Selasa, 13 Juli 2010

Management Nyeri Pasca Operasi

Pendahuluan

Setelah menjalani suatu bentuk operasi, seorang ahli anestesi masih mempunyai tanggung jawab terhadap perawatan pasien pada saat pemulihan yaitu dapat dilakukan dengan cara monitoring pasien atau dengan kata lain dilakukan observasi. Tujuan dari observasi ini adalah deteksi sedini mungkin dari penyimpangan-penyimpangan fisiologis sehingga dapat dilakukan tindakan pengobatan sedini mungkin sehingga morbiditas dan mortalitas dapat ditekan serendah mungkin.

Observasi utama dilakukan dengan mengukur nadi, tekanan darah dan frekuensi pernafasan secara teratur dan perhatikan bila ada keadaan abnormal dan perdarahan yang berlanjut. Jam pertama setelah anestesi merupakan saat yang paling berbahaya bagi pasien. Refleks perlindungan jalan nafas masih tertekan, walaupun pasien tampak sudah bangun, dan efek sisa obat yang diberikan dapat mendepresi pernafasan. Ini dapat menyebabkan kematian karena hipoksia. Selain itu juga perlu dibuat pencatatan teknik yang digunakan dan setiap komplikasi yang terjadi. Hal tersebut dapat berguna bagi pasien di masa mendatang.

Nyeri Pasca Bedah

Rasa nyeri (nosisepsi) merupakan masalah unik, disatu pihak bersifat melindungi badan kita dan dilain pihak merupakan suatu siksaan. Definisi nyeri menurut The International Association for the Study of Pain ialah sebagai berikut, nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang disertai oleh kerusakan jaringan secara potensial dan aktual. Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya (noksius, protofatik) atau yang tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik) misalnya sentuhan ringan, kehangatan, dan tekanan ringan.
Nyeri bukanlah akibat sisa pembedahan yang tak dapat dihindari tetapi ini merupakan komplikasi bermakna pada sebagian besar pasien. Definisi dari nyeri itu sendiri adalah pengalaman sensorik dan motorik yang tidak menyenangkan, yang berhubungan dengan jaringan yang rusak, cenderung rusak atau segala sesuatu yang menunjukkan kerusakan.

Faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Pengalaman nyeri pada seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya adalah:

1. Arti nyeri
Bagi seserang memiliki banyak perbedaan dan hampir sebagian arti nyeri merupakan arti yang negatif, sepc:rti membahayakan, merusak, dan lain-lain. Keadaan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti usia, jenis kelamin, latar belakang sosial kultural, lingkungan; dan pengalaman.

2. Persepsi Nyeri
Persepsi nyeri merupakan penilaian sangat subyektif tempatnya pada korteks (pada fungsi evaluatif kognitio. Persepsi ini dipengaruhi oleh faktor yang dapat memicu stimulasi nociceptor.

3. Toleransi Nyeri
Toleransi ini erat hubungannya dengan adanya intensitas nyeri yang dapat memengaruhi seseorang menahan nyeri. Faktor yang dapat memengaruhi peningkatan toleransi nyeri antara lain alkohol, obat-obatan, hipnosis, gesekan atau garukan, pengalihan perhatian, kepercayaan yang kuat dan scbagianya. Sedangkan faktor yang menurunkan tolcransi antara lain kelelahan, rasa marah, bosan, cemas, nyeri yang tiidak kunjung hilang, sakit, dan lain-lain.

4. Reaksi terhadap Nyeri
Reaksi terhadap nyeri merupakan bentuk respons seseorang terhadap nyeri, seperti ketakutan, gelisah, cemas, menangis, dan menjerit. Semua ini merupakan bentuk recspons nyeri yang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: arti nyeri, tingkat persepsi nyeri, pengalaman masa lalu, nilai budaya, harapan sosial, kesehatan fisik dan mental, takut, cemas, usia dan lain-lain.

Kecemasan adalah suatu bentuk reaksi pasien terhadap rasa nyeri yang dialaminya. Perasaan takut, cemas dan khawatir tak ditolong dapat memperberat rasa nyeri tersebut.Pada bayi dan neonatus cenderung tidak toleransi terhadap rasa nyeri, sehingga penanganan yang tepat dalam menanggulangi rasa nyeri dapat menurunkan angka morbiditas dalam operasi mayor di golongan umur tersebut.

