaikh Ibnu Bazz, Syaikh Al-’Utsaimin Rahimahumalloh dan Syaikhuna Muhammad Hizam Hafizhohulloh


Senin, 15 Juli 2013

SHALAT, ANTARA DITERIMA DAN TIDAK

Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman
Dinukil dari www.asysyariah.com


Tidak ada jalan menuju kebahagiaan setiap hamba, baik di dunia maupun di akhirat melainkan Allah Subhanahu wata’ala telah membentangkan jalan untuk mencapainya dan membimbing ke arah jalan tersebut. Sebaliknya, tidak ada sesuatu yang membahayakan dan memudaratkan mereka, melainkan Allah Subhanahu wata’ala telah menurunkan wahyu-Nya serta mengutus utusan-Nya untuk menjelaskan dan memperingatkan darinya. Salah satu jalan kebaikan yang sangat besar dan bernilai tinggi dalam hidup mereka adalah ketaatan dalam bentuk penghambaan dan penghinaan diri yang tinggi, serta bentuk kedekatan hamba yang paling dekat dengan Allah Subhanahu wata’ala yaitu shalat lima waktu sehari semalam. Ini semua sebagai bukti bahwa Allah Subhanahu wata’ala memuliakan setiap hamba dan tidak menciptakan mereka secara sia-sia, tanpa arti.
أَيَحْسَبُ الْإِنسَانُ أَن يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (al-Qiyamah: 36)

Ketaatan dengan Pertolongan Allah Subhanahu wata’ala

Setiap hamba semestinya mengetahui dengan diperintahkannya mereka untuk melaksanakan sesuatu atau dilarangnya mereka dari sesuatu semata-mata untuk hamba itu sendiri dan tidak ada kepentingannya bagi Allah Subhanahu wata’ala sedikit pun. Hamba itu pun harus mengetahui bahwa kemampuan dia untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya serta kemampuan dia untuk menjauh dari segala larangan, sesungguhnya itu merupakan bantuan dari Allah Subhanahu wata’ala semata. Tanpa hal itu, manusia tidak akan sanggup untuk melaksanakannya karena,

Pertama:
Adanya hawa nafsu yang sangat berlawanan dengan niatan niatan baik setiap manusia serta selalu mendorong untuk menyelisihi segala perintah dan larangan Allah Subhanahu wata’ala. Dia akan mengundang siapa pun untuk menjadi orang yang berani meninggalkan perintah dan menjadi orang yang tidak punya malu melanggar larangan. Jika perintah dan larangan itu diserahkan pelaksanaannya semata mata pada kemampuan manusia dan tidak ada bantuan dari Allah Subhanahu wata’ala, niscaya semuanya akan menjadi tersesat. Tentu saja Allah Subhanahu wata’ala menolong hamba-hamba yang dikehendaki-Nya karena karunia- Nya, dan tidak menolong yang lain karena keadilan.

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَن فِيهِنَّ ۚ بَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم مُّعْرِضُونَ

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka peringatan (al-Qur’an) tetapi mereka berpaling darinya.” (al-Mu’minun: 71)

فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Maka jika mereka tidak memenuhi seruanmu, ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orangorang yang zalim.” (al-Qashash: 50)

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hawa nafsu menghalangi dari kebenaran.” (al- Ibanah ash-Shugra hlm. 122)

Al-Hasan rahimahullah mengatakan, “Tidak ada sebuah penyakit yang lebih dahsyat daripada penyakit hawa nafsu yang mengenai hati.” (al-Ibanah ash-Shugra hlm. 124)

Abdullah bin ‘Aun al-Bashri rahimahullah berkata, “Bila hawa nafsu telah berkuasa di dalam hati, niscaya dia akan menganggap baik segala apa yang dahulunya dipandang jelek.” (al-Ibanah as-Shugra 131) (Lihat kitab Sallus Suyuf wal Asinnah secara ringkas hlm. 24—26)

Kedua:
Setan dari luar manusia yang setiap saat mengintai mereka untuk kemudian menyerunya menuju penyelisihan terhadap perintah Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Setan telah menjadikan diri sebagai lawan atas siapa saja yang menaati Allah Subhanahu wata’ala, serta kawan bagi siapa yang melanggar perintah dan larangan Allah Subhanahu wata’ala. Dialah yang mengatakan di hadapan Allah Subhanahu wata’ala sebagaimana firman-Nya,

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ () ثُمَّ لَآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
Iblis menjawab, “Karena Engkau telah menghukum aku tersesat, aku benar benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (al-A’raf: 16—17)
Firman-Nya pula,
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ

Iblis berkata, “Ya Rabbku, karena Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (al- Hijr: 39)

Dengan semuanya ini, sudah sepantasnya bagi seorang hamba bila dia menemukan dirinya menjadi orang yang mendapatkan kemudahan untuk melaksanakan ketaatan dan ringan dalam menjauhi larangan agar selalu bersyukur kepada Allah Subhanahu wata’ala, karena semuanya dengan bantuan-Nya. Bila seorang hamba menemukan dirinya sangat mudah untuk melanggar ketentuan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya, hendaklah dia mencela dirinya sendiri. Setelah itu, dia harus berjuang untuk menundukkan hawa nafsunya di atas syariat Allah Subhanahu wata’ala dan melawan setan sebagai teman yang mengajak dia bermaksiat.

Setiap hamba semestinya mengetahui bahwa jalan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat adalah dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam serta menjalankan segala aturan Allah Subhanahu wata’ala di dalam wahyu-Nya. Karena tanpa itu semua, jangan bermimpi akan menang dalam setiap perjuangan, jangan berkhayal kejayaan, kemuliaan, kewibawaan Islam dan kaum muslimin akan kembali, serta jangan berharap akan meraih kebahagiaan dan kesenangan yang hakiki. Yang ada adalah kegagalan, kekalahan, kerendahan dan kehinaan, serta kehancuran dan kebinasaan. Cukuplah berita ilahi di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang sahih sebagai berita yang akurat yang tidak ada kedustaan di dalamnya.

Jalan-Jalan Ketaatan dan Keikhlasan

Pintu-pintu kebaikan yang begitu banyak sungguh telah dijelaskan secara rinci dalam syariat Allah Subhanahu wata’ala dan tidak ada sesuatu yang masih tersisa. Kesempurnaan syariat-Nya juga membuktikan bahwa Allah Subhanahu wata’ala menginginkan kemuliaan atas setiap hamba-Nya. Sebuah kebajikan yang besar tentunya untuk meraih nilai yang besar pula di sisi Allah Subhanahu wata’ala. Nilai nilai yang besar tersebut tidak akan didapatkan melainkan pelaksanaannya harus berada di atas koridor agama.

