Minggu, 25 Juli 2010

Jadikan Istirahatmu Bernilai di Sisi Allah

Penulis : Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi

Dinukil dari www.asysyariah.com

Dalam Islam, setiap amalan, sekecil apapun, bisa bernilai ibadah. Beristirahat, misalnya. Ia tak sekedar rutinitas melepas lelah setelah seharian beraktivitas. Namun bisa menjadi pohon yang berbuah pahala. Bagaimana amalan yang nyata-nyata telah menjadi kebutuhan kita sehari-hari ini bisa bernilai ibadah? Simak bahasan berikut!

Hidup memang sebuah pengorbanan dan perjuangan. Berjuang dan berkorban adalah sesuatu yang melelahkan dan memberatkan, dan ketika lelah tentu butuh ketenangan dan istirahat. Namun tidak semua orang bisa dengan mudah mendapatkan ini semua. Ada yang hanya bisa beristirahat satu atau dua jam saja setiap harinya. Hidupnya dipenuhi dengan aktivitas dan kesibukan yang luar biasa. Sehingga, kesempatan beristirahat merupakan sebuah kenikmatan dan kasih sayang Allah k yang mesti kita syukuri.
Namun di masa kini, manusia dihadapkan pada pola hidup yang menuhankan materi. Hidup di dunia seolah-olah hanya untuk mencari uang atau materi. Manusia diposisikan sebagai alat produksi yang senantiasa dituntut produktif. Dengan kata lain, segala aktivitas harus ada timbal baliknya secara materi. Pekerjaan adalah no. 1, sementara keharmonisan keluarga, interaksi sosial dengan masyarakat, adalah nomor kesekian. Walhasil, manusia pun tak ubahnya seperti robot. Ini jelas menyelisihi fitrah manusia. Allah ta'ala menjelaskan di dalam Al-Qur`an:

وَخُلِقَ اْلإِنْسَانُ ضَعِيْفًا

“Dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.” (An-Nisa`: 28)
As-Sa’di t mengatakan: “(Allah k menginginkan atas kalian keringanan) artinya kemudahan dalam segala perintah dan larangan-Nya atas kalian. Kemudian bila kalian menjumpai kesulitan dalam beragama maka Allah k telah menghalalkan bagi kalian sesuatu yang kalian butuhkan seperti bangkai, darah dan selain keduanya bagi orang yang mudhthar1, dan seperti bolehnya bagi orang yang merdeka menikahi budak wanita dengan syarat di atas. Hal ini sebagai bukti sempurnanya kasih sayang Allah , kebaikan yang mencakup ilmu dan hikmah-Nya atas kelemahan manusia (yaitu kelemahan) dari semua sisi. Lemah tubuh, lemah niat, lemah kehendak, lemah keinginan, lemah iman, dan lemah kesabaran.

Berdasarkan semua ini sangat sesuai jika Allah meringankan atas mereka perkara yang dia tidak sanggup untuk melakukannya dan segala apa yang tidak sanggup dipenuhi oleh keimanannya, kesabaran, dan kekuatan dirinya.”
Dan karena kelemahan itu, Allah Maha Bijaksana di dalam menentukan waktu kehidupan bagi mereka. Allah k menjadikan malam dan siang memiliki hikmah tersendiri. Dan adanya malam dan siang itu menunjukkan kasih sayang Allah k terhadap hamba-hamba-Nya dan manakah dari hamba-Nya yang mau mensyukurinya?

Allah berfirman:

فَالِقُ اْلإِصْبَاحِ وَجَعَلَ اللَّيْلَ سَكَنًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ حُسْبَانًا ذَلِكَ تَقْدِيْرُ الْعَزِيْزِ الْعَلِيْمِ

“Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Maha perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am: 98)

هُوَالَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ لِتَسْكُنُوا فِيْهِ وَالنَّهَارَ مُبْصِرًا إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لآيَاتِ لِقَوْمِ يَسْمَعُوْنَ

“Dialah yang telah menjadikan malam bagi kalian supaya kalian beristirahat padanya dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kalian mencari karunia Allah k). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah k) bagi orang-orang yang mendengar.” (Yunus: 67)

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ لِبَاسًا وَالنَّوْمَ سُبَاتًا وَجَعَلَ النَّهَارَ نُشُوْرًا

“Dialah yang menjadikan untuk kalian malam sebagai pakaian dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha.” (Al-Furqan: 47)

وَمِنْ رَحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيْهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

“Dan karena rahmat-Nya Dia jadikan untuk kalian malam dan siang, supaya kalian beristirahat pada malam itu dan supaya kalian mencari sebahagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kalian bersyukur kepada-Nya.” (Al-Qashash: 73)
Dan masih banyak lagi ayat yang semakna dengan di atas. Semuanya menunjukkan betapa besar kasih sayang Allah k terhadap hamba-hamba-Nya dan bahwa Allah k telah melimpahkan kepada mereka segala yang mereka butuhkan dalam pengabdian dan ibadah kepada Allah k. Namun mengapa kebanyakan manusia ingkar kepada-Nya?

Dan kita semua berkeinginan agar tidur sebagai salah satu bentuk istirahat bukan hanya sebagai ketundukan kepada sunnatullah semata. Kita juga ingin agar tidur kita mendapatkan nilai ibadah tambahan dari sisi Allah k. Allah k melalui lisan Rasul-Nya Muhammad n telah mengajarkan kepada kita beberapa adab di dalam tidur.

Berwudhu Sebelum Tidur

Termasuk Sunnah Rasulullah n adalah berwudhu sebelum tidur. Hal ini bertujuan agar setiap muslim bermalam dalam keadaan suci, sehingga bila ajalnya datang menjemput diapun dalam keadaan suci. Dan sunnah ini menggambarkan bentuk kesiapan seorang muslim untuk memenuhi panggilan kematian dalam keadaan suci hatinya. Dan jelas bahwa kesucian hati lebih diutamakan daripada kesucian badan. Dan sunnah ini juga akan mengarahkan pada mimpi yang baik dan menjauhkan diri dari permainan setan yang akan menimpanya. (Lih. Fathul Bari, 11/125 dan Syarah Shahih Muslim, 9/32)
Tentang sunnah ini, Rasulullah n telah menjelaskan dalam sabda beliau:

عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوْئَكَ لِلصَّلاَةِ...

Dari Al-Bara` bin ‘Azib z, berkata: “Rasulullah n bersabda kepadaku: ‘Apabila kamu mendatangi tempat tidurmu, maka berwudhulah kamu sebagaimana wudhumu untuk shalat.”2
Al-Imam Al-Bukhari di dalam Shahih beliau menulis sebuah bab: “Apabila Bermalam (Tidur) dalam Keadaan Suci”. Al-Hafizh Ibnu Hajar t mengatakan: “Sungguh terdapat hadits-hadits yang menjelaskan makna ini yang tidak memenuhi syarat Al-Bukhari dalam Shahih-nya, di antaranya hadits Mu’adz z:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَبِيْتُ عَلَى ذِكْرٍ طَاهِرًا فَيَتَعَارُُُّ مِنَ اللَّيْلِ فَيَسْأَلُ اللهَ خَيْرًا مِنَ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ

“Tidaklah seorang muslim tidur di malam hari dengan berdzikir dan dalam keadaan suci, kemudian dia terbangun dari tidurnya di malam hari kemudian dia meminta kepada Allah kebaikan dunia dan akhirat melainkan Allah akan memberikan itu kepadanya.”3 (lih. Fathul Bari, 11/124)

Dan beliau mengatakan: “Perintah (untuk berwudhu di sini) adalah sunnah (bukan wajib).” Beliau mengatakan juga: “At-Tirmidzi mengatakan: ‘Tidak ada di dalam hadits-hadits penyebutan wudhu ketika tidur melainkan di dalam hadits ini’.” (lih. Fathul Bari, 11/125)

Al-Imam An-Nawawi mengatakan: “Di dalam hadits ini terdapat tiga sunnah yang penting, namun bukan wajib. Salah satu di antaranya adalah berwudhu ketika ingin tidur. Dan bila dia dalam keadaan berwudhu maka cukup baginya (dalam melaksanakan sunnah tersebut) karena yang dimaksud adalah (tidur) dalam keadaan suci.” (Syarah Shahih Muslim, 9/32)

Demikianlah sunnah yang tidak ditinggalkan oleh Rasulullah n ketika hendak tidur, yang semestinya kita sebagai muslim memperhatikannya. Abdullah bin ‘Abbas c bercerita:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَقَضَى حَاجَتَهُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ نَامَ

“Bahwa Rasulullah n terjaga di suatu malam lalu beliau menunaikan hajatnya dan kemudian membasuh wajah dan tangannya lalu tidur.”4

Mengibas (Membersihkan) Tempat Tidurnya

Satu dari sekian sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah n berkaitan dengan adab tidur adalah mengibas tempat tidur. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi sesuatu yang membahayakan diri seperti binatang berbisa, baik ular, kalajengking, dan sebagainya. Ini dilakukan tidak dengan tangan langsung, supaya terhindar dari sesuatu yang mengotori sekiranya terdapat najis atau kotoran. (Lih. Syarah Shahih Muslim, 9/38 dan Fathul Bari, 11/143)
Rasulullah n bersabda:

إِذَا أَوَى أَحَدُكُمْ إِلَى فِرَاشِهِ فَلْيَنْفُضُ فِرَاشَهُ بِدَاخِلَةِ إِزَارِهِ فَإِنَّهُ لاَيَدْرِي مَا خَلَفَهُ عَلَيْهِ

“Apabila salah seorang dari kalian beranjak menuju tempat tidurnya maka hendaklah dia mengibas (membersihkan) tempat tidurnya karena dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.”5

فَإِنَّهُ لاَيَدْرِي مَا خَلَفَهُ عَلَيْهِ

“Dia tidak mengetahui apa yang terjadi kemudian” artinya, kata Al-Imam At-Thibi: “Dia tidak mengetahui apa yang akan terjatuh di ranjangnya berupa tanah, kotoran, atau serangga bila dia meninggalkannya.” (Fathul Bari, 11/144)
Ibnu Baththal mengatakan: “Di dalam hadits ini terdapat adab yang besar dan telah disebutkan hikmahnya dalam hadits, yaitu dikhawatirkan sebagian serangga yang berbahaya bermalam di tempat tidurnya dan mengganggunya.

Al-Qurthubi mengatakan: “Diambil faedah dari hadits ini bahwa sepantasnya bagi orang yang akan tidur untuk mengibas tempat tidurnya karena dikhawatirkan terdapat sesuatu yang basah tersembunyi atau selainnya.”

Ibnul ‘Arabi mengatakan: “Di dalam hadits ini terdapat peringatan dan (anjuran) agar seseorang mengetahui sebab-sebab tertolaknya taqdir yang jelek. Dan hadits ini sama dengan hadits: “Ikatlah ontamu kemudian bertawakkal.” (lihat Fathul Bari, 11/144)

Tidur di Atas Lambung Sebelah Kanan

Kesempurnaan Islam adalah sebuah keistimewaan yang diberikan kepada umat Rasulullah n dan menunjukkan keutamaan mereka atas umat-umat terdahulu. Sungguh merugi bila akal, perasaan, adat istiadat, ajaran nenek moyang dijadikan sebagai hakim atas kesempurnaannya.

Segala perintah, larangan dan bimbingan yang ada di dalamnya adalah demi kemaslahatan manusia. Akan tetapi berapa banyak dari mereka yang mau menerima bimbingan? Yang ingkar lebih banyak daripada yang beriman, dan yang menentang lebih banyak daripada yang taat, dan yang menolak lebih banyak dari yang menerima.
Hikmah yang terkandung dalam bimbingan Rasulullah n untuk tidur di atas lambung kanan adalah lebih cepat untuk terjaga (bangun), jantung bergantung ke arah sebelah kanan sehingga tidak menjadi berat bila ketika tidur.