Penanggulangan nyeri pasca bedah yang efektif merupakan salah satu hal yang penting dan menjadi problema bagi ahli anestesi. Hal tersebut dikarenakan berbagai hal sebagai berikut:

a. Nyeri pasca bedah sangat bersifat individual, tindakan yang sama pada pasien yang kurang lebih sama keadaan umumnya tidak selalu mengakibatkan nyeri pasca bedah yang sama. Pengalaman penderita terhadap derajat atau intensitas nyeri pasca bedah sangat bervariasi.

b. Banyak penderita yang kurang mendapat terapi yang adekuat untuk mengatasi nyeri pasca bedah.

c. Bebas nyeri dapat mengurangi komplikasi pasca bedah. Timbulnya nyeri, derajat maupun lamanya pengalaman nyeri dari penderita setelah operasi yang berlainan tidak dapat diketahui dengan pasti.

Dari penelitian yang dilakukan ternyata timbulnya (incidence) intensitas, dan lamanya nyeri pasca bedah sangat bervariasi dari satu penderita ke penderita yang lain, dari rumah sakit yang berbeda apalagi dari negara yang berbeda.

Faktor-faktor yang sangat mempengaruhi kualitas, intensitas dan lamanya nyeri pasca bedah dapat disebutkan sebagai berikut :

a. Lokasi operasi, jenis operasi dan lamanya operasi serta berapa besar kerusakan ringan akibat operasi tersebut.

b. Persiapan operasi baik psychologik, fisik dan pharmakologik dari penderita oleh anggota / team pembedahan atau dengan kata lain disebut pelaksanaan perioperatif dan premedikasi.

c. Adanya komplikasi yang erat hubungannya dengan pembedahan.

d. Pengelolaaan anestasi baik sebelum, selama, sesudah pembedahan.

e. Kwalitas dari perawatan pasca bedah.

f. Suku, ras, warna kulit, karakter dan sosiokultural penderita

g. Jenis kelamin, perempuan lebih cepat merasakan nyeri

h. Umur, ambang rangsang orang tua lebih tinggi.

i. Kepribadian, pasien neurotik lebih merasakan nyeri bila dibandingkan dengan pasien dengan kepribadian normal

j. Pengalaman pembedahan sebelumnya, bila pembedahan di tempat yang sama rasa nyeri tidak sehebat nyeri pembedahan sebelumnya.

k. Motivasi pasien, pembedahan paliatif tumor ganas lebih nyeri dari pembedahan tumor jinak walaupun luas yang diangkat sama besar.

l. Fisiologik, psychologik dari penderita.


Dari segi pembedahan, lokasi nyeri pasca bedah yang paling sering terjadi dan sifat nyerinya paling hebat (severe) adalah sebagai berikut :

• Operasi daerah Thocaro – Abdominal
• Operasi ginjal
• Operasi Columna Vertebralis (Spine)
• Operasi Sendi besar
• Operasi tulang panjang (Large Bone) di extrimitas

Penderita setelah selesai mengalami bedah thorax, abdomen maupun operasi ginjal, bila penderita batuk, tarik nafas dalam atau gerakan tubuh yang berlebihan akan timbul nyeri yang hebat. Nyeri yang hebat merupakan gejala sisa yang diakibatkan oleh operasi pada regio thoraks, intraabdomen, tulang panjang serta persendian. Sekitar 60% pasien menderita nyeri yang hebat, 25% nyeri sedang dan 15% nyeri ringan. Sebaliknya, pada operasi di regio kepala, leher serta dinding perut hanya 15% yang dapat menimbulkan nyeri hebat pada beberapa pasien

Demikian pula macam luka pembedahan (incision) juga sangat berperan dalam timbulnya nyeri pasca bedah, pada luka operasi atau insisi subcostal (Choiecystectomy) kurang menimbulkan rasa nyeri pasca bedahnya dibandingkan luka operasi midline, pada insisi abdomen arah transversal akan terjadi kerusakan syaraf intercostalis minimal.

Pada pembedahan yang letaknya di permukaan (superficial), daerah kepala, leher, extremitas, dinding thorax dan dinding abdomen rasa nyerinya sangat bervariasi :

a. Nyeri hebat (severe) 5 – 15 %
b. Nyeri yang sedang (moderate) 30 – 50 % dari penderita.
c. Nyeri yang ringan atau tanpa nyeri : 50%, dimana penderita tidak memerlukan
narkotik.

Terdapat pengecualian pada operasi tandur kulit (Skin graft) yang luas dan radical mastectomy, nyeri pasca bedahnya termasuk kategori nyeri yang hebat (severe).