Dengan kata lain, harus berada di atas syarat-syarat diterimanya amal. Di antara ketentuan yang harus ada dalam pengabdian setiap hamba kepada Allah Subhanahu wata’ala adalah dua hal yaitu ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam). Barang siapa yang tidak ada pada amalnya kedua syarat tersebut atau salah satu di antaranya, maka jelas ditolak dan masuk dalam firman Allah Subhanahu wata’ala,

وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَّنثُورًا
“Dan Kami sodorkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (al-Furqan: 23)

Kedua sifat tersebut, ikhlas dan mutaba’ah (mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) telah dihimpun oleh Allah Subhanahu wata’ala di dalam firman-Nya,

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۗ وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kekasih-Nya.” (an-Nisa: 125)
بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedangkan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Rabbnya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (al-Baqarah: 112) (Lihat kitab Bahjatu Qulubul Abrar hlm. 14 karya al-Imam as-Sa’di rahimahullah)

Shalat, Amalan Besar yang Butuh Keikhlasan dan Mutaba’ah

Di antara sederetan kewajiban yang besar serta bernilai agung dan tinggi adalah shalat lima waktu sehari semalam. Amal besar yang tidak ada seorang muslim pun meragukannya karena dalil yang menjelaskannya sangat terang layaknya matahari di siang bolong. Oleh karena itu, jika ada orang yang mengaku muslim mengingkari dan tidak mengerjakan shalat berarti dia telah menanggalkan pakaian keislamannya, dia sadari atau tidak. Sebab, dia telah menentang hujah yang sangat terang dan jelas. Contoh perintahnya,
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan rukuklah bersama orangorang yang rukuk.” (al-Baqarah: 43)
Adakah dari kaum muslimin yang memahami perintah shalat di dalam ayat ini dengan makna bukan sebenarnya yaitu shalat yang telah dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam? Jika ada, berarti jelas bahwa dia adalah orang yang sesat dan jika dia tidak melaksanakannya akan bisa menjadikan dia kafir, keluar dari Islam. Karena shalat adalah amal ibadah besar kepada Allah Subhanahu wata’ala, seharusnya tidak dicari di baliknya selain wajah Allah Subhanahu wata’ala dan ridha-Nya.

Itulah keikhlasan, sebab:

1. Jika melaksanakannya dan ingin semata-mata pujian dari manusia, ingin terpandang, atau ingin memiliki kedudukan di hati banyak orang, ini adalah sebuah kesyirikan, walaupun dia mengerjakannya dengan penuh ketaatan. Allah Subhanahu wata’ala bercerita tentang ibadah shalat orang-orang munafik yaitu nifak akbar (besar),
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia, dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (an-Nisa: 142)

2. Jika melaksanakannya karena Allah Subhanahu wata’ala dan ingin mendapatkan sanjungan dari manusia, ini adalah bentuk kesyirikan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, (Allah Subhanahu wata’ala berfirman,)

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Aku tidak butuh kepada sekutu sekutu dalam kesyirikan. Barang siapa yang melakukan amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku, niscaya Aku akan biarkan dia bersama sekutunya.” (HR. Muslim) Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu secara marfu’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنَ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ؟ قَالُوا : بَلَى. قَالَ: الشِّرْكُ الْخَفِيُّ، يَقُومُ الرَّجُلُ فَيُصَلِّي فَيَزِينُ صَلَاتَهُ لَمَّا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ

“Maukah aku beri tahukan kepada kalian sesuatu yang lebih aku khawatirkan daripada fitnah Dajjal?” Mereka berkata, “Ya.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Syirik tersembunyi, yaitu seseorang melaksanakan shalat dan memperindahnya karena ada yang melihatnya.” (HR. Ahmad)

Keikhlasan adalah dia tidak mengharapkan dalam segala jenis ibadahnya, termasuk shalat, selain ridha dan wajah Allah Subhanahu wata’ala semata. Jika seseorang telah mengerjakannya dengan landasan keikhlasan, Allah Subhanahu wata’ala akan mengganjarnya di dunia sebelum di akhirat, mengangkat namanya, berkedudukan di hadapan manusia tanpa dia mencari dan mengejarnya. Itulah ganjaran setiap kebaikan di dunia sebelum akhirat. Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa tidak akan merugi, baik dunia maupun akhirat, seseorang yang melaksanakan ketaatan kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan landasan keikhlasan.

Banyak amal kecil dan ringan karena niatnya yang baik menjadi amalan yang bernilai besar dan berat. Amalan yang besar menjadi ringan bahkan nihil dari nilai, karena niatnya. Sungguh ini adalah kerugian yang nyata dan kesia-siaan yang besar. Perlu diketahui pula bahwa kebenaran niat seseorang dalam sebuah ibadahnya tidak menjamin amalnya tersebut diterima. Hal ini karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan hal ini dalam sebuah sabda beliau,

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa melakukan amalan dan tidak ada perintahnya dari kami, niscaya amal tersebut tertolak.”

Manthuq (makna lahiriah) hadits ini adalah setiap perkara bid’ah yang dibuat-buat dalam urusan agama yang tidak memiliki landasan di dalam al- Qur’an dan as-Sunnah—baik bid’ah ucapan dan keyakinan, seperti bid’ah Jahmiyah, Rafidhah, Mu’tazilah, serta selainnya, maupun bid’ah perbuatan, seperti beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan ibadah-ibadah yang tidak ada syariatnya dari Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya— maka semua amalan tersebut tertolak. Pelakunya tercela dan ketercelaannya sesuai dengan tingkat kebid’ahan dan jauhnya dia dari agama.

Barang siapa memberitakan tidak seperti berita Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya atau dia beribadah dengan sesuatu yang tidak ada izin dari Allah Subhanahu wata’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam maka dia adalah seorang mubtadi’. Barang siapa mengharamkan perkara-perkara yang dibolehkan atau beribadah tanpa ada syariatnya, maka dia juga seorang mubtadi’. Mafhum hadits ini, barang siapa melaksanakan sebuah amalan yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul- Nya, yaitu beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan keyakinan yang benar dan amal saleh, baik yang bersifat wajib maupun mustahab (sunnah), maka segala pengabdiannya diterima dan usahanya patut disyukuri.

Hadits ini menjelaskan pula bahwa setiap ibadah yang dikerjakan dalam bentuk yang dilarang maka ibadah tersebut menjadi rusak karena tidak ada perintah dari Allah Subhanahu wata’ala dan adanya larangan tersebut. Konsekuensinya adalah rusak, dan setiap bentuk muamalah yang syariat melarangnya adalah ibadah yang sia-sia dan tidak tergolong dalam kategori ibadah. (Lihat Bahjatul Qulubul Abrar hlm. 17)

Mereguk Nilai di Balik Keikhlasan

Tidak ada satu bentuk pengorbanan dalam sebuah peribadahan kepada Allah Subhanahu wata’ala melainkan telah dipersiapkan ganjaran yang lebih besar dari apa yang telah dia korbankan. Itulah janji Allah Subhanahu wata’ala di dalam al-Qur’an dan melalui lisan Rasul-Nya di dalam as-Sunnah. Bahkan, Allah Subhanahu wata’ala telah menetapkan secara umum jaminan nilai yang akan didapatkan pada semua bentuk peribadahan kepada Allah Subhanahu wata’ala seperti dalam firman-Nya,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai manusia, sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang orang yang sebelummu, agar kalian bertakwa.” (al-Baqarah: 21)

Dari sinilah, orang yang beriman mengetahui bahwa siapa saja mengharapkan urusannya yang sulit segera terselesaikan, problem hidupnya yang berat diringankan, dimudahkan urusan rezekinya, mulia dan bahagia, hendaklah dia mencarinya melalui jalur ibadah. Adapun tentang ibadah shalat, Allah Subhanahu wata’ala telah menyebutkan nilai khusus padanya yaitu di samping akan menjadikan seseorang bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala, juga akan menjadi benteng dari bermaksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala dan dari perbuatan-perbuatan yang keji. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۗ
“Sesungguhnya shalat dapat mencegah dari kejelekan dan kemungkaran.” (al-‘Ankabut: 45)

As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Shalat itu tidak cukup bila mendatanginya hanya dalam bentuk pelaksanaan lahiriah semata. Namun, shalat itu adalah menegakkannya baik secara lahiriah dengan menyempurnakan rukun-rukunnya, wajib-wajibnya, dan menegakkan syarat-syarat-Nya. Menegakkan secara batin artinya menegakkan ruhnya, yaitu hadirnya hati di dalam shalat tersebut, memahami apa yang diucapkan dan dilakukannya. Inilah shalat yang dimaksudkan oleh Allah Subhanahu wata’ala di dalam firman-Nya,
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۗ
“Sesungguhnya shalat dapat mencegah dari kejelekan dan kemungkaran.” (al-‘Ankabut: 45) (Tafsir as-Sa’di hlm. 24)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya, apabila dikerjakan sesuai dengan perintah, niscaya shalat akan mencegah dari kejelekan dan kemungkaran. Jika shalat tersebut tidak mencegah dia dari kejelekan dan kemungkaran, ini pertanda bahwa dia telah menyia-nyiakan hak-hak shalat itu kendatipun dia dalam kondisi taat.”