Ibnul Jauzi berkata: “Cara seperti ini sebagaimana telah dijelaskan ilmuwan-ilmuwan kedokteran sangat berfaedah bagi badan. Mereka mengatakan: ‘Mereka mengawali sesaat tidur di atas lambung sebelah kanan, kemudian di atas lambung sebelah kiri karena tertidur. (Dengan cara) pertama akan menurunkan makanan, dan tidur di atas lambung kiri akan menghancurkannya dan dikarenakan hati (terkait dengan pekerjaan) lambung.” (Lih. Fathul Bari, 11/115)
Rasulullah bersabda:

ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ اْلأَيْمَنِ

“Lalu tidurlah di atas lambungmu yang kanan.”6

Meletakkan Tangan di Bawah Pipi
Tata cara ini dijelaskan oleh Hudzaifah ibnul Yaman c:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ مِنَ اللَّيْلِ وَضَعَ يَدَهُ تَحْتَ خَدِّهِ

“Adalah Rasulullah n apabila beliau tidur di malam hari, beliau meletakkan tangan beliau di bawah pipi.”7

Berdoa Sebelum Tidur

كَانَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ قَالَ: اللَّهُمَّ بِاسْمِكَ أَحْيَا وَبِاسْمِكَ أَمُوتُ

“Rasulullah n apabila akan tidur beliau berdoa: ‘Ya Allah, dengan menyebut nama-Mu aku hidup dan dengan menyebut namamu aku mati (tidur).”8

Membaca Dzikir-dzikir Tidur

Dzikir-dzikir tidur yang ada dan shahih riwayatnya dari Rasulullah n sangatlah banyak, dan buku-buku yang ditulis dalam masalah ini bertebaran di tengah kaum muslimin. Di antara dzikir-dzikir tersebut adalah:

a. Membaca ta’awwudz dan meniup telapak tangan lalu mengusapkannya ke seluruh anggota tubuh.
Hal ini berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ نَفَثَ فِي يَدَيْهِ وَقَرَأَ بِالْمُعَوِّذَاتِ وَمَسَحَ بِهِمَا جَسَدَهُ

“Adalah Rasulullah n apabila beliau akan tidur beliau meniup kedua tangan beliau dan membaca mu’awwidzat (ayat-ayat perlindungan) lalu mengusap dengan itu seluruh jasadnya.”

Apa yang dimaksud dengan ayat-ayat perlindungan? Dan bagaimana tatacaranya yang dipraktekkan Rasulullah ?

Telah dijelaskan dalam riwayat Abu Dawud (no. 5057) tentang yang dimaksud dengan doa perlindungan dan tatacaranya, yaitu:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهَا، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ ثُمَّ نَفَثَ فِيْهِمَا وَقَرَأَ فِيْهِمَا {قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ} وَ{قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ} وَ{قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ} ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ، يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ

“Dari ‘Aisyah, bahwa Nabi n apabila menuju tempat pembaringan pada setiap malam, beliau menghimpun kedua telapak tangan beliau kemudian meniupnya dan membaca Qul Huwallahu Ahad dan Qul A’udzubirabbil Falaq dan Qul A’udzubi Rabbi An-Nas kemudian dia mengusap seluruh tubuh beliau, dan beliau memulai dari kepala kemudian wajah dan bagian depan jasad dan beliau lakukan hal itu tiga kali.”10

b. Membaca takbir, tahmid dan tasbih 33 kali.
Al-Imam Al-Bukhari mengatakan:

حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ: حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنِ الْحَكَمِ: سَمِعْتُ ابْنَ أَبِي لَيْلَى قَالَ: حَدَّثَنَا عَلِيٌّ أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلاَمُ شَكَتْ مَا تَلْقَى مِنْ أَثَرِ الرَّحَا فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْيٌ. فَانْطَلَقَتْ فَلَمْ تَجِدْهُ فَوَجَدَتْ عَائِشَةَ فَأَخْبَرَتْهَا. فَلَمَّا جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ عَائِشَةُ بِمَجِيءِ فَاطِمَةَ، فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْنَا وَقَدْ أَخَذْنَا مَضَاجِعَنَا فَذَهَبْتُ لأَقُوْمَ فَقَالَ: عَلَى مَكَانِكُمَا. فَقَعَدَ بَيْنَنَا حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَ قَدَمَيْهِ عَلَى صَدْرِي، وَقَالَ: أَلاَ أُعَلِّمُكُمَا خَيْرًا مِمَّا سَأَلْتُمَانِي؟ إِذَا أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا تُكَبِّرَا أَرْبَعًا وَثَلاَثِيْنَ وَتُسَبِّحَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ وَتَحْمَدَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ

Muhammad bin Basysyar telah bercerita kepadaku: Ghundar telah menceritakan kepada kami: Syu’bah telah menceritakan kepada kami dari Al-Hakam: Aku telah mendengar Ibnu Abi Laila berkata: “‘Ali telah menceritakan kepadaku bahwa Fathimah mengeluhkan apa yang beliau dapati (berupa bekas pada tangan beliau) karena menumbuk (tepung). Kemudian dibawakan kepada Nabi n seorang tawanan dan aku segera mendatangi Nabi n. Akan tetapi aku tidak menjumpainya dan beliau menjumpai ‘Aisyah lalu Fathimah menceritakan (hajatnya) kepada ‘Aisyah. Ketika Rasulullah n datang, ‘Aisyah memberitahukan tentang kedatangan Fathimah kemudian Rasulullah n mendatangi kami sedangkan kami telah tidur. Lalu aku berusaha bangun, beliau berkata: “Tetaplah kalian di tempat kalian.” Lalu beliau duduk di antara kami, dan aku (kata Fathimah) merasakan dingin kedua kaki beliau yang diletakkannya di atas dadaku dan beliau bersabda: “Maukah aku ajarkan kepada kalian sesuatu yang lebih baik dari apa yang kalian minta kepadaku yaitu bila kalian akan tidur bertakbirlah 34 kali, bertasbih 33 kali, dan bertahmid 33 kali lebih baik bagi kalian dari pada memiliki pembantu (budak).”

c. Membaca doa di bawah ini:

عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ نَامَ عَلَى شِقِّهِ اْلأَيْمَنِ ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي إِلَيْكَ وَوَجَّهْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ. وَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ قَالَهُنَّ ثُمَّ مَاتَ تَحْتَ لَيْلَتِهِ مَاتَ عَلَى الْفِطْرَةِ

Dari Al-Bara` bin ‘Azib, berkata: Adalah Rasulullah n apabila beliau menuju tempat pembaringan, beliau tidur di atas lambung sebelah kanan kemudian berdoa: “Ya Allah, aku serahkan diriku kepada-Mu dan aku hadapkan wajahku kepada-Mu dan aku serahkan semua urusanku kepada-Mu dan aku bentangkan punggungku di hadapan-Mu dengan penuh harapan dan rasa takut dari-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan (meminta) keselamatan melainkan kepada-Mu, aku beriman kepada kitab yang Engkau telah turunkan dan Nabi yang Engkau telah utus”, dan Rasulullah n bersabda: “Barangsiapa mengatakannya lalu dia meninggal pada malam itu maka dia meninggal di atas fitrah.”

c. Membaca doa di bawah ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَوَى أَحَدُكُمْ إِلَى فِرَاشِهِ فَلْيَنْفُضْ فِرَاشَهُ بِدَاخِلَةِ إِزَارِهِ فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِي مَا خَلَفَهُ عَلَيْهِ، ثُمَّ يَقُولُ بِاسْمِكَ رَبِّ وَضَعْتُ جَنْبِي وَبِكَ أَرْفَعُهُ إِنْ أَمْسَكْتَ نَفْسِي فَارْحَمْهَا وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ

Dari Abu Hurairah z, berkata: “Rasulullah n bersabda: Apabila salah seorang dari kalian menuju tempat tidurnya, hendaklah dia mengibasnya dengan bagian dalam kainnya, karena dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi kemudian. Lalu dia berdoa: ‘Dengan menyebut nama-Mu wahai Rabb, aku meletakkan lambungku dan karena-Mu pula aku mengangkatnya dan jika Engkau mencabut ruhku maka rahmatilah dia, dan jika Engkau melepaskannya (untuk hidup) maka jagalah dia sebagaimana Engkau menjaga hamba-hamba-Mu yang shalih’.”12
Wallahu a’lam.

1 Orang yang sangat membutuhkan dan bila dia tidak melakukannya niscaya akan binasa, seperti orang yang bepergian sementara bekalnya habis di perjalanan dan dia dalam keadaan sangat lapar yang dapat mengancam jiwanya (jika dibiarkan). Maka agama memperbolehkan memakan segala apa yang didapatinya seperti bangkai, darah, babi, anjing dan sebagainya untuk memenuhi kebutuhannya di saat itu saja. Ibnu Atsir di dalam kitab An-Nihayah (3/83) menjelaskan: “Sesungguhnya dihalalkannya bangkai bagi orang yang mudhthar hanyalah sebatas memakan apa yang akan menutup laparnya di pagi atau malam dan tidak boleh menjadikannya bekal antara keduanya (mempersiapkan di pagi hari sampai malam, pent.)
2 HR. Al-Bukhari no. 6311 dan Muslim no. 2710
3 HR. Abu Dawud di dalam Sunan beliau no. 5042 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud no 5042, Al-Misykat no. 1215 dan di dalam kitab At-Ta’liq Ar-Raghib 1/207-208.
4 HR. Al-Bukhari no. 6316 dan Abu Dawud no. 5043 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 4217.
5 HR. Al-Bukhari no. 6320 dan Muslim no. 2714
6 HR. Al-Bukhari no. 6311 dan Muslim no. 2710
7 HR. Al-Bukhari no. 6314
8 HR. Muslim (no. 2711) dan Ahmad (no.17862) dari shahabat Al-Bara’ bin ‘Azib z. Dari shahabat Hudzaifah ibnul Yaman c dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (no.1324) dengan lafadz yang berbeda dengan lafadz Al-Imam Muslim:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَخَذَ مَضْجَعَهُ وَضَعَ يَدَهُ تَحْتَ خَدِّهِ ثُمَّ يُقُوْلُ: اللَّهُمَّ بِاسْمِكَ أَمُوْتُ وَأَحْيَا

Dan yang semakna dengan hadits ini diriwayatkan dari shahabat Abu Dzar z, dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (no. 6325).
9 HR. Al-Bukhari no. 6319, Muslim, Abu Dawud no. 5057, Ibnu Majah, dan Ahmad no. 23708 dari shahabat ‘Aisyah x.
10 Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 4228
11 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 6315 dan Muslim no. 2710
12 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 6320 dan Muslim no. 2714, lafadz ini adalah lafadz Al-Bukhari

Baktiku kepada Kedua Orang Tua

Penulis : Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi

Dinukil dari www.asysyariah.com

Bagi seorang anak, orang tua bisa menjadi ladang untuk menggali pahala akhirat sebanyak-banyaknya. Yaitu dengan cara berbakti, menghormati, mengasihi, dan juga merawatnya ketika orang tua mencapai usia lanjut. Namun sayang, tidak banyak yang mengetahui betapa besar nilai kebaktian seorang anak kepada orang tua.

Dalam edisi yang lalu telah digambarkan bagaimana besar hak kedua orang tua atas diri anak dikarenakan besarnya pengorbanan mereka terhadap anak-anaknya. Sehingga karena besarnya hak tersebut, Allah Subhanahu wa Ta'ala meletakkan hak keduanya setelah hak-Nya dan hak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam firman-Nya:

وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“Sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (An-Nisa: 36)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu mengatakan: “Ayat ini merupakan dalil bahwa kedudukan hak orang tua adalah setelah hak Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jika dikatakan mana hak Rasul? Saya katakan: Pada hak Allah Subhanahu wa Ta'ala sudah tercakup hak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebab ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak bisa diwujudkan melainkan dengan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Al-Qaulul Mufid, 1/37)

Siapakah yang dimaksud kedua orang tua di dalam ayat tersebut?

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menjelaskan: “(Kata) walidain mencakup ibu, bapak dan seterusnya (garis keturunan) ke atas. Akan tetapi kepada ibu dan bapak yang lebih (ditekankan). Dan semakin dekat hubungannya, maka (penekanan) untuk berbuat baik juga lebih kuat.” (Al-Qaulul Mufid, 1/37)

Untukmu, Wahai Orang Tuaku 1. Durhaka kepadamu berdua termasuk dosa besar dan mengakibatkan masuk ke dalam neraka. Diriwayatkan dari Abud Darda` radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَاقٌّ وَلاَ مُؤْمِنٌ بِسِحْرٍ وَلاَ مُدْمِنُ خَمْرٍ وَلاَ مُكَذِّبٌ بِقَدَرٍ

“Tidak akan masuk surga orang yang durhaka, orang yang beriman dengan sihir, orang yang kecanduan khamr, dan orang yang mendustakan taqdir.”