Dari segi penderita, timbulnya dan beratnya rasa nyeri pasca bedah juga sangat dipengaruhi fisik, psikis atau emosi, karakter individu dan sosial kultural maupun pengalaman masa lalu terhadap rasa nyeri. Derajat kecemasan penderita pra bedah dan pasca bedah juga mempunyai peranan penting. Misalnya, takut mati, takut kehilangan kesadaran, takut akan terjadinya penyulit dari anestesi dan pembedahan, rasa takut akan rasa nyeri yang hebat setelah pembedahan selesai. Penderita yang masuk rumah sakit (MRS) akan timbul reaksi cemas/strees.

Dan keadaan ini membentuk pra kondisi nyeri pasca bedah. Keadaan tersebut digolongkan “Hospital Stress”. Pada golongan penderita dengan Hospital Strees tinggi cenderung mengalami nyeri lebih hebat daripada golongan Hospital Strees rendah.

Faktor -faktor yang mempengaruhi Hospital Stress :
a. Rasa tidak bersahabat disekelilingnya.
b. Pemisahan dengan keluarga, orang tua, suami/istri.
c. Informasi yang kurang atau tidak jelas.
d. Pengalaman masa lalu tentang penanggulan nyeri yang tidak adekwat.

Faktor lain yang berperan dalam nyeri pasca bedah adalah pengelolaan baik sebelum, sedang dan sesudah pembedahan dan tehnik anestesi yang dilakukan pada penderita.
Pengelolaan profilaksis yaitu pengelolaan penderita pada persiapan pembedahan dan perawatan pasca bedah yang baik. Dari segi anestesi trauma pemasangan pipa endotracheal (intubasi), nyeri otot akibat pemberian succinyi cholin. Dari segi bedah, keterampilan dari ahli bedah, jenis pembedahan (Ekstenip) juga sangat berperan.

Fisiologi dari nyeri pasca operasi

Melibatkan transmisi impuls nyeri melalui serat aferen splanknik (bukan serat vagus) menuju sistem saraf pusat dimana akan menginisiasi saraf spinal, batang otak dan reflek korteks. Respon spinal dihasilkan dari stimulasi neuron di cornu anterior, menghasilkan spasme otot skelet, vasospasme dan ileus gastrointestinal. Batang otak merespon nyeri termasuk gangguan dalam ventilasi, tekanan darah dan fungsi endokrin. Kortikal meresponnya dengan pergerakan volunter dan perubahan psikologik seperti rasa takut. Respon emosional ini memfasilitasi transmisi spinal nosiseptif dan ambang lebih rendah dari persepsi nyeri.

Mekanisme terjadinya nyeri pasca bedah dapat dijelaskan sebagai berikut :

Pada dasarnya mirip dengan timbulnya luka atau suatu penyakit, yang mengakibatkan kerusakan jaringan lokal dengan disertai keluarnya bahan-bahan yang merangsang rasa nyeri (algogenik subtance) seperti; kalium dan ion Hydrogen, asam laktat, serotonin, bradyknin, prostaglandin. Inflamasi perifer menghasilkan prostaglandin dan berbagai sitokin yang menginduksi COX-2 setempat (local). Selanjutnya akan mensensitisasi nocicieptor perifer yang ditandai dengan timbulnya asa nyeri. Sebagian sitokin melalui aliran darah sampai ke sistem syaraf pusat meningkatkan kadar interleukin-1 yang pada gilirannya menginduksi COX-2 di dalam neuron otak.

Bagaimanapun, sekali enzim COX-2 dipicu berbagai aksi muncul di perifer dan susunan syaraf pusat. Perubahan asam arakidonat menjadi prostaglandin dengan bantuan enzim cyclooxygenase (COX) dapat dihambat dengan pemberian AINS (anti-inflamasi non-steroid) yang juga dikenal sebagai “COX-inhibitor”. Pembentukan prostaglandin dapat ditingkatkan oleh bradikinin dan interleukin-1. Di perifer, prostaglandin dapat merangsang reseptor EPI yang meningkatkan sensasi nyeri dan reseptor EP4 yang menurunkan sensasi nyeri. Namun prostaglandin yang dibentuk melalui aktivasi COX-2 berperan dalam percepatan transmisi nyeri di syaraf perifer dan di otak, terutama dalam peran sentralnya memodulasi nyeri hiperalgesia dan alodinia.
Oleh karena kejadian nyeri inflamasi bukan hanya berkaitan dengan peningkatan produki prostaglandin oleh aktivasi COX-2, AINS yang ideal hendaklah lebih nyata menghambat aktivitas COX-2 dan juga mampu menghambat aktivitas mediator-mediator inflamasi lainnya seperti bradikinin, histamin dan interleukin, serta mampu merembes ke cairan serebrospinal.