Beliau rahimahullah juga menjelaskan, “Sesungguhnya shalat itu akan menolak adanya perkara yang dibenci yaitu kejelekan dan kemungkaran, dan sekaligus karenanya, juga akan meraih kecintaan yaitu zikrullah; dan terwujudnya kecintaan melalui (shalat) itu lebih besar dibandingkan dengan tertolaknya kejelekan. Hal ini karena zikir kepada Allah Subhanahu wata’ala adalah ibadah, dan ibadah hati sebagai tujuan dari semua bentuk peribadatan tersebut. Adapun tertahannya dia dari kejelekan sebagai tujuan yang lain.”

Beliau rahimahullah berkata, “Yang benar, makna ayat itu adalah shalat memiliki dua tujuan dan satu tujuan dari keduanya itu lebih besar daripada yang lain. Sesungguhnya shalat dapat mencegah dari kejelekan dan kemungkaran. Shalat itu sendiri mengandung makna zikir, dan shalat berikut zikir-zikirnya itu lebih besar dibandingkan keberadaannya yang dapat mencegah dari kekejian dan kemungkaran.

Ibnu Abi Dunia rahimahullah telah menyebutkan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau ditanya tentang amalan yang paling utama. Beliau rahimahullah berkata, ‘Berzikir kepada Allah Subhanahu wata’ala.’ Di dalam as-Sunan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,

‘Dan dijadikannya thawaf di baitullah, sa’i antara Shafa’ dan Marwa, serta melempar jumrah, semuanya untuk mengingat Allah Subhanahu wata’ala’.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dan beliau berkata bahwa hadits ini hasan dan sahih). (Lihat Majmu’ Fatawa 10/188)

Adapun hadits yang mengatakan,

كُلُّ صَلَاةٍ لَمْ تَنْهَ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ لَمْ يَزْدَدْ صَاحِبُهَا مِنَ اللهِ إلَّا بُعْدًا
“Setiap shalat yang tidak mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan mungkar, tidak akan menambah bagi pelakunya selain kejauhan dari Allah Subhanahu wata’ala.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini tidak sahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” Lihat penjelasan tentang kelemahan haditsnya di dalam kitab Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah jilid 1 hadits ke-2. Wallahu a’lam.

LUASNYA NIKMAT ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA


Al-Ustadz Muhammad Afifuddin
Dinukil dari www.asysyariah.com


Nikmat Allah Subhanahu wata’ala yang dilimpahkan kepada para hamba-Nya tiada terkira banyaknya, baik nikmat lahiriah maupun batiniah. Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

ٱللَّهُ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضَ وَأَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً۬ فَأَخۡرَجَ بِهِۦ مِنَ ٱلثَّمَرَٲتِ رِزۡقً۬ا لَّكُمۡ‌ۖ وَسَخَّرَ لَكُمُ ٱلۡفُلۡكَ لِتَجۡرِىَ فِى ٱلۡبَحۡرِ بِأَمۡرِهِۦ‌ۖ وَسَخَّرَ لَكُمُ ٱلۡأَنۡهَـٰرَ    ( ) وَسَخَّرَ لَكُمُ ٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَ دَآٮِٕبَيۡنِ‌ۖ وَسَخَّرَ لَكُمُ ٱلَّيۡلَ وَٱلنَّہَارَ ( ) وَءَاتَٮٰكُم مِّن ڪُلِّ مَا سَأَلۡتُمُوهُ‌ۚ وَإِن تَعُدُّواْ نِعۡمَتَ ٱللَّهِ لَا تُحۡصُوهَآ‌ۗ إِنَّ ٱلۡإِنسَـٰنَ لَظَلُومٌ۬ ڪَفَّارٌ۬ ( )

“Allahlah yang telah menciptakan langit dan bumi, serta menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu. Dia juga telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya. Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus-menerus beredar (dalam orbitnya); serta telah menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).” (Ibrahim: 32—34)

Semua yang ada di muka bumi ini adalah halal serta mubah (boleh) digunakan dan dinikmati selama tidak ada unsur kemudaratan atau nash pelarangan. Allah Subhanahu wata’ala menyatakan :

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dialah Allah, yang menjadikan Busana Takwa Syar’i atau Trendi? segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (al- Baqarah: 29)

Firman-Nya :

وَسَخَّرَ لَكُم مَّا فِى ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَمَا فِى ٱلۡأَرۡضِ جَمِيعً۬ا مِّنۡهُ‌ۚ إِنَّ فِى ذَٲلِكَ لَأَيَـٰتٍ۬ لِّقَوۡمٍ۬ يَتَفَكَّرُونَ ()
“Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi  semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (al-Jatsiyah: 13)

Dari ayat-ayat di atas dan yang semisalnya, para fuqaha menetapkan kaidah baku yang berlaku selama dunia belum dihancurkan Dzat Yang Mahatahu: “Hukum asal segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi adalah halal selama tidak ada nash yang mengharamkannya.” Maka dari itu, hukum asal semua yang ada di lautan, baik ikan dengan beragam jenisnya maupun perhiasanperhiasan yang ada di dalamnya, adalah halal.

Allah Subhanahu wata’ala berfirman :
وَهُوَ الَّذِي سَخَّرَ الْبَحْرَ لِتَأْكُلُوا مِنْهُ لَحْمًا طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُوا مِنْهُ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَا وَتَرَى الْفُلْكَ مَوَاخِرَ فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِن فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dialah Allah yang menundukkan lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan darinya daging yang segar (ikan) dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai. Dan kamu melihat bahtera berlayar padanya dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, serta supaya kamu bersyukur.” (an-Nahl: 14)

وَمَا يَسْتَوِي الْبَحْرَانِ هَٰذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَائِغٌ شَرَابُهُ وَهَٰذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ ۖ وَمِن كُلٍّ تَأْكُلُونَ لَحْمًا طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُونَ حِلْيَةً تَلْبَسُونَهَا ۖ وَتَرَى الْفُلْكَ فِيهِ مَوَاخِرَ لِتَبْتَغُوا مِن فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum, dan yang lain asin lagi pahit. Dan dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan perhiasan yang kamu dapat memakainya. Dan pada masing-masingnya kamu lihat kapalkapal berlayar membelah laut supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur.” (Fathir: 12)

Bahkan, bangkai hewan laut juga dihukumi halal. Hal ini sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang laut,
هُوَ طَهُوْرٌ مَاؤُهُ اَلْحِلُّ مَيْتُتُهُ
“Laut itu suci airnya lagi halal bangkainya.” ( HR. Abu Dawud no. 83, at-Tirmidzi no. 69, dll.)