1 Diriwayatkan juga dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ اْلأُمَّهَاتِ وَوَأْدَ الْبَنَاتِ وَمَنْعًا وَهَاتِ وَكَرِهَ لَكُمْ قِيْلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ

“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas kalian kedurhakaan kepada ibu-ibu kalian, mengharamkan mengubur hidup anak-anak wanita, bakhil, rakus dan Allah membenci kalian untuk mengatakan katanya-katanya, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta.”

2 Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu 'anhu:

سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْكَبَائِرِ، قَالَ: اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَشَهَادَةُ الزُّوْرِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang dosa-dosa besar, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa, dan persaksian palsu’.”

3 Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiyallahu 'anhu: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ. وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: أَلاَ وَقَوْلُ الزُّوْرِ. قَالَ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَتَ

“Maukah aku beritahukan kepada kalian dosa-dosa yang paling besar?” Beliau mengulanginya tiga kali. Lalu mereka berkata: “Iya, wahai Rasululah.” Beliau bersabda: “Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua.” Beliau lalu duduk yang tadinya ittika` seraya mengatakan: “Ketahuilah (termasuk juga) persaksian palsu.” Abu Bakrah berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulanginya sehingga kami mengatakan: ‘Duhai seandainya beliau berhenti’.”

4 Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

الْكَبَائِرُ اْلإِشْرَاكُ بِاللهِ وَعُقُوْقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَالْيَمِيْنُ الْغَمُوْسُ

“Dosa-dosa besar adalah menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa, dan sumpah palsu.”

5 Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوْبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِي اْلآخِرَةِ مِثْلُ الْبَغْيِ وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ

“Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan adzabnya oleh Allah di dunia, bersamaan dengan adzab yang Allah simpan untuk di akhirat nanti, daripada perbuatan dzalim dan memutuskan hubungan silaturrahim.”6

2. Mencela mereka berdua termasuk kedurhakaan dan perbuatan yang mendatangkan kutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيْمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيْرًا

“Dan apabila keduanya telah lanjut usia atau salah satu dari keduanya, maka janganlah kamu mengatakan kepada mereka berdua “ah” dan jangan kamu menghardiknya, dan katakanlah ucapan yang baik. Rendahkan sayap kehinaanmu di hadapan keduanya dan katakanlah: ‘Wahai Rabbku, berikanlah kepada keduanya kasih sayang sebagaimana dia berdua telah memeliharaku semenjak kecilku’.” (Al-Isra`: 24)

Diriwayatkan dari Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah, ia berkata:

كُنْتُ عِنْدَ عَلِيٍّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ: مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسِرُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: فَغَضِبَ وَقَالَ: مَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسِرُّ إِلَيَّ شَيْئًا يَكْتُمُهُ النَّاسَ غَيْرَ أَنَّهُ قَدْ حَدَّثَنِي بِكَلِمَاتٍ أَرْبَعٍ. قَالَ: فَقَالَ: مَا هُنَّ يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ؟ قَالَ: قَالَ: لَعَنَ اللهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَهُ وَلَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ وَلَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا وَلَعَنَ اللهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ اْلأَرْضِ

“Di saat saya berada di sisi ‘Ali bin Abu Thalib, seseorang mendatangi beliau dan berkata: “Apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah merahasiakan sesuatu kepadamu?” (‘Amir bin Watsilah) berkata: Lalu ‘Ali marah dan berkata: “‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah merahasiakan sesuatupun kepadaku yang beliau sembunyikan dari orang lain, hanya saja beliau menyampaikan empat kalimat kepadaku.” Lalu orang itu berkata: “Apa keempat perkara itu, wahai Amirul Mukminin?” ‘Ali berkata: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat orang yang melindungi pelaku bid’ah dan Allah melaknat orang yang mengubah patok bumi’.”

7 Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiyallahu 'anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَهَلْ يَشْتُمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: نَعَمْ، يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ

“Termasuk dosa besar adalah seseorang mencaci kedua orang tuanya.” (Para shahabat) berkata: ‘Ya Rasulullah, apakah seseorang (tega) mencaci kedua orang tuanya?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Iya. (Yaitu dengan cara) dia mencaci bapak orang lain lalu orang lain itu membalas mencaci bapaknya, dia mencaci ibu orang lain kemudian orang itu balas mencaci ibunya.”8

3. Doa engkau berdua wahai ibu dan bapakku, cepat diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Maka doakanlah agar hidayah Allah Subhanahu wa Ta'ala tercurah padaku dan janganlah berdoa kutukan untukku.

Hal ini telah diperingatkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala melalui lisan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah sabdanya:

لاَ تَدْعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ وَلاَ تَدْعُوا عَلَى أَوْلاَدِكُمْ وَلاَ تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ لاَ تُوَافِقُوا مِنَ اللهِ سَاعَةً يُسْأَلُ فِيْهَا عَطَاءٌ فَيَسْتَجِيْبُ لَكُمْ

“Jangan kalian berdoa kejelekan untuk diri kalian, dan jangan berdoa kejelekan untuk anak-anak kalian, dan jangan berdoa kejelekan untuk harta benda kalian, karena tidaklah kalian bertemu dengan waktu yang mustajab (bila minta kepada Allah pasti akan dikabulkan) melainkan Allah mengabulkan doa kalian.”

8 Bila engkau tersakiti oleh putra putrimu, janganlah segera berdoa kejelekan buat mereka. Karena doa kedua orang tua termasuk sederetan doa yang mustajab, sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah sabda beliau dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu:

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ؛ دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ

“Tiga doa yang mustajab (dikabulkan) dan tidak ada keraguan padanya (yaitu) doa orang tua, doa orang yang sedang safar dan doa orang yang terdzalimi.”9

4. Bila engkau telah tiada, baktiku akan sampai kepadamu. Hal ini telah di jelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabda-sabdanya berikut: Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ؛ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ

“Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya melainkan tiga perkara (yaitu) shadaqah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya, dan anak yang shalih yang mendoakan (kebaikan) baginya.”

10 Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma:

أَنَّ رَجُلاً قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ فَقَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَإِنَّ لِي مَخْرَفًا وَإِنِّي أُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا

“Seseorang berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: ‘Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia. Apakah akan bermanfaat baginya jika aku bersedekah atas namanya?’ Beliau menjawab: ‘Iya.’ Orang itu berkata: ‘Sesungguhnya aku memiliki kebun yang sudah berbuah dan saya mengangkatmu menjadi saksi bahwa aku telah menyedekahkannya untuk ibuku.”11

5. Jika engkau berdua kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka dengarlah nasihat dari Rabbku kepadamu!

وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“Dan Kami telah wasiatkan kepada manusia agar berbuat baiklah kepada kedua orang tua, dan jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan-Ku dan kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, maka janganlah kamu menaati keduanya dan kepadaku kalian akan dikembalikan dan Aku akan mengabarkan kepada kalian apa yang telah kalian perbuat.” (Al-’Ankabut: 8)

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا

“Dan jika keduanya memaksamu untuk menyekutukan-Ku sedangkan kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, maka janganlah kalian menaati keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik.” (Luqman: 15)
Diriwayatkan dari Asma` bintu Abu Bakr radhiyallahu 'anhuma, dia berkata:

قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قُلْتُ: وَهِيَ رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُ أُمِّي؟ قَالَ: نَعَمْ، صِلِي أُمَّكِ

“Ibuku datang menjengukku dan dia dalam keadaan musyrik di masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku mengatakan: ‘Dia sangat berkeinginan (untuk bertemu denganku), apakah aku boleh menyambung hubungan dengan ibuku?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Iya, sambunglah hubungan dengan ibumu’.”12 Ummu Abdillah Al-Wadi’iyyah (putri Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wad’i) berkata: “Jika seorang wanita memiliki salah satu dari mahramnya atau keluarganya kafir, dia boleh berbuat baik kepadanya. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

لاَ يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِي الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

“Allah tidak melarang kalian dari orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian dalam agama dan tidak mengusir kalian dari negeri-negeri kalian untuk kalian berbuat baik kepada mereka dan berbuat adil terhadap mereka. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.” (Al-Mumtahanah: 8) Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan: “Allah  tidak melarang kalian untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi kalian dalam agama, seperti kaum wanita dan orang-orang lemah dari mereka; أَنْ تَبَرُّوْهُمْ (untuk kalian berbuat baik kepada mereka) dan وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ (kalian berbuat adil).” Lalu beliau menyebutkan hadits Asma` bintu Abu Bakr di atas. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/363) Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan tentang orang kafir yang kita tidak boleh berbuat baik kepada mereka:

إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِي الدِّيْنِ وَأَخْرَجُوْكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ

“Sesungguhnya Allah melarang kalian (untuk berbuat baik) kepada orang-orang kafir yang memerangi kalian dalam agama dan mengeluarkan kalian dari negeri-negeri kalian dan mereka dengan terang-terangan mengusir kalian untuk kalian berloyalitas kepada mereka. Dan barangsiapa yang berloyalitas kepada mereka maka merekalah orang-orang yang berbuat aniaya.” (Al-Mumtahanah: 9)

Ibnu Katsir menjelaskan: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang kalian dari berloyalitas kepada mereka yang memancangkan permusuhannya kepada kalian, memerangi kalian, dan mengusir kalian dengan terang-terangan. Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang kalian mencintai mereka, dan memerintahkan agar kalian memerangi mereka.” Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu berkata: “Telah turun empat ayat dalam Al-Qur`an berkaitan denganku: Pertama: Ibuku bersumpah tidak akan makan dan minum sampai aku meninggalkan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Maka turunlah ayat:

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا

“Dan jika kedunya memaksamu untuk menyekutukan Aku sedangkan kamu tidak memiliki ilmu tentangnya maka janganlah kalian menaati keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik.” (Luqman: 15)
Kedua: Sesungguhnya dulu aku pernah mengambil pedang yang sangat aku inginkan, lalu aku berkata: “Ya Rasulullah, berikan aku ini.” Lalu turunlah:

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ اْلأَنْفَالِ

“Mereka akan meminta kepadamu harta rampasan perang.” (Al-Anfal: 1)
Ketiga: Aku sakit, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku. Lalu aku mengatakan: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku ingin membagikan hartaku. Apakah aku boleh berwasiat dengan setengah hartaku?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak.” Lalu aku berkata: “Sepertiganya?” Lalu beliau diam, maka sepertiga (harta) setelah itu boleh (diwasiatkan).

Keempat: Sesungguhnya aku minum khamr bersama sekelompok Anshar. Lalu seseorang dari Anshar memukul hidungku dengan rahang unta. Lalu aku mendatangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, setelah itu Allah menurunkan ayat tentang hukum haramnya khamr.13

6. Jika engkau mati dalam keadaan musyrik, engkau tidak mendapatkan baktiku untuk mendoakanmu. Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan dalam sebuah firman-Nya:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِيْنَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِيْنَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيْمِ

“Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memintakan ampun bagi kaum musyrikin walaupun mereka adalah kerabat yang paling dekat setelah jelas baginya bahwa mereka menjadi penghuni neraka Jahim (mati dalam keadaan kafir).” (At-Taubah: 113)

Cerita Indah nan Penuh Pelajaran pada diri Nabi Ibrahim dan Bapaknya
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيْقًا نَبِيًّا. إِذْ قَالَ لأَبِيْهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لاَ يَسْمَعُ وَلاَ يُبْصِرُ وَلاَ يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا. يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا. يَا أَبَتِ لاَ تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا. يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُوْنَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا. قَالَ أَرَاغِبٌ أَنْتَ عَنْ آلِهَتِي يَا إِبْرَاهِيْمُ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ لأَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا. قَالَ سَلاَمٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا. وَأَعْتَزِلُكُمْ وَمَا تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ وَأَدْعُو رَبِّي عَسَى أَلاَّ أَكُوْنَ بِدُعَاءِ رَبِّي شَقِيًّا. فَلَمَّا اعْتَزَلَهُمْ وَمَا يَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ وَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوْبَ وَكُلاًّ جَعَلْنَا نَبِيًّا. وَوَهَبْنَا لَهُمْ مِنْ رَحْمَتِنَا وَجَعَلْنَا لَهُمْ لِسَانَ صِدْقٍ عَلِيًّا

“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al-Kitab (Al-Qur`an) ini, sesungguhnya dia adalah orang yang sangat membenarkan dan seorang nabi. Ingatlah ketika dia berkata kepada bapaknya: ‘Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak bisa menolongmu sedikitpun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, jangan kamu menyembah setan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Rabb Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab dari Rabb yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.’ Bapaknya: ‘Bencikah kamu kepada sesembahan-sesembahanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan aku rajam dan tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama.’ Ibrahim berkata: ‘Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Rabbku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa berdoa kepada Rabbku.’ Maka ketika Ibrahim telah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishaq dan Ya’qub, dan masing-masing kami angkat menjadi nabi. Dan kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan Kami jadikan mereka menjadi buah tutur yang baik lagi tinggi.” (Maryam: 41-50)

Faedah yang terkandung dalam kisah Ibrahim Abul Muwahhidin (bapak orang-orang yang bertauhid):

1. Bersemangat dalam berdakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik kepada keluarga yang dekat atau yang jauh, terlebih lagi kepada kedua orang tua.
2. Bersabar dalam menerima segala ujian di jalan dakwah.
3. Memakai uslub (metode) lemah lembut dalam berdakwah, terlebih kepada orang tua.

Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala mencontohkan sikap lemah lembut di dalam dakwah di mana Nabi Ibrahim tidak mengajak bicara bapaknya dengan kata: “Wahai bapakku, saya ini orang pintar dan kamu orang bodoh,” atau mengatakan “Kamu tidak punya ilmu sedikitpun.” Namun beliau memakai bentuk pembicaraan dengan kata yang menunjukkan bahwa beliau dan bapaknya mempunyai ilmu, namun ilmu yang sampai kepada beliau belum sampai kepada bapaknya.

4. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memerintahkan kita untuk mengikuti millah (agama) Nabi Ibrahim. Di antara bentuk mengikuti millah-nya adalah menempuh jalan beliau dalam berdakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, dengan jalan ilmu dan hikmah, lemah lembut lagi penuh kemudahan. Secara bertahap dari satu tingkatan kepada tingkatan yang lain, bersabar di jalan dakwah itu, tidak bosan, bersabar dari segala gangguan makhluk yang diarahkan kepadanya, baik dengan ucapan atau perbuatan. Sebaliknya, memberikan ampunan dan maaf serta gampang berbuat baik dengan ucapan atau perbuatan. (lihat Tafsir As-Sa’di, hal. 443-444)

Cerita Indah Isma’il dengan Seorang Ayah yang Mulia Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَإِنَّ مِنْ شِيْعَتِهِ لإِبْرَاهِيْمَ. إِذْ جَاءَ رَبَّهُ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ. إِذْ قَالَ لأَبِيْهِ وَقَوْمِهِ مَاذَا تَعْبُدُوْنَ. أَئِفْكًا آلِهَةً دُوْنَ اللهِ تُرِيْدُوْنَ. فَمَا ظَنُّكُمْ بِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ. فَنَظَرَ نَظْرَةً فِي النُّجُوْمِ. فَقَالَ إِنِّي سَقِيْمٌ. فَتَوَلَّوْا عَنْهُ مُدْبِرِيْنَ. فَرَاغَ إِلَى آلِهَتِهِمْ فَقَالَ أَلاَ تَأْكُلُوْنَ. مَا لَكُمْ لاَ تَنْطِقُوْنَ. فَرَاغَ عَلَيْهِمْ ضَرْبًا بِالْيَمِيْنِ. فَأَقْبَلُوا إِلَيْهِ يَزِفُّوْنَ. قَالَ أَتَعْبُدُوْنَ مَا تَنْحِتُوْنَ. وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ. قَالُوا ابْنُوا لَهُ بُنْيَانًا فَأَلْقُوْهُ فِي الْجَحِيْمِ. فَأَرَادُوا بِهِ كَيْدًا فَجَعَلْنَاهُمُ اْلأَسْفَلِيْنَ. وَقَالَ إِنِّي ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّي سَيَهْدِيْنِ. رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِيْنَ. فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلاَمٍ حَلِيْمٍ. فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّابِرِيْنَ. فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِيْنِ. وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيْمُ. قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِيْنَ. إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلاَءُ الْمُبِيْنُ. وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ. وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي اْلآخِرِينَ. سَلاَمٌ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ. كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِيْنَ. إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِيْنَ. وَبَشَّرْنَاهُ بِإِسْحَاقَ نَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِيْنَ. وَبَارَكْنَا عَلَيْهِ وَعَلَى إِسْحَاقَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِمَا مُحْسِنٌ وَظَالِمٌ لِنَفْسِهِ مُبِيْنٌ

“Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh). (Ingatlah) ketika ia datang kepada Rabbnya dengan hati yang suci. (Ingatlah) ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: ‘Apakah yang kamu sembah itu? Apakah kamu menghendaki sesembahan-sesem-bahan selain Allah dengan jalan berbohong? Maka apakah anggapanmu terhadap Rabb semesta alam?’ Lalu ia memandang sekali pandang ke bintang-bintang. Kemudian ia berkata: ‘Sesungguhnya aku sakit.’ Lalu mereka berpaling darinya dengan membelakang. Kemudian ia pergi dengan diam-diam kepada berhala-berhala mereka; lalu ia berkata: ‘Apakah kamu tidak makan? Kenapa kamu tidak menjawab?’ Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat). Kemudian kaumnya datang kepadanya dengan bergegas. Ibrahim berkata: ‘Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.’ Mereka berkata: ‘Dirikanlah suatu bangunan untuk (membakar) Ibrahim; lalu lemparkanlah dia ke dalam api yang menyala-nyala itu.’ Mereka hendak melakukan tipu muslihat kepadanya, maka Kami jadikan mereka orang-orang yang hina. Dan Ibrahim berkata: ‘Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Rabbku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’ Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu,’ sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.’ Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. Dan Kami beri dia kabar gembira dengan kelahiran Ishaq, seorang nabi yang termasuk orang-orang yang shalih. Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. Dan di antara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata.” (Ash-Shaffat: 83-113)

Faedah yang diambil dalam kisah Isma’il:
1. Sifat-sifat terpuji yang dimiliki oleh beliau di antaranya al-hilm. Sifat ini mencakup kesabaran, akhlak yang baik, dada yang lapang dan memberikan maaf kepada siapa yang berbuat aniaya kepadanya.
2. Kesabaran dalam mewujudkan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
3. Keberanian yang sejati dalam menjunjung tinggi amanat Allah Subhanahu wa Ta'ala.
4. Keyakinan yang tinggi dalam melaksanakan perintah yang sangat berat.
5. Anak yang shalih tidak akan menghalangi orang tuanya untuk melaksanakan perintah.
6. Ketabahan dan kesabaran dalam melaksanakan tugas dari Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mendapatkan ganjaran yang besar, baik di dunia ataupun di akhirat. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengangkat penyebutan sang anak dan sang bapak dengan pujian yang tinggi sampai hari kiamat.
7. Keberkahan hidup akan didapat dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. (lihat Tafsir As-Sa’di hal. 651-652)

1 HR. Al-Imam Ahmad (no. 26212), Al-Imam An-Nasa‘i (no. 5577) dari shahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu 'anhuma dengan lafadz yang lain dan ada tambahan. Juga dari shahabat Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu 'anhuma dalam riwayat Ahmad (no. 5839) dan dari shahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu dalam riwayat Al-Imam Ahmad (no. 18747), dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam kitab beliau Shahihul Jami’ (5/191).
2 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593.
3 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5977 dan Muslim no. 127
4 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5976 dan Muslim no.126
5 HR. Al-Imam At-Tirmidzi no. 2947
6 HR. Al-Imam Abu Dawud no. 4256, At-Tirmidzi no. 2435, dan Ibnu Majah no. 4021 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (no. 915 dan 976) dan dalam Shahih Adabul Mufrad no. 23
7 HR. Al-Imam Muslim no. 3658
8 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5516 dan Muslim no. 6243
8 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5328
9 HR. Al-Imam Abu Dawud no. 1313, At-Tirmidzi no. 3370, Ibnu Majah no. 3852 dan Al-Bukhari dalam Al-Adab (no. 32) dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Ash-Shahihah no. 598 dan dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 43.
10 HR. Al-Imam Muslim no. 3084
11 HR. Al-Imam Abu Dawud no. 2496 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud (no. 2566) dan dalam kitab Shahih Al-Adabul Mufrad hal. (no???) 46.
12 HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5978 dan Muslim no. 1671
13 HR. Al-Imam Muslim no. 4432 dan Al-Bukhari dalam Al-Adab no. 24.

Ilmu Yang Bermanfaat

Penulis : Ustadz Qomar Suaidi


Dinukil dari www.asysyariah.com

Ilmu yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya ada yang memberikan manfaat ada pula yang tidak. Di sisi lain, ada pula ilmu yang pada asalnya sama sekali tidak memberikan manfaat, sehingga manusia harus menjauhinya.

Allah telah menyebut ilmu dalam kitab-Nya Al Qur’an terkadang dengan memujinya seperti dalam surat Az Zumar ayat 9:
“Katakanlah, adakah sama antara orang-orang yang mengetehui dengan orang-orang yang tidak mengetehui? Sesungguhnya orang-orang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.

“Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu. Segolongan berperang di jalan Allah dan yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang muslim dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati”. (QS.Ali Imran:13)

Terkadang Allah menyebutnya dengan celaan. Ilmu yang Allah puji itu adalah ilmu yang bermanfaat dan yang Allah cela adalah ilmu yang asalnya tidak bermanfaat, atau bisa jadi pada asalnya bermanfaat, tapi orang yang dikaruniainya tidak bisa mengambil manfaat darinya. Sebagaimana Allah beritakan tentang sebuah kaum yang Allah beri ilmu namun ilmu itu tidak memberi mereka manfaat.

Allah berfirman:
“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat kemudian mereka tidak memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amat buruklah kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang dzalim”. (QS. Al Jumuah: 5)

”Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami. Kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (hingga dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat”. (QS. Al A’raf: 175)

Dalam ayat ini maksudnya ilmu itu sesungguhnya bermanfaat akan tetapi orang yang dikaruniai tidak bisa memanfaatkannya. Adapun ilmu yang pada dasarnya dicela oleh Allah adalah seperti tercantum dalam surat Al Baqarah ayat 102 dan surat Ar Rum ayat 7.

“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (karena mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan pada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut. Sedang keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seorangpun sebelum mengatakan: Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, karena itu janganlah kamu kafir.

Maka mereka mempelajari dari dua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang suami dengan istrinya. Dan mereka itu tidak memberi mudharat kepada seorangpun dengan sihirnya kecualin atas izin Allah. Mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa menukar kitab Allah dengan sihir itu, tiadalah keuntungan baginya di akherat. Dan amat jahatlah perbuatan mereka menukar dirinya dengan sihir kalau mereka mengetahui”. (QS. Al Baqarah: 102)

“Mereka hanya mengetahui yang lahir saja dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang kehidupan akherat adalah lalai". (QS.Ar Rum: 7)

Karena ilmu itu ada yang terpuji yaitu yang bermanfaat dan ada yang tercela yaitu yang tidak bermanfaat, maka kita dianjurkan untuk memohon kepada Allah ilmu yang bermanfaat dan berlindung kepada-Nya dari ilmu yang tidak bermanfaat. (Fadl Ilm Salaf: 11-13)

Ilmu yang Bermanfaat

Ibnu Rajab Al Hanbali menjelaskan tentang ilmu yang bermanfaat. Beliau mengatakan, pokok segala ilmu adalah mengenal Allah subhanahu wa ta'ala yang akan menumbuhkan rasa takut kepada-Nya, cinta kepada-Nya, dekat terhadap-Nya, tenang dengan-Nya, dan rindu pada-Nya. Kemudian setelah itu berilmu tentang hukum-hukum Allah, apa yang dicintai-Nya dan diridhai-Nya dari perbuatan, perkataan, keadaan, atau keyakinan hamba.