Timbulnya spasme pada otot-otot tubuh dengan akibat turunnya compliance atau kelenturan dinding Thorax. Keadaan tersebut merupakan lingkaran setan, (nyeri-spasme otot-nyeri). Stimulasi neuron syaraf sympatik mengakibatkan meningkatnya frekwensi jantung dan stroke volume, sehingga kerja jantung (heart work) dan komsumsi oksigen dari jantung bertambah.

Terjadi pengeluaran hormon-hormon katabalik, Cathecolamine, Cortisol, ACTH, ADH, Glocagon dan Aldosteron serta penurunan hormon anabolik Insulin dan Testosteron. Cortical merangsang nyeri yang diteruskan sampai ke cortex cerbri akan dikenal atau persepsi berupa rasa nyeri dan manifestasinya dapat berupa suatu reaksi kecemasan dan rasa takut.

Komplikasi akibat nyeri pasca bedah juga harus diperhatikan oleh ahli anestesi.

Komplikasi tersebut bermacam-macam.
Pasca bedah thoraco-abdomen ataupun operasi ginjal akan terjadi gangguan radio ventilasi-perfusi di paru-2 (V/O ratio), apabila penderita pasca bedahnya disertai atau mengalami distensi dari abdomen atau dipasang bandage yang ketat (gurita) maka akan terjadi gangguan nafas yang berat.
Rasa nyeri yang bertambah hebat bila penderita batuk, tarik nafas dalam dan adanya bronchospasme berakibat penderita takut akan mengeluarkan dahak ataupun bernafas dalam, akibatnya akan terjadi penurunan kapasitas paru (VC), FRC, dan timbulnya Hypoksemia.

Penurunan VC ± 40% dari pra bedah, dimulai saat 1-4 jam pasca bedah yang dipertahankan s/d 12-24 jam, selanjutnya meningkat pelan-pelan mencapai 60-70% dari kondisi Pra bedah setelah hari ke-7, selanjutnya kembali ke normal setelah beberapa minggu. FRC menurun ± 70% dari pra bedah setelah 24 jam pasca bedah, dan tetap rendah dalam beberapa hari, lalu pelen-pelan kembali ke normal dalam waktu 10 hari.
Terjadinya pengeluaran hormon-hormon katabalik, Cathecolamine, Cortisol, ACTH, ADH, Glocagon dan Aldosteron serta penurunan hormon anabolik Insulin dan Testosteron juga merupakan komplikasi dari pasca bedah. Hal tersebut dapat menyebabkan kadar gula darah naik, tekanan darah naik, kebutuhan oksigen naik.

Tehnik anestesi baik general anestesi maupun regional anestesi, sangat berbeda dari segi pemberian obat-obatan analgetik pasca bedah pada general anestesi ± 5% pasien bedah tidak memerlukan analgesik. Kadang pada regional anestesi lebih disenangi pemakaian obat lokal anestesi yang kerjanya lama (long action ). Tehnik anestesi gabung general anestesi dan regional anestesi terbukti berhasil mengurangi kebutuhan akan narkotik pasca bedahnya.

Pengelolaan nyeri pasca bedah dapat dilakukan sebagai berikut :

1. Profilaktik
Incidance, derajat dan lamanya nyeri pasca bedah dapat dikurangi dengan persiapan
operasi dengan baik, dan perawatan pasca bedah optimal.
2. Terapi Aktif
Penanggulangan nyeri pasca bedah dapat dikurangi partial atau total (tanpa nyeri)
dengan cara-cara berbagai berikut :
a. Obat-obat sistemik analgesik dan adjuvant
b. Analgesik regional (Intra spinsi opiat)
c. Analgesik regional dengan obat lokal anestesi.
d. Analgesik dengan rangsangan litrik (transcutancus electrical nerve stimulation =
TENS), atau dengan electroacupuncture.
e. Analgesik psykologik dengan Hypnosis dan Sugesti.