Demikian pula keumuman ayat,
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ ۖ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan. Diharamkan pula atasmu (menangkap) binatang buruan darat selama kamu dalam ihram. Bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (al-Maidah: 96)

Hukum asal semua tumbuhan, pepohonan, dedaunan, tanaman, dan buah-buahan, dengan berbagai macam bentuk, jenis, dan ragamnya adalah halal. Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

هُوَ الَّذِي أَنزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً ۖ لَّكُم مِّنْهُ شَرَابٌ وَمِنْهُ شَجَرٌ فِيهِ تُسِيمُونَ () يُنبِتُ لَكُم بِهِ الزَّرْعَ وَالزَّيْتُونَ وَالنَّخِيلَ وَالْأَعْنَابَ وَمِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dialah yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, kurma, anggur, dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (an-Nahl: 10—11)

Hukum asal kemanfaatan yang diambil dari hewan ternak adalah halal, baik bulu, kulit, maupun dagingnya, baik dimanfaatkan untuk membuat baju, alas, permadani, maupun rumah. Begitu pula digunakan untuk hewan tunggangan yang membawa kita dan barang-barang kita ke tempat tujuan yang dikehendaki.

Allah Subhanahu wata’ala berfirman :
وَالْأَنْعَامَ خَلَقَهَا ۗ لَكُمْ فِيهَا دِفْءٌ وَمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ () وَلَكُمْ فِيهَا جَمَالٌ حِينَ تُرِيحُونَ وَحِينَ تَسْرَحُونَ () وَتَحْمِلُ أَثْقَالَكُمْ إِلَىٰ بَلَدٍ لَّمْ تَكُونُوا بَالِغِيهِ إِلَّا بِشِقِّ الْأَنفُسِ ۚ إِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوفٌ رَّحِيمٌ () وَالْخَيْلَ وَالْبِغَالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوهَا وَزِينَةً ۚ وَيَخْلُقُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu. Padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan beragam manfaat, yang sebagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan. Dan ia memikul bebanbebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Rabbmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (an- Nahl: 5—8)

Hukum asal makanan, apa pun jenis, ragam, bentuk, dan rasanya adalah halal, Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang Busana Takwa Syar’i atau Trendi? terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (al-Baqarah: 168)

Dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu wata’ala mengecam siapa saja yang mengharamkan rezeki yang Allah Subhanahu wata’ala halalkan bagi hamba-hamba-Nya tanpa seizin dari- Nya,
قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللَّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ
Katakanlah, “Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” Katakanlah, “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (Yunus: 59)

Hukum asal segala jenis dan ragam minuman juga halal. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menjelaskan,
بِهَذَا الْقَدَحِ الشَّرَّابَ لَقَدْ سَقَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ كُلَّهُ: اَلْمَاءَ وَالنَّبِيْذَ وَالْعَسْلَ وَاللَّبَنَ
“Sungguh, aku telah memberi minum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan bejana ini segala jenis minuman: air, nabidz (air rendaman anggur), madu, dan susu.” (HR. Muslim no. 2008)

Begitu pula segala jenis air, baik air hujan, air laut, air sumur, air sungai, air oasis, dan yang lainnya, hukum asalnya adalah suci dan halal. Al – ‘ Allamah asy – Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah dalam kitabnya, al-Qawa’id al-Jami’ah (hlm. 74),—dengan syarahnya—menjelaskan, “Adapun segala ragam adat (kebiasaan), seperti makanan, minuman, pakaian, rutinitas, muamalah (transaksi), dan barang-barang produksi, hukum asalnya adalah mubah dan mutlak.

Barang siapa mengharamkan sesuatu darinya yang tidak diharamkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya, dia adalah mubtadi’ (ahli bidah). Hal ini seperti tindakan musyrikin yang mengharamkan sebagian hewan ternak yang dimubahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Demikian pula orang yang dengan kebodohannya hendak mengharamkan sebagian jenis pakaian atau barang-barang produksi dan teknologi masa kini, tanpa ada dalil syar’i yang mengharamkannya.” Yang diharamkan dari hal-hal di atas adalah yang keji atau memudaratkan, semuanya telah dijelaskan secara rinci dalam al-Kitab dan as-Sunnah.

BERCANDA ADA ETIKANYA

Al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.
Dinukil dari www.asysyariah.com


Bercanda atau bersenda gurau adalah salah satu bumbu dalam pergaulan di tengah-tengah masyarakat. Ia terkadang diperlukan untuk menghilangkan kejenuhan dan menciptakan keakraban, namun tentunya bila disajikan dengan bagus sesuai porsinya dan melihat kondisi yang ada. Sebab, setiap tempat dan suasana memang ada bahasa yang tepat untuk diutarakan. Khalil bin Ahmad berkata, “Manusia dalam penjara (terkekang) apabila tidak saling bercanda.” Pada suatu hari, al-Imam asy-Sya’bi rahimahullah bercanda, maka ada orang yang menegurnya dengan mengatakan, “Wahai Abu ‘Amr (kuniah al-Imam asy-Sya’bi, -red.), apakah kamu bercanda?” Beliau menjawab, “Seandainya tidak seperti ini, kita akan mati karena bersedih.” (al-Adab asy-Syar’iyah, 2/214) Namun, jika sendau gurau ini tidak dikemas dengan baik dan menabrak norma-norma agama, bisa jadi akan memunculkan bibit permusuhan, sakit hati, dan trauma berkepanjangan. Pada dasarnya, bercanda hukumnya boleh, asalkan tidak keluar dari batasanbatasan syariat.

Sebab, Islam tidak melarang sesuatu yang bermanfaat dan dibutuhkan oleh manusia sebagaimana Islam melarang hal-hal yang membahayakan dan tidak diperlukan oleh manusia. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bergaullah kamu dengan manusia (namun) agamamu jangan kamu lukai.” (Shahih al-Bukhari, Kitabul Adab)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Para Sahabat Bercanda Manakala kita membuka kembali lembaran sejarah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, kita akan mendapati bahwa beliau adalah sosok yang bijak dan ramah dalam pergaulan. Beliau bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya dan mendudukkan orang sesuai kedudukannya. Beliau berbaur dengan sahabat dan bercanda dengan mereka. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Nabi bergaul (dekat) dengan kita. Sampai-sampai beliau mengatakan kepada adikku yang masih kecil, ‘Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh an-Nughair?’.” (Shahih al-Bukhari no. 6129)

An-Nughair adalah burung kecil sebangsa burung pipit. Alkisah, Abu Umair ini dahulu bermain-main dengan burung kecil miliknya. Pada suatu hari burung itu mati dan bersedihlah dia karenanya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengetahui hal itu mencandainya agar tenteram hatinya dan hilang kesedihannya. Maha benar Allah Subhanahu wata’ala ketika berfirman,
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benarbenar berbudi pekerti yang agung.” (al-Qalam: 4)

Memang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sangat dekat dengan para sahabatnya sehingga tahu persis kebutuhan dan problem yang mereka hadapi, kemudian beliau membantu mencarikan jalan keluarnya. Masih kaitannya dengan senda gurau Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, ada beberapa riwayat yang diabadikan oleh ulama hadits, di antaranya:

1. Dari Anas bin Malik, ia berkata,
“Sungguh, ada seorang lelaki meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sebuah kendaraan untuk dinaiki. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, ‘Aku akan memberimu kendaraan berupa anak unta.’ Orang itu (heran) lalu berkata, ‘Apa yang bisa saya perbuat dengan anak unta itu?’ Nabi n bersabda, ‘Bukankah unta betina itu tidak melahirkan selain unta (juga)?’.”(HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam al- Misykat no. 4886)

Orang ini menyangka bahwa yang namanya anak unta mesti kecil, padahal kalau sedikit berpikir, dia tidak akan menyangka seperti itu, karena unta yang dewasa juga anak dari seekor unta. Dalam hadits ini, di samping mencandai orang tersebut, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga memberi bimbingan kepadanya dan yang lainnya agar orang yang mendengar suatu ucapan seyogianya mencermati lebih dahulu dan tidak langsung membantahnya, kecuali setelah tahu secara mendalam maksudnya. (Tuhfatul Ahwadzi 6/128)

2. Dahulu, ada seorang sahabat bernama Zahir bin Haram radhiyallahu ‘anhu. Dia biasa membawa barang-barang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dari badui (pedalaman) karena dia seorang badui. Apabila Zahir ingin pulang ke kampungnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mempersiapkan barang-barang yang dibutuhkan Zahir di tempat tinggalnya. Zahir ini jelek mukanya, tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menyenanginya. Pada suatu hari ia datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menjual barang dagangannya. Diam-diam, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mendekapnya dari belakang. Zahir berkata,“Siapa ini? Lepaskan saya!” Zahir lalu menoleh, ternyata ia adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Zahir pun menempelkan punggungnya pada dada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Siapa yang mau membeli budak ini?” Zahir berkata, “Wahai Rasulullah, demi Allah, kalau begitu, niscaya engkau akan mendapatiku sebagai barang (budak) yang tidak laku dijual (karena jeleknya wajah).” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,“Akan tetapi, engkau di sisi Allah Subhanahu wata’ala bukan orang yang tidak laku dijual.”—atau beliau bersabda—”Akan tetapi, engkau di sisi Allah Subhanahu wata’ala itu mahal.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad 3/161 dan al-Baghawi dalam Syarhu as-Sunnah)

Di sini, di samping bercanda dengan ucapan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bercanda dengan perbuatan. Ini adalah sebagian contoh senda guraunya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan, perlu diketahui bahwa senda gurau beliau adalah haq, bukan kedustaan. At-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa para sahabat bertanya,“Wahai Rasulullah, Anda mencandai kami?” Beliau bersabda,
إِنِّي لَا أَقُوْلُ إِلَّا حَقًّا
“Saya tidak berkata selain kebenaran.” (Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 1990)


Seolah-olah, mereka ingin mengatakan bahwa tidak pantas bagi beliau yang membawa risalah (tugas) dari Allah Subhanahu wata’ala dan mulia kedudukannya di sisi Allah Subhanahu wata’ala untuk bercanda. Beliau pun mengatakan bahwa beliau memang bercanda, namun tidak mengatakan kecuali kebenaran. (lihat Syarhul Misykat karya ath-Thibi, 10/3140) Demikian juga para sahabat. Bakr bin Abdullah mengisahkan, “Dahulu para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam (bercanda dengan) saling melempar semangka. Tetapi, ketika mereka dituntut melakukan sesuatu yang serius, mereka adalah para lelaki.” (lihat Shahih al-Adabul al-Mufrad no. 201)


Kisah di atas menunjukkan bolehnya bercanda dengan perbuatan sebagaimana ucapan. Namun, tidaklah seluruh waktu para sahabat habis untuk bersenda gurau. Mereka hanyalah melakukannya kadangkadang. Dan tampaknya, mereka di sini tidak saling melempar buah semangka, namun hanya kulitnya. Wallahu a’lam.
Bolehnya bercanda juga tidak bisa menjadi alasan untuk menjadikannya sebagai profesi (sebagai pelawak/ komedian, -red.). Ini adalah sebuah kekeliruan. (Fathul Bari 10/527)

Bercanda Ada Batasannya

Ada beberapa hal yang semestinya diperhatikan oleh seorang ketika bercanda, di antaranya:

1. Tidak bercanda dengan ayat ayat Allah Subhanahu wata’ala dan hukum syariat-Nya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman tentang Nabi Musa ‘Alahissalam ketika menyuruh kaumnya (bani Israil) untuk menyembelih sapi.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تَذْبَحُوا بَقَرَةً ۖ قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا ۖ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.” Mereka berkata, “Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan?” Musa menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil.” (al- Baqarah: 67)

Maksudnya, aku (Musa) tidaklah bercanda dalam hukum-hukum agama karena hal itu adalah perbuatan orang orang yang bodoh. (Faidhul Qadir 3/18)

2. Tidak berdusta dalam bergurau
Nabi n bersabda (yang artinya), “Sesungguhnya saya bercanda dan saya tidaklah mengatakan selain kebenaran.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Kabir dari jalan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakannya sahih dalam Shahih al-Jami’)

3. Tidak menghina orang lain
Misalnya, menjelek-jelekkan warna kulit seseorang dan cacat fisiknya.

4. Tidak bercanda di saat seseorang dituntut untuk serius
Sebab, hal ini bertentangan dengan adab kesopanan dan bisa jadi mengakibatkan kejelekan bagi pelakunya atau orang lain.

5. Tidak mencandai orang yang tidak suka dengan candaan
Sebab, hal ini bisa menimbulkan permusuhan dan memutus tali persaudaraan.

6. Tidak tertawa terbahak-bahak
Dahulu, tawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam hanyalah dengan senyuman. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kita sering tertawa sebagaimana sabdanya.
لاَ تُكْثِرِ الضَّحِكَ فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيْتُ الْقَلْبَ
“Janganlah engkau sering tertawa, karena sering tertawa akan mematikan hati.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3400)

Al – Imam an – Nawawi rahimahullah menerangkan, “Ketahuilah, bercanda yang dilarang adalah yang mengandung bentuk melampaui batas dan dilakukan secara terus-menerus. Sebab, hal ini bisa menimbulkan tawa (yang berlebihan), kerasnya hati, melalaikan dari mengingat Allah Subhanahu wata’ala dan memikirkan hal-hal penting dalam agama. Bahkan, seringnya berujung pada menyakiti orang, menimbulkan kedengkian, dan menjatuhkan kewibawaan. Adapun candaan yang jauh dari ini semua, dibolehkan, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu, namun tidak terlalu sering. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melakukannya untuk sebuah maslahat, yaitu menyenangkan dan menenteramkan hati orang yang diajak bicara. Yang seperti ini sunnah. (Syarah ath-Thibi rahimahullah terhadap al-Misykat 10/3140)

7. Tidak mengacungkan/ menodongkan senjata kepada saudaranya
Terkadang, ada orang yang bercanda dengan mengacungkan senjatanya (pisau atau senjata api) kepada temannya. Hal ini tentu sangat berbahaya karena bisa melukai, bahkan membunuhnya. Sering terjadi, seseorang bermainmain menodongkan pistolnya kepada orang lain. Ia menyangka pistolnya kosong dari peluru, namun ternyata masih ada sehingga mengakibatkan kematian orang lain. Akhirnya dia pun menyesal karena ternyata masih tersisa padanya “peluru setan” yang mematikan. Namun, apa mau dikata, nyawa orang lain melayang karena kedunguannya. Ini akibat menyelisihi bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda, “Janganlah salah seorang kalian menunjuk kepada saudaranya dengan senjata, karena dia tidak tahu, bisa jadi setan mencabut dari tangannya, lalu dia terjerumus ke dalam neraka.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Demikian pula sabda beliau (yang artinya), “Barang siapa mengacungkan besi kepada saudaranya, para malaikat akan melaknatnya, meskipun ia saudara kandungnya.” (HR. Muslim dan at- Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) Larangan mengacungkan senjata kepada saudara ini bersifat umum, baik serius maupun bercanda. Sebab, manusia menjadi target setan untuk dijerumuskan kepada kebinasaan. Dengan sedikit saja tersulut kemarahan, seseorang bisa tega membunuh saudaranya dengan senjata itu. Adapun mengacungkan senjata kepada orang zalim yang menyerangnya dan akan membunuhnya, merampas hartanya, atau melukai kehormatannya, boleh bagi seseorang untuk menakutinakutinya dengan senjata supaya terhindar dari kejahatannya. Apabila upaya menakuti-nakuti ini berhasil, selesailah masalahnya.