Orang yang mewujudkan dua ilmu ini, maka ilmunya adalah ilmu yang bermanfaat. Ia, dengan itu, akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat, hati yang khusyu’, jiwa yang puas, dan do’a yang mustajab. Sebaliknya yang tidak mewujudkan dua ilmu yang bermanfaat itu, ia akan terjatuh ke dalam empat perkara yang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berlindung darinya. Bahkan ilmunya menjadi bencana buatnya, ia tidak bisa mengambil manfaat darinya karena hatinya tidak khusyu’ kepada Allah subhanahu wa ta'ala, jiwanya tidak merasa puas dengan dunia, bahkan semakin berambisi terhadapnya. Doanyapun tidak didengar oleh Allah karena ia tidak merealisasikan perintah-Nya serta tidak menjauhi larangan-Nya dan apa yang dibenci-Nya.

Lebih-lebih apabila ilmu tersebut bukan diambil dari Al Qur’an dan As Sunnah, maka ilmu itu tidak bermanfaat dan tidak ada manfaatnya sama sekali. Yang terjadi, kejelekannya lebih besar dari manfaatnya.

Ibnu Rajab juga menjelaskan, ilmu yang bermanfaat dari semua ilmu adalah mempelajari dengan benar ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam serta memahami maknanya sesuai dengan yang ditafsirkan para shahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Lalu mempelajari apa yang datang dari mereka tentang halal dan haram, zuhud dan semacamnya, serta berusaha mepelajari mana yang shahih dan mana yang tidak dari apa yang telah disebutkan.

Kemudian berusaha untuk mengetahui makna-maknanya dan memahaminya. Apa yang telah disebut tadi sudah cukup bagi orang yang berakal dan menyibukkan diri dengan ilmu yang bermanfaat. (Fadl Ilm Salaf Alal Khalaf 41, 45, 46, 52, 53)

Ilmu yang bermanfaat akan nampak pada seseorang dengan tanda-tandanya, yaitu:
1. beramal dengannya.
2. benci disanjung, dipuji dan takabbur atas orang lain.
3. semakin bertawadhu’ ketika ilmunya semakin banyak.
4. menghindar dari cinta kepemimpinan, ketenaran dan dunia.
5. menghindar untuk mengaku berilmu.
6. bersu’udzan (buruk sangka) kepada dirinya dan husnudzan (baik sangka) kepada orang lain dalam rangka menghindari celaan kepada orang lain.
(Lihat Fadl Ilm Salaf Hal. 56-57 dan Hilyah Thalib Ilm Hal. 71)

Sebaliknya ilmu yang tidak bermanfaat juga akan nampak tanda-tandanya pada orang yang menyandangnya yaitu:

1. tumbuhnya sifat sombong, sangat berambisi dalam dunia dan berlomba-lomba padanya, sombong terhadap ulama, mendebat orang-orang bodoh, dan memalingkan perhatian manusia kepadanya.
2. mengaku sebagai wali Allah subhanahu wa ta'ala. Atau merasa suci diri.
3. Tidak mau menerima yang hak dan tunduk kepada kebenaran, dan sombong kepada orang yang mengucapkan kebenaran jika derajatnya di bawahnya dalam pandangan manusia, serta tetap dalam kebatilan.
4. menganggap yang lainnya bodoh dan mencacat mereka dalam rangka menaikkan dirinya di atas mereka. Bahkan terkadang menilai ulama terdahulu dengan kebodohan, lalai, atau lupa sehingga hal itu menjadikan ia mencintai kelebihan yang dimilikinya dan berburuk sangka kepada ulama yang terdahulu.

(Lihat Fadl Ilm Safaf: 53, 54, 57, 58)

Ibarat Mengukir di Atas Batu

Penulis : Al-Ustadzah Ummu 'Abdirrahman Bintu 'Imran

Dinukil dari www.asysyariah.com


Usia kanak-kanak adalah masa keemasan dalam kehidupan seseorang. Segala yang dipelajari dan dialami pada masa ini –dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala– akan membekas kelak di masa dewasa.

Tak heran bila di kalangan pendahulu kita yang shalih banyak kita dapati tokoh-tokoh besar yang kokoh ilmunya, bahkan dalam usia mereka yang masih relatif muda. Dari kalangan sahabat, ada ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum, dan banyak lagi. Kalangan setelah mereka, ada Sufyan Ats-Tsauri, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan Al-Imam An-Nawawi rahimahumullah.

Begitulah memang. Dari sejarah kehidupan mereka kita bisa melihat, mereka telah sibuk dengan ilmu dan adab semenjak usia kanak-kanak. Jadilah –dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala– apa yang mereka pelajari tertanam dalam diri dan memberikan pengaruh terhadap pribadi.

Demikian yang diungkapkan oleh ‘Alqamah rahimahullahu:

مَا حَفِظْتُ وَأَنَا شَابٌّ فَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ فِي قِرْطَاسٍ أَوْ وَرَقَةٍ

“Segala sesuatu yang kuhafal ketika aku masih belia, maka sekarang seakan-akan aku melihatnya di atas kertas atau lembaran catatan.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/304)

Bahkan ayah ibu mereka berperan dalam mengarahkan dan membiasakan anak-anak untuk menyibukkan diri dengan ilmu agama sejak dini dan menghasung mereka untuk mempelajari adab.

Muhammad bin Sirin rahimahullahu mengatakan:

كَانُوا يَقُوْلُوْنَ: أَكْرِمْ وَلَدَكَ وَأَحْسِنْ أَدَبَهُ

“(Para pendahulu kita) mengatakan: ‘Muliakanlah anakmu dan perbaikilah adabnya!’.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/308)

Senada dengan ini, Ibnul Anbari rahimahullahu mengatakan pula:

مَنْ أَدَّبَ ابْنَهُ صَغِيْرًا قَرَّتْ عَيْنُهُ كَبِيْرًا

“Barangsiapa mengajari anaknya adab semasa kecil, maka akan menyejukkan pandangannya ketika si anak telah dewasa.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/306)

Dari kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu contohnya. Beliau selalu menyertakan putranya, ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma di majelis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara orang-orang yang duduk di sana adalah orang-orang dewasa.

Bahkan betapa inginnya ‘Umar agar putranya menjadi seorang yang terkemuka di antara para sahabat yang hadir di situ dari sisi ilmu. ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menceritakan:

كُنَّا عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: أَخْبِرْنِي بِشَجَرَةٍ تُشْبِهُ أَوْ كَالرَّجُلِ الْمُسْلِمِ لاَ يَتَحَاتُّ وَرَقُهَا وَلاَ وَلاَ وَلاَ، تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ. قَالَ ابْنُ عُمَرَ: فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ وَرَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ لاَ يَتَكَلَّمَانِ، فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ. فَلَمَّا لَمْ يَقُوْلُوْا شَيْئًا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: هِيَ النَّخْلَةُ. فَلَمَّا قُمْنَا قُلْتُ لِعُمَرَ: يَا أَبَتَاه، وَاللهِ لَقَدْ كَانَ وَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ. فَقَالَ: مَا مَنَعَكَ أَنْ تَكَلَّمَ؟ قَالَ: لَمْ أَرَكُمْ تَكَلَّمُوْنَ فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ أَوْ أَقُوْلَ شَيْئًا. قَالَ عُمَرَ: لَأَنْ تَكُوْنَ قُلْتَهَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كَذَا وَكَذَا.

“Dulu kami pernah duduk di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bertanya pada kami, ‘Beritahukan kepadaku tentang sebatang pohon yang menyerupai atau seperti seorang muslim, tidak pernah gugur daunnya, tidak demikian dan demikian, selalu berbuah sepanjang waktu.’ Waktu itu terbetik dalam benakku bahwa pohon itu adalah pohon kurma, tapi kulihat Abu Bakr dan ‘Umar tidak menjawab apa pun sehingga aku pun merasa segan untuk menjawabnya. Tatkala para sahabat tidak juga mengatakan apa pun, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu pohon kurma.” Ketika kami bubar, kukatakan kepada (ayahku) ‘Umar, “Wahai Ayah, sebetulnya tadi terlintas di benakku bahwa itu pohon kurma.”“Lalu apa yang membuatmu tidak menjawab?” tanya ayahku. “Aku melihat anda semua tidak berbicara, hingga aku merasa segan pula untuk menjawab atau mengatakan sesuatu,” jawab Ibnu ‘Umar. ‘Umar pun berkata, “Sungguh, kalau tadi engkau menjawab, itu lebih kusukai daripada aku memiliki ini dan itu!” (HR. Al-Bukhari no. 4698)

Lihat pula Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha yang menghasung putranya, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu untuk selalu melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di usia kanak-kanaknya. Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha mengantarkan anaknya memperoleh faedah besar berupa ilmu dan pendidikan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah ketika aku berumur delapan tahun. Maka ibuku pun menggandengku dan membawaku menghadap beliau. Ibuku mengatakan pada beliau, “Wahai Rasulullah, tak seorang pun yang tersisa dari kalangan orang-orang Anshar, baik laki-laki maupun perempuan, kecuali telah memberikan sesuatu padamu. Sementara aku tidak mampu memberikan apa-apa kepadamu, kecuali putraku ini. Ambillah agar dia bisa membantu melayani keperluanmu.” Maka aku pun melayani beliau selama sepuluh tahun. Tak pernah beliau memukulku, tak pernah mencelaku maupun bermuka masam kepadaku.” (Siyar A’lamin Nubala’, 3/398)

Begitu pula ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, sepupu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baru belasan tahun umurnya ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, sementara sebelum itu dia banyak mengambil faedah ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mendapatkan doa beliau. ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengungkapkan, bagaimana inginnya dia mendapatkan ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

رَقَدْتُ فِي بَيْتِ مَيْمُوْنَةَ لَيْلَةَ كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِنْدَهَا لِأَنْظُرَ كَيْفَ صَلاَةَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِاللَّيْلِ

“Aku pernah tidur di rumah Maimunah1 pada malam ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bermalam di sana untuk melihat bagaimana shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu malam.” (HR. Al-Bukhari no. 698 dan Muslim no. 763)

Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, semangat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma untuk mencari ilmu tidaklah surut. Didatanginya para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada pada saat itu untuk mendengarkan hadits dari mereka. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan tentang hal ini:
“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan waktu itu aku masih belia, aku berkata kepada salah seorang pemuda dari kalangan Anshar, ‘Wahai Fulan, mari kita bertanya pada para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan belajar dari mereka, mumpung mereka sekarang masih banyak!’ Dia menjawab, ‘Mengherankan sekali kau ini, wahai Ibnu ‘Abbas! Apa kau anggap orang-orang butuh kepadamu sementara di dunia ini ada tokoh-tokoh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang kaulihat?’ Aku pun meninggalkannya. Aku pun mulai bertanya dan menemui para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika, aku mendatangi seorang sahabat untuk bertanya tentang suatu hadits yang kudengar bahwa dia mendengarnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata dia sedang tidur siang. Aku pun rebahan berbantalkan selendangku di depan pintunya, dalam keadaan angin menerbangkan debu ke wajahku. Begitu keadaanku sampai dia keluar. ‘Wahai putra paman Rasulullah, kenapa engkau ini?’ tanyanya ketika dia keluar. ‘Aku ingin mendapatkan hadits yang kudengar engkau menyampaikan hadits itu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku ingin mendengar hadits itu darimu,’ jawabku. ‘Mengapa tidak kau utus saja seseorang kepadaku agar nantinya aku yang mendatangimu?’ katanya. ‘Aku lebih berhak untuk datang kepadamu,’ jawabku. Setelah itu, ketika para sahabat telah banyak yang meninggal, orang tadi (dari kalangan Anshar tersebut, red.) melihatku dalam keadaan orang-orang membutuhkanku. Dia pun berkata padaku, ‘Engkau memang lebih berakal daripadaku’.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/310)

Dari kalangan setelah tabi’in, kita kenal Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu. Salah satu hal yang mendorong Sufyan Ats-Tsauri sibuk menuntut ilmu sejak usia dini adalah hasungan, dorongan, dan arahan ibunya agar Sufyan mengambil faedah dari para ulama, baik berupa ilmu maupun faedah yang didapatkan dengan duduk bersama mereka, hingga ilmu yang diperolehnya akan memiliki pengaruh terhadap akhlak, adab, dan muamalahnya terhadap orang lain.