Namun, bila orang zalim itu tetap menyerang, ia boleh melakukan perlawanan. Allah  Subhanahu wata’ala berfirman,
فَمَنِ اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
“Barang siapa menyerang kamu, seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.” (al- Baqarah: 194)

Tidaklah Nabi melarang kita dari bercanda dengan senjata kecuali karena khawatir dari (godaan) setan kepada orang yang beriman. Setan telah mengarahkan perangkapnya kepada orang yang beriman agar terjerumus dalam perkara yang menyeretnya kepada neraka dan kemurkaan Allah  Subhanahu wata’ala. Demi menutup jalan yang berbahaya ini, kita dilarang bercanda= yang bisa menimbulkan kejelekan dan menakut-nakuti muslimin atau bahkan mengakibatkan hilangnya nyawa. Betapa banyak petaka yang kita saksikan karena candaan yang seperti ini. Misalnya, seseorang bercanda dengan berteriak keras dari belakang punggung saudaranya yang sedang santai atau di sisi telinganya sehingga dia terkejut. Semisal ini pula adalah mengejutkan seseorang dengan memuntahkan peluru di atas kepala saudaranya untuk menakutnakuti. Demikian pula mengejutkan orang dengan membunyikan klakson mobil sekeras-kerasnya ketika lewat di sisinya sehingga berdebar-debar jantungnya dan hampir copot. Ada juga mainan ular-ularan yang mirip ular sungguhan yang dilemparkan kepada orang lain yang tidak mengetahuinya. Ia sangka itu ular sungguhan sehingga terkejut dan takut tidak kepalang. Sungguh, candaan yang tersebut di atas dan semisalnya telah banyak menyisakan kepiluan dan trauma yang mendalam.” (lihat Ishlahul Mujtama’ hlm. 36—37)

8. Mengambil harta orang dengan bercanda
Tidak dibenarkan menurut agama seseorang bercanda dengan mengambil harta atau barang milik saudaranya, lalu dia sembunyikan di suatu tempat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يَأْخُذَنَّ أَحَدُكُمْ مَتَاعَ صَاحِبِهِ لَاعِبًا وَلَا جَادًّا وَإِنْ أَخَذَ عَصَا صَاحِبِهِ فَلْيَرُدَّهَا عَلَيْهِ
“Janganlah salah seorang kalian mengambil barang temannya (baik) bermain-main maupun serius. Meskipun ia mengambil tongkat temannya, hendaknya ia kembalikan kepadanya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, dan al-Hakim. Asy-Syaikh al-Albani t menyatakan hasan dalam Shahih al-Jami’)

Sisi dilarangnya mengambil barang saudaranya secara serius itu jelas, yaitu itu adalah bentuk pencurian. Adapun  larangan mengambil barang orang lain dengan bergurau karena hal itu memang tidak ada manfaatnya, bahkan terkadang menjadi sebab timbulnya kejengkelan dan tersakitinya pemilik barang tersebut. (Aunul Ma’bud 13/346—347)

9. Tidak menakut-nakuti di jalan kaum muslimin
Menciptakan ketenangan di tengahtengah masyarakat adalah hal yang dituntut dari setiap individu. Tetapi, karena kebodohan dan jauhnya manusia dari bimbingan agama, masih saja didapati orang-orang yang iseng dan bergurau dengan menakut-nakuti di jalan yang biasa dilalui oleh orang. Bentuk menakut – nakutinya beragam. Ada yang modusnya dengan penampakan bentuk yang menakutkan, seperti pocongan atau suara-suara yang mengerikan, terutama di jalan-jalan yang gelap. Model bercanda seperti ini sungguh keterlaluan karena bisa menyisakan trauma yang berkepanjangan, terhalanginya seseorang dari keperluannya, bahkan terhalanginya seseorang dari masjid dan majelis-majelis kebaikan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim menakut-nakuti muslim yang lain.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud, lihat Shahihul Jami’no. 7659)

10. Berdusta untuk menimbulkan tawa
Apabila seorang bercanda dengan kedustaan, ia telah keluar dari batasan mubah (boleh) kepada keharaman. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَيْلٌ لِلَّذِى يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ، وَيْلٌ لَهُ، وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah orang yang bercerita lalu berdusta untuk membuat tawa manusia, celakalah ia, celakalah ia.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan al-Hakim dari Mu’awiyah bin Haidah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah menyatakannya hasan dalam Shahih al-Jami’)

Ia celaka karena dusta sendiri adalah pokok segala kejelekan dan cela, sehingga apabila digabungkan dengan hal yang mengundang tawa yang bisa mematikan hati, mendatangkan kelalaian, dan menyebabkan kedunguan, tentu hal ini lebih buruk. (Faidhul Qadir 6/477) Akhirnya, kita memohon kepada Allah  Subhanahu wata’ala agar diberi taufik dan bimbingan- Nya untuk selalu lurus dalam berbuat dan berkata-kata.

PROFILE KLINIK GRAHA AMANAH



Sebagai bentuk komitmen nyata terhadap mitra dan masyarakat,   
       maka Klinik Pratama Rawat Inap “ GRAHA AMANAH “                       
  sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan swasta terkemuka yang beralamat 
di Jl Rajawali No 328 RT 03 / II Karang Rena Maos Cilacap               
     merasa ikut terpanggil untuk bergabung dalam memfasilitasi               
   adanya pelayanan kesehatan yang bermutu                         
                       sesuai dengan kaidah ilmu kesehatan          
                                                dengan selalu mencari kiat                                                 mengadakan program dan layanan bertajuk :

“…………. Melayani anda dengan lebih baik………….”


MOTTO
Berkarya Husada Meraih Ridho Alloh Ta'ala


TUJUAN

Memberikan Dan Meningkatkan Pelayanan Kesehatan Yang Melaksanakan Fungsi Sosialnya Serta Turut Aktif Dalam Tercapainya Tujuan Pembangunan Kesehatan Yang Merupakan Bagian Pilar Dari Program Bangga Mbangun Desa


FALSAFAH
Sebagai Pengemban Amanah Dan Risalah Melalui Pelayanan Yang Bermutu Didukung Oleh
Pelayanan Terbaik Serta Profesional Dalam Rangka Membantu Sesama Untuk Mencari Ridho Allah Ta’ala


SEJARAH PENDIRIAN KLINIK

Klinik Pratama Rawat Inap “ GRAHA AMANAH” terletak Jl Rajawali No 328 RT 03/II Desa Karang Rena, Kecamatan Maos Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah. Demografi Kecamatan Maos terdiri atas 10 desa dengan luas 2.787,09 HA dengan jumlah penduduk sebanyak 46.978 yang terdiri dari 23.493 jiwa laki-laki dan 23.485 jiwa perempuan. Sementara data yang diperoleh dari Kantor Kecamatan Maos, bahwa jumlah sarana kesehatan yang ada di kecamatan Maos terdiri dari 1 Puskesmas, 4 Balai Pengobatan, 3 Puskesmas Pembantu dan 66 posyandu. Berdasarkan dari data yang ada menunjukkan bahwa nampaknya perbandingan populasi penduduk dengan penyebaran sarana kesehatan belumlah sebanding. Harapan kami keberadaan Klinik Pratama Rawat Inap “ Graha Amanah “ dapat sebagai bahan kajian dalam  upayanya membantu masyarakat Maos dalam memperoleh pelayanan kesehatan sehingga angka mortalitas dan morbiditas semakin menurun signifikan.

Pada awalnya, Klinik ini hanyalah merupakan suatu tempat praktik keperawatan mandiri  dengan focus pada pelayanan asuhan keperawatan mandiri dan sekaligus sebagai pusat pelayanan khitan. Berdasar SK Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap No 55/Dinkes/Batra/2007 pada tanggal 05 April 2007, maka berdirilah Balai Khitan “AMANAH”. Perkembangan dan pertumbuhan terus berlanjut tepatnya pada tanggal 12 Januari 2009 berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 1239/MENKES/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat melalui SK Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap No 127/DINKES/Per/I/2009 dikeluarkanlah Surat Ijin Praktek Perawat kepada Aris Nur Rahmat AMd Kep An dan kepada Siti Rochana AMK.

Berbekal Surat Ijin Praktek Perawat inilah kemudian pemrakarsa senantiasa ingin berusaha mengembangkan pelayanannya kepada masyarakat dengan merangkul seluruh elemen yang terkait sehingga pada tanggal 24 Januari 2009 berdasarkan Peraturan Manteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 920/Menkes/Per/XII/86 tanggal 17 Desember 1986 dan Keputusan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor 1189 A/Menkes/SK/X/1999 tanggal 11 Oktober 1999 maka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap pada tanggal 24 Januari 2009 mengeluarkan ijin operasional berdirinya Balai Pengobatan “GRAHA AMANAH” yang tertuang  Nomor 54/DINKES/BP/I/2009 dengan Dr Heri Yuliadri sebagai penanggung jawabnya.

Dengan hidayah dan pertolongan Allah tepatnya pada bulan Oktober 2009, usaha untuk pengembangan fisik terus dilaksanakan dengan dibangunnya sebuah bangunan lantai 2 yang kelak akan direncanakan sebagai pengembangan pelayanan kesehatan masyarakat. Berkat Rahmat serta ijin-Nya pada acara Buka Bersama Masyarakat dan Pemberian Bingkisan Lebaran Untuk Janda Kurang Mampu dan Anak Berprestasi tepatnya di bulan suci Ramadhan 1431 H atau di malam takbiran Hari Raya Idul Fitri 1431 H (Hari Kamis 09 September 2010) maka sosialisasi sekaligus lounching bangunan baru Balai Pengobatan “GRAHA AMANAH” secara resmi dikenalkan kepada masyarakat.

Seiring dengan perkembangan dinamika regulasi pemerintah melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 028/Menkes/Per/I/2011 tentang Klinik, maka pemrakarsa terpanggil untuk menyambut dan memenuhi segenap peraturan yang ada sekaligus sebagai upaya kongkrit atas ekspektasi masyarakat akan pelayanan prima dan elegan dengan kemudian mendirikan sebuah Badan Hukum berupa Perseroan Komanditer dengan nama CV GRAHA AMANAH PUTRA MANDIRI dengan Akta Notaris Ratih Setyowati SH MKn Nomor 07 tertanggal 07 Mei 2011 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Cilacap No 139/2011/Pend/Not pada hari Senin 09 Mei 2011. Dengan badan hukum inilah, pemrakarsa hendak berusaha komitmen akan  kebutuhan kesehatan masyarakat dan bersama-sama membangun serta berkarya dalam mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Dan Alhamdulillah ijin operasional Klinik akhirnya terbit dengan telah diterbitkannya Surat Ijin Klinik Pratama Rawat Inap No 15/DINKES/Klinik. P. RI/IX/2011 oleh Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Cilacap pada hari Senin tanggal 19 September 2011.

Dalam perkembangannya kemitraan sebagai bagian dari perencanaan. Alhamdulillah pada tanggal 10 April 2012, terjalinlah Perjanjian Kerja Sama antara PT ASKES (Persero) Cabang Purwokerto dengan Klinik Graha Amanah tentang Pelayanan Rawat Jalan Tingkat Pertama Bagi Peserta ASKES Sosial PT ASKES (Persero) dengan no 060/KTR/VI.03/0412. Ini merupakan awal dari karya yang baik bersama masyarakat.

Berbagai kegiatan baik yang promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif telah dilaksanakan. 
Diantaranya adalah :
  1. Program Home Visite berkelanjutan
  2. Program Prolanis
  3. Pembentukan Graha Amanah Resti Club
  4. Senam Sehat
  5. Usaha Promotif / Pendidikan Kesehatan
  6. Usaha Preventif
  7. Upaya kuratif (pengobatan umum)
  8. Bekerjasama dalam Sistem Managed Care dan Sistem Informasi Manajemen PT. Askes (Persero)
  9. Menyampaikan Laporan Kunjungan Rujukan dan Laporan Pemantauan Status Kesehatan kepada PT Askes (Persero) Cabang Purwokerto paling lambat tanggal 3 pada bulan berikutnya setiap bulan
  10. Pengiriman laporan via email ke alamat kc-purwokerto@ptaskes.com terlebih dahulu dan hardcopy dikirim menyusul ke Kantor PT Askes (Persero) Cabang Purwokerto maksimal tanggal lima.Berusaha secara optimal sebagai gate keeper dengan mengendalikan rujukan maksimal 15 % kunjungan.

Selain bermitra dengan PT ASKES (Persero) Cabang Purwokerto, Klinik juga telah menjalin kemitraan dengan PT JAMSOSTEK (Persero) Cilacap dalam Pemberian Pelayanan Kesehatan Bagi Peserta Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Paket Dasar yang tertuang melalui Perjanjian Kerja Sama Nomor : Per / 42 /122012 tanggal 01 Desember 2012.
MAKSUD DAN TUJUAN 
BERDIRINYA KLINIK PRATAMA RAWAT INAP  “ GRAHA AMANAH “

Bertitik tolak dari Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 028/ MENKES/PER/I/2011  tanggal 04 Januari 2011 bahwa Klinik sebagai salah satu bentuk fasilitas pelayanan kesehatan dibutuhkan untuk terselenggaranya pelayanan kesehatan yang mudah diakses, terjangkau, dan bermutu dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Oleh karena itu disadari ataupun tidak, bahwa peraturan tersebut harus kita sambut agar peran serta  masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan swasta secara mandiri, terjangkau dan dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan Sistim Kesehatan Nasional. Dan dalam kenyataannya memang kehadiran usaha - usaha kesehatan swasta ternyata masih dibutuhkan oleh masyarakat yang dilaksanakan oleh perorangan, Yayasan maupun oleh Badan-badan lain. Mengingat hal tersebut diatas, maka kami sebagai anggota masyarakat bermaksud ikut berupaya dan berpartisipasi dalam bidang pelayanan kesehatan melalui pendirian Klinik Pratama Rawat Inap “ GRAHA AMANAH “ yang berlokasi di Jalan Rajawali No 328 RT 03 / II Karang Rena Kecamatan Maos Kabupaten Cilacap, yang bertujuan :

a.    Tujuan Umum :
  1. Klinik Pratama Rawat Inap “ GRAHA AMANAH “ ingin berpartisipasi dan berperan dalam bidang pelayanan kesehatan terutama dibidang pelayanan dasar ( Pengobatan Umum ).
  2. Memberikan dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang melaksanakan fungsi sosialnya serta turut aktif dalam tercapainya tujuan pembangunan kesehatan.