Ketika menyuruh putranya untuk hadir di halaqah-halaqah ilmu maupun majelis-majelis para ulama, ibunda Sufyan Ats-Tsauri berpesan, “Wahai anakku, ini ada uang sepuluh dirham. Ambillah dan pelajarilah sepuluh hadits! Apabila kaudapati hadits itu dapat merubah cara dudukmu, perilakumu, dan ucapanmu terhadap orang lain, ambillah. Aku akan membantumu dengan alat tenunku ini! Tapi jika tidak, maka tinggalkan, karena aku takut nanti hanya akan menjadi musibah bagimu di hari kiamat!” (Waratsatul Anbiya’, hal.36-37)

Begitu pula ibu Al-Imam Malik rahimahullahu, dia memerhatikan keadaan putranya saat hendak pergi belajar. Al-Imam Malik mengisahkan:
“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’ ‘Kemarilah!’ kata ibuku, ‘Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah2! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’ (Waratsatul Anbiya’, hal. 39)

Biarpun dalam keadaan kekurangan, mestinya keadaan itu tidak menyurutkan keinginan orangtua untuk memberikan yang terbaik bagi sang anak. Lihat bagaimana ibu Al-Imam Asy-Syafi’i berusaha agar putranya mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang baik.
Diceritakan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu: “Aku adalah seorang yatim yang diasuh sendiri oleh ibuku. Suatu ketika, ibuku menyerahkanku ke kuttab3, namun dia tidak memiliki sesuatu pun yang bisa dia berikan kepada pengajarku. Waktu itu, pengajarku membolehkan aku menempati tempatnya tatkala dia berdiri. Ketika aku telah mengkhatamkan Al-Qur’an, aku mulai masuk masjid. Di sana aku duduk di hadapan para ulama. Bila aku mendengar suatu permasalahan atau hadits yang disampaikan, maka aku pun menghafalnya. Aku tak bisa menulisnya, karena ibuku tak memiliki harta yang bisa dia berikan kepadaku untuk kubelikan kertas. Aku pun biasa mencari tulang-belulang, tembikar, tulang punuk unta, atau pelepah pohon kurma, lalu kutulis hadits di situ. Bila telah penuh, kusimpan dalam tempayan (guci) yang ada di rumah kami. Karena banyaknya tempayan terkumpul, ibuku berkata, ‘Tempayan-tempayan ini membuat sempit rumah kita.’ Maka kuambil tempayan-tempayan itu dan kuhafalkan apa yang tertulis di dalamnya, lalu aku membuangnya. Sampai kemudian Allah memberiku kemudahan untuk berangkat menuntut ilmu ke negeri Yaman.” (Waratsatul Anbiya’, hal. 36)
Namun betapa mirisnya hati kita bila melihat anak-anak kaum muslimin sekarang ini. Dalam usia yang sama dengan para tokoh ini tadi, mereka tidak mempelajari ilmu agama ataupun memperbaiki adabnya. Akankah kita biarkan ini terus berlangsung?

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

1 Maimunah, istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah bibi Ibnu ‘Abbas, karena Maimunah adalah saudari Ummul Fadhl, ibu Ibnu ‘Abbas.
2 Al-Imam Rabi’ah rahimahullahu adalah guru Al-Imam Malik rahimahullahu.
3 Kuttab adalah tempat anak-anak kecil belajar baca-tulis Al-Qur’an, semacam TPA/Q di Indonesia.

Simpanan yang Tak Akan Sirna

Penulis : Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu'thi, Lc

Dinukil dari www.asysyariah.com

Manusia umumnya gemar menumpuk atau menimbun harta. Namun mungkin tak pernah disadari bahwa harta mereka yang hakiki adalah yang disuguhkan pada kebaikan.

Banyak orang berlomba-lomba mencari harta dan menabungnya untuk simpanan di hari tuanya. Menyimpan harta tentunya tidak dilarang selagi ia mencarinya dari jalan yang halal dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya atas harta tersebut, seperti zakat dan nafkah yang wajib.

Namun ada simpanan yang jauh lebih baik dari itu, yaitu amal ketaatan dengan berbagai bentuknya yang ia suguhkan untuk hari akhir. Suatu hari yang tidak lagi bermanfaat harta, anak, dan kedudukan. Harta memang membuat silau para pecintanya dan membius mereka sehingga seolah harta segala-galanya. Tak heran jika banyak orang menempuh cara yang tidak dibenarkan oleh syariat dan fitrah kesucian seperti korupsi, mencuri, dan menipu. Padahal betapa banyak orang bekerja namun ia tidak bisa mengenyam hasilnya. Tidak sedikit pula orang menumpuk harta namun belum sempat ia merasakannya, kematian telah menjemputnya sehingga hartanya berpindah kepada orang lain. Orang seperti ini jika tidak memiliki amal kebaikan maka ia rugi di dunia dan di akhirat. Sungguh betapa sengsaranya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلاً
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46)

Dan firman-Nya:

مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللهِ بَاقٍ

“Apa yang di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (An-Nahl: 96)

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu meriwayatkan dengan sanadnya dari sahabat Tsauban radhiyallahu 'anhu, ia berkata: “Tatkala turun ayat:

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak…” (At-Taubah: 34)

Tsauban radhiyallahu 'anhu berkata: Dahulu kami bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada sebagian safarnya. Lalu sebagian sahabat berkata: “Telah diturunkan ayat mengenai emas dan perak seperti apa yang diturunkan. Kalau seandainya kita tahu harta apa yang terbaik yang kita akan mengambilnya?” Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَفْضَلُهُ لِسَانٌ ذَاكِرٌ وَقَلْبٌ شَاكِرٌ وَزَوْجَةٌ مُؤْمِنَةٌ تُعِينُهُ عَلىَ إِيْمَانِهِ

“Yang utama adalah lisan yang berdzikir, hati yang syukur dan istri mukminah yang membantunya (dalam melaksanakan) agamanya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi, 3/246-247, no. 3094, cet. Al-Ma’arif)

Tingkatan-tingkatan Amalan

Amal ketaatan yang dijadikan sebagai simpanan memiliki tingkatan keutamaan dari sisi penekanan dalam pelaksanaannya dan dari sisi pengaruh yang muncul darinya. Adapun dari sisi penekanan, amal-amal yang wajib didahulukan dari yang sunnah. Disebutkan dalam hadits qudsi bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيِءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ

“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang paling Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan atasnya.” (HR. Al-Bukhari, no. 6502)
Demikian pula, sesuatu yang maslahatnya lebih besar didahulukan dari yang lebih kecil. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Menimba ilmu lebih utama daripada shalat sunnah.” (Mawa’izh Al-Imam Asy-Syafi’i, hal. 53)

Hal itu karena manfaat dari ilmu sangat luas, yaitu untuk dia dan orang lain. Demikian pula suatu amalan lebih mulia dari yang lainnya karena kondisi, waktu, tempat, dan orang yang melakukannya. Suatu contoh, shadaqah yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun sebesar dua cakupan tangan tidak bisa tertandingi nilainya dengan shadaqah kita, meskipun sebesar gunung Uhud. Dalam kondisi seorang tidak bisa menggabungkan antara amalan yang mulia dengan yang di bawahnya, maka dia mendahulukan yang lebih mulia. Termasuk kesalahan jika seorang mementingkan amalan yang sunnah sehingga meninggalkan yang wajib.

Luasnya Rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala

Kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta'ala terhadap hamba-Nya begitu luas. Kalau saja orang kafir dan ahli maksiat di dunia ini masih selalu diberi rizki oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, padahal mereka berada di atas kesesatannya, maka tentunya orang yang beriman dan beramal shalih akan mendapatkan berbagai limpahan nikmat dan karunia-Nya di dunia ini, serta terus bersambung hingga di hari kiamat nanti. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)

Orang yang menggabungkan antara iman dan amal shalih akan Allah Subhanahu wa Ta'ala beri kehidupan yang baik di dunia ini, berupa tentramnya jiwa dan rizki yang halal lagi baik. Adapun di akhirat kelak, dia akan memperoleh berbagai kelezatan yang mata belum pernah melihatnya, telinga belum pernah mendengarnya, dan belum pernah terbetik dalam hati manusia.

Termasuk bentuk luasnya rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah dilipatgandakannya pahala amalan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلاَ يُجْزَى إِلاَّ مِثْلَهَا وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ
“Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya(dirugikan).” (Al-An’am: 160)

Demikian pula, amal kebaikan akan mengangkat derajat pelakunya dan menghapus dosa yang dilakukannya.

Barakah Keikhlasan

Tidak akan pernah merugi orang yang mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan amalan yang sesuai petunjuk syariat dan dibarengi dengan keikhlasan hati. Orang yang memiliki sifat tersebut akan mendapat barakah pada hartanya, anak keturunannya, dirinya, serta akan diselamatkan dari marabahaya. Dahulu, di zaman Bani Israil ada seorang lelaki yang shalih lalu wafat dan meninggalkan dua anaknya sebagai anak yatim. Kedua anak tersebut, karena kecil dan lemahnya, Allah Subhanahu wa Ta'ala jaga harta warisan dari orangtuanya sehingga tidak hilang atau rusak, seperti dalam surat Al-Kahfi ayat 82.

Suatu ketika ada tiga orang dari umat sebelum Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bermalam di suatu goa. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba jatuh batu besar hingga menutupi pintunya. Mereka yakin bahwa mereka tidak akan bisa keluar kecuali dengan ber-tawassul (menjadikan amal sebagai perantara) kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Masing-masing menyebutkan amalannya yang ia pandang paling ikhlas. Allah Subhanahu wa Ta'ala kabulkan permohonan mereka. Batu tersebut bergeser sehingga mereka bisa keluar dari goa.

Perhatikanlah wahai saudaraku, bahwa orang yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan melakukan berbagai ketaatan di saat lapang maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mengenalnya di saat dia susah. Sungguh manusia mendambakan kedamaian hidup dan terhindar dari berbagai bencana, tetapi mereka tidak mendapatkannya kecuali ketika mereka tunduk terhadap aturan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bersimpuh di hadapan-Nya.

Tidak Meremehkan Kebaikan Sekecil Apapun

Allah Maha Adil dan tidak mendzalimi hamba-Nya. Barangsiapa yang melakukan kebaikan sekecil apapun pasti dia akan melihat balasan kebaikannya. Sebagaimana kalau ia berbuat dosa selembut apapun niscaya dia melihat pembalasannya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يِا نِسَاءَ الْـمُسْلِمَاتِ، لاَ تَحْقِرْنَ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ

“Wahai wanita muslimah, janganlah seorang tetangga menganggap remeh (pemberian) tetangganya, walaupun sekadar kaki kambing.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Adab dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu)

Hadits ini adalah larangan bagi yang akan memberikan hadiah untuk menganggap remeh apa yang akan ia berikan kepada tetangganya, walaupun sesuatu yang sedikit. Karena yang dinilai adalah keikhlasan dan kepedulian terhadap tetangganya. Juga, karena memberi sesuatu yang banyak tidak bisa dimampu setiap saat. Demikian pula, hadits ini melarang orang yang diberi hadiah dari meremehkan pemberian tetangganya. (Lihat Fadhlullah Ash-Shamad, 1/215-216)

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya): “Tatkala ada seekor anjing berputar-putar di sekitar sumur yang hampir mati karena haus, tiba-tiba ada seorang wanita pezina dari para pezina Bani Israil. Lalu ia melepas khuf (sepatu dari kulit yang menutupi mata kaki) miliknya, kemudian ia mengambil air dengannya dan memberi minum anjing tersebut. Maka ia diampuni (oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala) karenanya.” (Riyadhush Shalihin, Bab ke-13, hadits no. 126)

Lihatlah wahai saudaraku, karena memberi minum seekor binatang yang kehausan, dia mendapatkan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Maka, orang yang memberi minum manusia, baik dengan cara menggali sumur atau mengalirkan parit dan semisalnya, tentunya sangat besar pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya): “Tujuh (perkara) yang pahalanya mengalir bagi hamba sedangkan dia berada di kuburannya setelah matinya: (yaitu) orang yang mengajarkan ilmu, atau mengalirkan sungai, atau menggali sumur, atau menanam pohon kurma, atau membangun masjid atau mewariskan (meninggalkan) mushaf (Al-Qur`an) atau meninggalkan anak yang memintakan ampunan baginya setelah matinya.” (HR. Al-Bazzar dan dihasankan oleh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Jami’, no. 3602)

Dan tersebut dalam hadits:

مَرَّ رَجُلٌ بِغُصْنِ شَجَرَةٍ عَلَى ظَهْرِ طَرِيقٍ فَقَالَ: وَاللهِ لَأُنْحِيَنَّ هَذَا عَنِ الْمُسْلِمِينَ لاَ يُؤْذِيْهِمْ. فَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ

“Ada seorang lelaki melewati suatu dahan pohon di tengah jalan, lalu dia mengatakan: ‘Demi Allah, aku akan menyingkirkan dahan ini dari kaum muslimin sehingga tidak mengganggu mereka.’ Maka orang tersebut dimasukkan (oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala) ke dalam jannah (surga).” (HR. Muslim, Riyadhus Shalihin Bab Fi Bayani Katsrati Thuruqil Khair)

Coba renungkan hadits tadi dengan baik. Bagaimana orang tersebut dimasukkan ke dalam jannah karena melakukan cabang keimanan yang terendah, yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan. Bagaimana kiranya orang yang melakukan cabang iman yang lebih tinggi dari itu?

Inti dari ini semua, lapangan untuk kita beramal shalih sangatlah banyak. Jika kita tidak mampu mengamalkan suatu kebaikan, maka ada pintu lain yang bisa kita masuki. Juga, terkadang seseorang menganggap suatu amalan itu remeh padahal di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala itu besar. Kemudian yang terpenting pula dari itu, bahwa pahala akhirat itu tidak bisa dibandingkan dengan kenikmatan dunia. Inilah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam haditsnya:

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا

“Dua rakaat fajar lebih baik dari dunia dan seisinya.” (HR. Muslim dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha)

Shalat sunnah sebelum shalat subuh lebih baik daripada dunia dan seisinya, karena apa yang ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala akan kekal. Sedangkan dunia, seberapapun seorang mendapatkannya maka ia akan lenyap.

Harta Kita yang Sesungguhnya

Umumnya, kita menganggap bahwa harta yang disimpan itulah harta kita yang sesungguhnya. Padahal sebenarnya harta kita adalah yang telah kita suguhkan untuk kebaikan. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَيُّكُمْ مَالُ وَارِثِهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ مَالِهِ؟ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا مِنَّا أَحَدٌ إِلَّا مَالُهُ أَحَبُّ إِلَيْهِ. قَالَ: فَإِنَّ مَالَهُ مَا قَدَّمَ وَمَالُ وَارِثِهِ مَا أَخَّرَ

“Siapa di antara kalian yang harta ahli warisnya lebih dia cintai dari hartanya (sendiri)?” Mereka (sahabat) menjawab: “Wahai Rasulullah, tidak ada dari kita seorangpun kecuali hartanya lebih ia cintai.” Nabi bersabda: “Sesungguhnya hartanya adalah yang ia telah suguhkan, sedangkan harta ahli warisnya adalah yang dia akhirkan.” (HR. Al-Bukhari)

Ibnu Baththal rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini ada anjuran untuk menyuguhkan apa yang mungkin bisa disuguhkan dari harta pada sisi-sisi taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan kebaikan. Supaya ia nantinya bisa mengambil manfaat darinya di akhirat. Karena segala sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang, maka akan menjadi hak milik ahli warisnya. Jika nantinya ahli waris menggunakan harta itu dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka hanya ahli warisnya yang dapat pahala dari itu. Sedangkan yang mewariskannya hanya dia yang lelah mengumpulkannya….” (Fathul Bari, 11/260)

‘Aisyah radhiyallahu 'anha pernah menuturkan bahwa dahulu sahabat menyembelih kambing, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang masih tersisa dari kambing itu?” ‘Aisyah berkata: “Tidak tersisa darinya kecuali tulang bahunya.” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Semuanya tersisa, kecuali tulang bahunya.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2470)

Maksudnya, apa yang kamu sedekahkan maka itu sebenarnya yang kekal di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala dan yang belum disedekahkan maka itu tidak kekal di sisi-Nya.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Secercah Harapan dalam Sepenggal Pesan

Penulis : Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran

Dinukil dari www.asysyariah.com

Anak berbeda dengan orang dewasa. Daya pikir dan imajinasinya yang masih sederhana terkadang menimbulkan kesulitan bagi orang tua untuk mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang sifatnya abstrak. Di antaranya, bagaimana mengajari anak untuk senang mengajak kepada kebaikan dan mencegah kejelekan. Namun sesulit apapun, di sana akan selalu ada jalan. Berikut ini bimbingan Islam dalam mengajari anak beramar ma’ruf nahi munkar.

Anak-anak tumbuh dan berkembang. Tak bisa tidak, mereka pasti akan berhadapan dengan lingkungannya: lingkungan keluarga, lingkungan belajarnya, dan lingkungan masyarakat yang lebih luas. Tak selamanya yang tampak dalam lingkungannya adalah kebaikan. Entah suatu saat, suatu kesalahan atau keburukan mungkin akan terjadi di hadapan mereka. Terlebih lagi bagi orang yang memiliki mata hati, kini tampak banyak kerusakan yang tersebar.
Tentu takkan ada yang berharap anak mereka turut jatuh dalam kerusakan itu. Bahkan mestinya setiap ayah dan ibu berharap anak mereka terjauh dari semua itu. Lebih dari itu, mestinya setiap ayah dan ibu berharap agar buah hati mereka mampu mengubah keburukan menjadi kebaikan, sesuai kemampuan yang ada pada mereka.

Inilah pula yang diharapkan oleh Luqman ketika dia berpesan kepada anaknya:

وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ

“Dan perintahkanlah manusia untuk melakukan kebaikan dan cegahlah mereka dari perbuatan mungkar…”(Luqman: 17)

Demikianlah Luqman Al-Hakim mengajarkan kepada anaknya untuk memerintahkan manusia melakukan kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran sejauh kemampuan dan kesungguhannya. (Tafsir Ibnu Katsir, 6/194). Demikian pula yang semestinya diajarkan kepada anak-anak.

Begitu pun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan agar tidak berdiam diri ketika melihat kemungkaran terjadi, sebagaimana perintah ini disampaikan oleh shahabat yang mulia, Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu 'anhu:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِساَنِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْماَنِ

“Barangsiapa melihat suatu kemungkaran, hendaknya dia mengubah dengan tangannya. Apabila dia tidak mampu, maka dengan lisannya. Apabila dia tidak mampu, hendaknya dia ingkari dengan hatinya, dan ini selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim no. 49)

Semestinya orang tua mengajarkan kepada anak-anak hal-hal yang berkenaan dengan amar ma’ruf nahi mungkar. Juga diajarkan, apakah amar ma’ruf nahi mungkar yang dilakukan itu akan menggiring pada kemungkaran yang lebih besar daripada kemungkaran yang didapati tersebut ataukah tidak. Apabila ternyata akan terjadi kemungkaran yang lebih besar, maka semestinya amar ma’ruf nahi mungkar itu ditunda penunaiannya hingga suatu saat, ketika kebaikan akan terwujud tanpa ada madharat ataupun madharat yang ada lebih ringan. (Fiqh Tarbiyatil Abna, hal. 204)

Memerintahkan manusia pada kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran akan senantiasa mendapatkan gangguan. Untuk itu, anak-anak didorong untuk bersabar dalam menghadapi segala ujian dan hal-hal yang memberatkan jiwa yang didapati ketika menunaikan kewajiban ini, sebagaimana dorongan Luqman. Dia menasihatkan kepada anaknya:

وَاصْبِرْ عَلَى ماَ أَصاَبَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُوْرِ

“Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya hal itu termasuk perkara yang dikokohkan dan harus diperhatikan.” (Luqman: 17)
Ini pula pengajaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang disampaikan oleh Abdullah bin ‘Umar radhiallahu 'anhuma:

الْمُؤْمِنُ الَّذِي يُخاَلِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ خَيْرٌ مِنَ الَّذِي لاَ يُخاَلِطُ النَّاسَ وَلاَ يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ

“Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka lebih baik daripada orang yang tidak mau bergaul dengan manusia dan tidak bersabar atas gangguan mereka.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 300: Shahih)

Dalam ucapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini tergambar keutamaan seseorang yang bergaul dengan manusia disertai menyuruh mereka untuk berbuat kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran serta bermuamalah dengan baik terhadap mereka. Orang seperti ini lebih mulia daripada orang yang mengasingkan diri dari manusia dan tidak mau bersabar dalam pergaulannya dengan mereka. (Subulus Salam, 4/320)

Anak-anak diajarkan pula untuk berlemah lembut di kala memerintahkan orang lain pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Hal ini sebagaimana dikatakan, “Hendaklah perintahmu pada kebaikan dilakukan dengan kebaikan dan laranganmu dari kemungkaran bukan dengan kemungkaran.” (Makarimul Akhlaq, hal. 57)

Demikian selayaknya yang dilakukan seseorang yang menunaikan amar ma’ruf nahi mungkar, karena akan lebih mudah mencapai tujuan. Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menasihatkan, “Siapa yang menasihati saudaranya secara sembunyi-sembunyi, berarti dia telah menasihati dan menghiasinya. Dan siapa yang menasihati secara terang-terangan, berarti dia telah membuka aibnya dan menjelek-jelekkannya.” (Syarh Shahih Muslim, 2/24)

Tentu saja, seseorang harus mengetahui hal-hal yang ma’ruf agar dia dapat menyuruh manusia melakukannya, dan harus pula mengetahui kemungkaran agar dia dapat mencegah mereka darinya (Taisirul Karimir Rahman, hal. 649). Hal ini ditempuh dengan mempelajari dan memahami agama. Barulah ia menegakkan kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar ini. (Wujubul Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Munkar, Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, hal. 25)

Oleh karena itu, sudah semestinya orang tua mendorong anak-anak mereka untuk mempelajari dan memahami agama. Karena mempelajari dan memahami agama itu sendiri merupakan tanda di mana seseorang akan meraih kebahagiaan dan ini pun menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala menghendaki kebaikan pada dirinya. Demikian dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan disampaikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu 'anhuma ketika berkhutbah di atas mimbar:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan memahamkannya terhadap agama.” (HR Muslim no. 1037)

Hendaknya orang tua membimbing anak-anaknya untuk mengikuti halaqah-halaqah ilmu dan memberikan semangat agar mereka bersungguh-sungguh menempuh jalan untuk menuntut ilmu, tanpa rasa bosan dan letih, karena jalan ini akan menyampaikan mereka pada ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang berujung kepada jannah-Nya yang kekal abadi.

Benarlah janji Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang disampaikan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْماً سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقاً إِلَى الْجَنَّةِ

“Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR Muslim no. 2699)
Siapa kiranya yang tidak mendambakan kebaikan dan keberuntungan bagi anak-anak mereka, sebagaimana dikabarkan oleh Rabb semesta alam:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُوْنَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Dan hendaklah di antara kalian ada suatu kaum yang menyeru pada kebaikan, memerintahkan pada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran: 104)
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Saat Si Kecil Tumbuh Dalam Rahim

Penulis : Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran

Dinukil dari www.asysyariah.com

Orang tua mengharap anaknya menjadi anak yang shalih adalah biasa. Sayangnya, tidak banyak orang tua yang mau menempuh jalan agar harapannya itu bisa terwujud. Padahal Islam telah banyak memberikan bimbingannya baik di dalam Al Qur’an maupun Sunnah, termasuk saat masih di dalam rahim.

Anak adalah sosok mungil idaman yang sangat dinanti kehadirannya oleh sepasang ayah bunda. Semenjak melangkah ke jenjang pernikahan, mereka berdua telah menumbuhkan harapan akan lahirnya si buah hati. Mereka terus memupuk harapan itu dengan menjaga calon bayi yang memulai kehidupannya di rahim ibunya, hingga saatnya hadir di dunia.

Setiap orang tua tentu menginginkan anaknya lahir dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Segala upaya dikerahkan untuk mewujudkan keinginan mereka. Tentu tak patut dilupakan sisi-sisi penjagaan dan pendidikan yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Bahkan dengan inilah orang tua akan mendapatkan kemuliaan bagi anaknya dan bagi diri mereka.

Dapat disimak pengajaran ini dalam indahnya sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Di sana didapati bimbingan yang sempurna untuk kita terapkan dalam mendidik anak. Bahkan sebelum hadirnya sosok mungil itu pun Islam telah memberikan tuntunan penjagaan. Terus demikian tuntunan itu secara runtut didapati hingga saat melepas anak menuju kedewasaan.