b.    Tujuan Khusus :
  1. Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat terutama masyarakat di wilayah Kecamatan Maos dan sekitarnya dalam bentuk pelayanan kesehatan dasar.
  2. Melaksanakan upaya pelayanan kesehatan paripurna dan turut aktif melaksanakan pembinaan peran serta masyarakat dilingkungannya.
  3. Melaksanakan sistim informasi timbal balik dengan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah ( dalam hal ini Puskesmas setempat ) dengan cara menjalin sistim rujukan, melaporkan kejadian-kejadian luar biasa ( KLB ) serta terlibat aktif dalam sistim pencatatan dan pelaporan terpadu ( SP2TP ).
KEGIATAN – KEGIATAN

Berdasarkan Permenkes No 028/Menkes/Per/I/2011 Pasal 4 Bab II ayat 1 bahwa kegiatan Klinik Pratama Rawat Inap “ GRAHA AMANAH “merupakan penjabaran dari kegiatan pada lingkup pelayanan kesehatan dasar dan prinsip pelayanan kesehatan paripurna yang meliputi pelayanan promotif, preventi, kuratif, dan rehabilitatif.




PROGRAM
PELAYANAN YANG DILAKSANAKAN :


EMERGENCY GAWAT / DARURAT 24 JAM
BREATHING MANAJEMEN DENGAN NEBULIZER DAN OKSIGEN
PELAYANAN RAWAT JALAN (POLIKLINIK)
PELAYANAN RAWAT INAP
KHITAN CENTER
HOME CARE
KLINIK KELUARGA BERENCANA (KK)
PELAYANAN FARMASI
PELAYANAN LABORATORIUM
PELAYANAN FISHIOTHERAPY SINAR INFRA PHIL
AMBULANCE 24 JAM
GIZI



FASILITAS :
MUSHOLA AL FATTAH
PELAYANAN PPOB (PEMBAYARAN LISTRIK, PULSA, PDAM OL LINE)



Demikian profile ini dibuat. Kami menyadari bahwa Klinik Pratama Rawat Inap “ GRAHA AMANAH “ yang merupakan bagian dari expresi dan visualisasi peran serta swasta dalam pembangunan kesehatan di wilayah Kecamatan Maos berharap bisa menghasilkan daya ungkit yang besar untuk masyarakat dalam meningkatkan kemampuan dalam mencapai derajat kesehatan secara optimal. Dan akhirnya kepada Allah Ta’ala jualah kami menyerahkan keikhlasan dan kesuksesan usaha ini.   

Minggu, 14 Juli 2013

PROLANIS (PENGELOLAAN PENYAKIT KRONIS) - GRAHA AMANAH RESTI CLUB

  
"....Raih Sehat dan bergembira bersama Program PROLANIS...."  



Senam Sehat
Jalan Sehat
Pendidikan Kesehatan (Konseling)
Pendidikan Mental Spiritual
Pemeriksaan Kesehatan Berkala

Pemeriksaan Penunjang Berkala(Laboratorium)

Home Visite (Kunjungan Rumah
Seperti yang telah diketahui Penyakit degeneratif telah menjadi epidemi yang meluas diberbagai negara seluruh dunia. Akibatnya hampir 17 juta orang meninggal lebih awal setiap tahun. Indonesia sebagai negara berkembang merupakan salah satu negara dengan prevalensi penyakit degeneratif yang meningkat paling cepat. Sehingga paradigma pembangunan kesehatan harus dirubah dari pemberantasan penyakit menjadi investasi sumber daya manusia. Salah satu langkah yang konkrit adalah dengan mengembangkan program-program yang berkaitan erat dengan karakteristik penyakit pada kelompok tertentu yang beresiko tinggi sehingga menjadilah sumber daya manusia yang bermanfaat dan aman dari kecenderungan gangguan yang mengancam jiwa.
Sebagai bentuk komitmen nyata terhadap mitra dan pelanggan atas kesetiaannya, maka Klinik Pratama Rawat Inap “ GRAHA AMANAH “ sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan terkemuka yang beralamat di Jl Rajawali No 328 RT 03/II Karang Rena Maos Cilacap merasa ikut terpanggil secara aktif dalam memfasilitasi berbagai kegiatan Dokter Keluarga PT ASKES (Persero) Cabang Purwokerto dengan mengadakan program dan layanan bertajuk :

“  Raih Sehat dan bergembira bersama Program PROLANIS.....

Berkaitan dengan hal tersebut Klinik Pratama Rawat Inap “ Graha Amanah “  sebagai mitra dan provider PPK PT ASKES (Persero) Cabang Purwokerto tentu akan sangat berupaya mensukseskan program yang dirancang dengan format promotif dan preventif yang terintegrasi dan rancangan model pengelolaan penyakit bagi peserta penderita penyakit kronis yang disebut PROLANIS (Program Pengelolaan Penyakit Kronis). Program inipun diharapkan akan meningkatkan kualitas hidup peserta ASKES yang menderita penyakit kronis melalui pengelolaan penyakit secara spesifik dan terintegrasi yang sudah barang tentu memerlukan partisipasi dari peran serta aktif peserta, Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dan PT ASKES (Persero) Cabang Purwokerto.

Dengan iringan do’a semoga kehadiran Dokter Keluarga di Klinik Pratama Rawat Inap “ GRAHA AMANAH “ mampu sebagai pilihan dalam upayanya mendapat pelayanan kesehatan bagi para peserta PT ASKES (Persero) Cabang Purwokerto.

TUJUAN
  1. Menjadi media yang baik dalam interaksi dan ajang silaturahmi antara Klinik Pratama Rawat Inap “ GRAHA AMANAH ” dengan peserta Keluarga Binaan Dokter Keluarga dan segenap anggota perhimpunan “ Graha Amanah Resti Club “.
  2. Mengenalkan lebih dekat program Klinik Pratama Rawat Inap “ GRAHA AMANAH ”  bekerja sama ASKES dalam bidang pelayanan kesehatan peserta.
  3. Tercipta anggota yang dapat hidup sehat dan mandiri dengan diabetes/hipertensi
  4. Tempat berbagi rasa saling menyemangati antar sesama anggota
  5. Tempat mendapat informasi yang terpercaya berkaitan dengan diabetes/hipertensi
  6. Terselenggaranya kegiatan bersama secara positif


INFO LEBIH LANJUT

HUBUNGI :

KLINIK PRATAMA RAWAT INAP GRAHA AMANAH
Jl. Rajawali No 328 RT 003 RW 002 Karang Rena - Maos - Cilacap
Jawa Tengah - Indonesia 53274
Telp. (0282) 5501687, 5535417, 5501288 Mobile : +6281553155714
e-mail : graha_amanah@ymail.com -  website : www.graha-amanah.web.id