Saat Kedua Orang Tua Bertemu

Inilah tuntunan Islam sebelum bertemunya dua mani yang menjadi bakal janin dengan izin Allah. Usai pernikahan, ketika sepasang pengantin bertemu untuk pertama kalinya, disunnahkan mempelai pria memegang ubun-ubun istrinya dan mendoakannya. Didapati hal ini di dalam ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam:
“Apabila salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang budak, maka hendaknya ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah dan mendoakannya dengan barakah, serta mengucapkan, ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan seluruh sifat yang Engkau jadikan padanya dan aku memohon perlindungan-Mu dari kejelekannya dan kejelekan sifat yang Engkau jadikan padanya.’ Apabila ia membeli unta, maka hendaknya ia pegang ujung punuknya dan berdoa seperti itu juga.” (Diriwayatkan oleh Imam al- Bukhari dalam Af’alil ‘Ibad dan Imam Abu Dawud, Ibnu Majah, al-Hakim, al-Baihaqi dan Abu Ya’la dalam Musnadnya dengan sanad hasan, dan disahihkan oleh Imam al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat "Adabuz Zifaaf fis Sunnatil Muthahharah", hal. 20, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah)

Dalam suasana pengantin baru, sang mempelai tak lepas dari tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Demikian pula ketika kehidupan rumah tangga terus berlangsung. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam juga memberikan pengajaran kepada setiap suami istri untuk mulai menjaga calon anak mereka ketika mereka hendak bercampur (jima’).

Beliau bersabda :
“Apabila salah seorang dari kalian ketika mendatangi istrinya mengatakan : ‘Dengan nama Allah, ya Allah, jauhkanlah syaithan dari kami dan jauhkanlah syaithan dari apa yang engkau rizkikan kepada kami’, jika Allah tetapkan terjadinya anak, syaithan tidak akan dapat memudharatkannya.” (Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari)

Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari menjelaskan bahwa maksud perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam “Syaithan tidak akan memudharatkannya” yaitu syaithan tidak akan memalingkan anak itu dari agamanya menuju kekafiran, dan bukan maksudnya terjaga dari seluruh dosa (‘ishmah).

Menjaga Janin dari Hal-hal yang Menggugurkannya

Ketika benih telah mulai tumbuh, banyak upaya yang dilakukan oleh sepasang calon ayah bunda untuk menjaga janin yang ada di perut ibunya. Sang calon ibu akan mulai memilih makanannya, mengkonsumsi segala macam vitamin yang dapat menunjang kehamilannya, menjaga waktu istirahatnya, melakukan olah raga khusus dan mengatur aktivitasnya. Tak lupa mereka memantau keadaan calon bayi dengan terus memeriksa kesehatannya.

Akan tetapi, adakalanya janin gugur bukan karena semata sebab medis. Terkadang ada sebab lain yang mengakibatkan gugurnya kandungan seorang ibu. Inii kadang-kadang tidak disadari oleh kebanyakan orang.

Semestinya kita mengetahui peringatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dari hal-hal semacam ini yang diterangkan oleh syari’at, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk membunuh ular yang disebut dengan dzu thufyatain yang dapat menyebabkan gugurnya janin.

Beliau bersabda:
“Bunuhlah dzu thufyatain, karena dia dapat membutakan mata dan menggugurkan janin.”(Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari)
Apakah dzu thufyatain? Dijelaskan oleh Ibnu ‘Abdil Barr bahwa dzu thufyatain adalah jenis ular yang mempunyai dua garis putih di punggungnya.

Perintah Rasulullah ‘Shallallahu ‘alaihi Wasallam ini menunjukkan wajibnya menjaga dan menjauhkan hal-hal yang dapat mebahayakan janin, dan ini merupakan salah satu pintu penjagaan dan perhatian syari’at ini terhadap janin dan keadaannya.

Keringanan bagi Wanita Hamil untuk Berbuka

Tak jarang kondisi seorang ibu yang mengandung calon bayi di dalam rahimnya lemah. Suplai makanan yang dikonsumsinya harus terbagi untuknya dan untuk janin yang ada di dalam kandungannya. Sementara ketika bulan Ramadhan tiba, kaum muslimin diwajibkan untuk melaksanakan puasa, menahan lapar dan dahaga dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya bulatan matahari. Dengan ilmu dan hikmah-Nya, Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan keringanan kepada hamba-hamba wanitanya yang sedang hamil dan menyusui untuk tidak menjalankan kewajiban berpuasa.

Ini dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam:
“Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi menggugurkan separuh shalat atas orang yang bepergian dan menggugurkan kewajiban berpuasa dari wanita yang hamil dan menyusui.” (Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan sanadnya hasan sebagaimana yang dikatakan oleh Imam at-Tirmidzi. Dihasankan oleh Syaikh Albani dalam "Shahih Sunan An Nasa'i" dan dalam "Shahih Sunan Ibnu Majah" no. 1353, beliau berkata: hadits hasan shahih)

‘Abdullah ibnu ‘Abbas radliyallahu‘anhuma memberikan penjelasan bahwa jika seorang wanita yang hamil mengkhawatirkan dirinya dan wanita yang menyusui mengkhawatirkan anaknya selama Ramadhan, maka keduanya berbuka (tidak berpuasa) dan setiap hari memberi makan satu orang miskin serta tidak mengqadha’ puasanya.

Inilah bentuk-bentuk penjagaan Islam terhadap anak sebelum ia lahir ke dunia. Terlihat dengan gamblang perlindungan agama Allah ini terhadap jiwa seorang manusia. Terbaca dengan jelas kasih sayang Allah Subhanahu wata’ala bagi seluruh hamba-Nya. Oleh karena itu, selayaknya ayah dan bunda memperhatikan penjagaan buah hati mereka.
“Barangsiapa yang menjaga kehidupan satu jiwa, maka seakan-akan ia menjaga kehidupan seluruh manusia.” (al-Maidah: 32)

Wallahu ta’ala a’lamu bish shawab.

Bacaan :
 Adabuz-Zifaaf, asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
 Ahkamuth Thifl, asy-Syaikh Ahmad al-‘Aisawy

Selasa, 20 Juli 2010

Pengukuran Nyeri

Ada 3 tipe pengukuran nyeri yaitu : self-report measure, observational measure, dan pengukuran fisiologis.


Self-report measure

Pengukuran tersebut seringkali melibatkan penilaian nyeri pada beberapa jenis skala metrik. Seorang peenderita diminta untuk menilai sendiri rasa nyeri yang dirasakan apakan nyeri yang berat (sangat nyeri), kurang nyeri dan nyeri sedang. Menggunakan buku harian merupakan cara lain untuk memperoleh informasi baru tentang nyerinya jika rasa nyerinya terus menerus atau menetap atau kronik. Cara ini sangat membantu untuk mengukur pengaruh nyeri terhadap kehidupan pasien tersebut. Penilaian terhadap intensitas nyeri, kondisi psikis dan emosional atau keadaan affektif nyeri juga dapat dicatat. Self-report dianggap sebagai standar gold untuk pengukuran nyeri karena konsisten terhadap definisi/makna nyeri. Yang termasuk dalam self-report measure adalah skala pengukuran nyeri (misalnya VRS, VAS, dll), pain drawing, McGill Pain Quesioner, Diary, dll).

Observational measure (pengukuran secara observasi)

Pengukuran ini adalah metode lain dari pengukuran nyeri. Observational measure biasanya mengandalkan pada seorang terapis untuk mencapai kesempurnaan pengukuran dari berbagai aspek pengalaman nyeri dan biasanya berkaitan dengan tingkah laku penderita. Pengukuran ini relatif mahal karena membutuhkan waktu observasi yang lama. Pengukuran ini mungkin kurang sensitif terhadap komponen subyektif dan affektif dari nyeri. Yang termasuk dalam observational measure adalah pengukuran tingkah laku, fungsi, ROM, dan lain-lain.

Pengukuran fisiologis

Perubahan biologis dapat digunakan sebagai pengukuran tidak langsung pada nyeri akut, tetapi respon biologis pada nyeri akut dapat distabilkan dalam beberapa waktu karena tubuh dapat berusaha memulihkan homeostatisnya. Sebagai contoh, pernapasan atau denyut nadi mungkin menunjukkan beberapa perubahan yang kecil pada awal migrain jika terjadi serangan yang tiba-tiba dan keras, tetapi beberapa waktu kemudian perubahan tersebut akan kembali sebelum migrain tersebut menetap sekalipun migrainnya berlangsung lama. Pengukuran fisiologis berguna dalam keadaan dimana pengukuran secara observasi lebih sulit dilakukan. Yang termasuk dalam pengukuran fisiologis adalah pemeriksaan denyut nadi, pernapasan, dll.

Jenis-jenis Pengukuran Nyeri

Pengukuran nyeri terdiri dari pengukuran komponen sensorik (intensitas nyeri) dan pengukuran komponen afektif (toleransi nyeri).

Pengukuran komponen sensorik

Ada 3 metode yang umumnya digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri yaitu Verbal Rating Scale (VRS), Visual Analogue Scala (VAS), dan Numerical Rating Scale (NRS).


VRS adalah alat ukur yang menggunakan kata sifat untuk menggambarkan level intensitas nyeri yang berbeda, range dari “no pain” sampai “nyeri hebat” (extreme pain). VRS merupakan alat pemeriksaan yang efektif untuk memeriksa intensitas nyeri. VRS biasanya diskore dengan memberikan angka pada setiap kata sifat sesuai dengan tingkat intensitas nyerinya. Sebagai contoh, dengan menggunakan skala 5-point yaitu none (tidak ada nyeri) dengan skore “0”, mild (kurang nyeri) dengan skore “1”, moderate (nyeri yang sedang) dengan skore “2”, severe (nyeri keras) dengan skor “3”, very severe (nyeri yang sangat keras) dengan skore “4”. Angka tersebut berkaitan dengan kata sifat dalam VRS, kemudian digunakan untuk memberikan skore untuk intensitas nyeri pasien. VRS ini mempunyai keterbatasan didalam mengaplikasikannya. Beberapa keterbatasan VRS adalah adanya ketidakmampuan pasien untuk menghubungkan kata sifat yang cocok untuk level intensitas nyerinya, dan ketidakmampuan pasien yang buta huruf untuk memahami kata sifat yang digunakan


Numeral Rating Scale adalah suatu alat ukur yang meminta pasien untuk menilai rasa nyerinya sesuai dengan level intensitas nyerinya pada skala numeral dari 0 – 10 atau 0 – 100. Angka 0 berarti “no pain” dan 10 atau 100 berarti “severe pain” (nyeri hebat). Dengan skala NRS-101 dan skala NRS-11 point, dokter/terapis dapat memperoleh data basic yang berarti dan kemudian digunakan skala tersebut pada setiap pengobatan berikutnya untuk memonitor apakah terjadi kemajuan.


VAS adalah alat ukur lainnya yang digunakan untuk memeriksa intensitas nyeri dan secara khusus meliputi 10-15 cm garis, dengan setiap ujungnya ditandai dengan level intensitas nyeri (ujung kiri diberi tanda “no pain” dan ujung kanan diberi tanda “bad pain” (nyeri hebat). Pasien diminta untuk menandai disepanjang garis tersebut sesuai dengan level intensitas nyeri yang dirasakan pasien. Kemudian jaraknya diukur dari batas kiri sampai pada tanda yang diberi oleh pasien (ukuran mm), dan itulah skorenya yang menunjukkan level intensitas nyeri. Kemudian skore tersebut dicatat untuk melihat kemajuan pengobatan/terapi selanjutnya. Secara potensial, VAS lebih sensitif terhadap intensitas nyeri daripada pengukuran lainnya seperti VRS skala 5-point karena responnya yang lebih terbatas. Begitu pula, VAS lebih sensitif terhadap perubahan pada nyeri kronik daripada nyeri akut (Carlson, 1983 ; McGuire, 1984). Ada beberapa keterbatasan dari VAS yaitu pada beberapa pasien khususnya orang tua akan mengalami kesulitan merespon grafik VAS daripada skala verbal nyeri (VRS) (Jensen et.al, 1986; Kremer et.al, 1981). Beberapa pasien mungkin sulit untuk menilai nyerinya pada VAS karena sangat sulit dipahami skala VAS sehingga supervisi yang teliti dari dokter/terapis dapat meminimalkan kesempatan error (Jensen et.al, 1986). Dengan demikian, jika memilih VAS sebagai alat ukur maka penjelasan yang akurat terhadap pasien dan perhatian yang serius terhadap skore VAS adalah hal yang vital (Jensen & Karoly, 1992).