Obat Analgesik Sistemik & Adjuvan

Golongan opiate

Obat opiat setelah bergabung dengan reseptor dalam susunan saraf pusat dan bagian lain dari tubuh akan menimbulkan khasiat analgesik, kontraksi otot polos, depresi pernafasan dan lain-lain.

a. Opioid Intra Muskular
Cara ini adalah cara yang paling sering dipakai, walaupun sering berhasil mencapai efek anelgesia yang diinginkan karena pemberian intramuskular (im) absorpsinya tidak sempurna, terutama pada pasien dengan perfusi perifer yang buruk. Karena absorpsi melalui otot relatif lambat, meka harus diperhatikan kapan anelgesia dibutuhkan dan kapan pemberian ulangan harus di suntik

b. Opioid Intravena
Walaupun pemberiannya kurang menyenangkan bila dibandingkan dengan pemberian 1 M cara ini memiliki sejumlah keunggulan. Pada umumnya diberikan sejumlah dosis tertentu (infus dipercepat) untuk mendapatkan konsentrasi efektif analgesia, kemudian dilanjutkan dengan infus yang lambat dengan alat yang akurat seperti pompa infuse

c. Pasien Mengontrol Pemberian Analgesia Opioid
Saat ini sudah dikembangkan cara/alat agar pasien dapat memberikan sendiri anelgesia opioid yang diinginkan melalui pompa infus yang sudah diatur terlebih dahulu dosisnya, yang aman untuk pasien.

d. Opioid Subligual
Cara ini makin populer penggunaannya, karena mudah dan menyenangkan. Obat yang paling sering dipakai adalah biprenorfin yang bersifat agonis antagonis sehingga efik samping depresi nafas sangat jarang dijumpai, keuntungan lain adalah masa kerja yang lama (lebih dari 8 jam).

e. Opioid Oral
Opioid oral dapat diberikan pada pasien yang dapat menelan. Morfin sulfat dapat memberikan analgesia yang adekuat selama 6-8 jam.

Obat opiat yang paling sering dan mudah diperoleh :

1. Morphine

Morphine merupakan obat narkotik analgesik yang sampai saat ini tetap dipakai sebagai standard dalam penanggulangan nyeri pasca bedah, karena alasan sebagai berikut :
a. Mudah didapat
b. Murah
c. Pemberiannya mudah dan efektif

Cara pemberian dapat :

a. Intra muskuler, onset lama dicapai, mudah cara pemberiannya.
b. Intra venous, cara ini mempunyai beberapa keuntungan antara lain: onset obat cepat, hasilnya cepat terlihat dengan demikian efek emosi penderita akibat dapat dikurangi. Selain itu, kebutuhan individu akan obat mudah dikontrol dengan titrasi. Konsentrasi obat di darah cepat menurun, sehingga perlu pemantauan selama 15-20 menit setelah injeksi untuk menilai hilangnya rasa nyeri dan efek samping obat.

2. Pethidine

Untuk mendapatkan analgesik yang efektif, dan mengurangi efek samping dari cara pemberian iv, dosis obat diberikan dalam jumlah yang kecil dan diberikan pelan-pelan
Untuk Morphine : 2-3 mg diencerkan dalam PZ.
Untuk Petidhine : 20-30 mg diencerkan dalam PZ.
Cara memberikan dengan titrasi interfal 15-20 menit, sampai analgesik tercapai, interfal dapat ditingkatkan menjadi 45-60 menit sampai steady state.

Selain pada golongan tersebut terdapat golongan Non Narkotik Analgesia yaitu : NSAIDS (Non steroidal anti inflammatory drugs). Cara kerja obat adalah menghambat bahan-bahan Algogenic. Yang termasuk golongan ini adalah :

Golongan Salisilat

Acetyl salicylic acid (Aspirin)

Dosis obat 500-600 mg tiap 4 jam. Dosis maksimal 4000 mg sehari. Efek samping : perdarahan lambung, reaksi hipersentitif.

Acetaminophen (Parasetamol)

Mempunyai khasiat analgesik dan antipiretik seperti asam asetil salisilat, tetapi tidak mempunyai efek antiinflamasi. Tidak mengadakan iritasi mukosa lambung. Dosis 500-1000 mg setiap 4 jam. Dosis max 4000 mg sehari.
Antiinflamasi nonsteroid Dibanding dengan asam salisilat khasiat analgesik bervariasi, ada yang sama dan ada yang lebih kuat.

Obat golongan antiinflamasi non steroid memberikan efek samping pada darah, gastrointestinal, ginjal dan saraf pusat.
a. Proprionic acid derivat
b. Ibuprofen : dosis 200-400 mg, setiap 4-6 jam per os. Dosis max 2400 mg sehari
(Brufen)
c. Ketiprofen (profenid): Dosis 25 – 50 mg, setiap 6 – 8 jam p.o dosis max 300 mg
sehari
Benzothiazine deriv. : Piroxicain (feldene). Dosis 20 mg setiap 12-24 jam.
Pyrazole deciv.
d. Phenylbutazone. Dosis 100-200 mg setiap 6 jam.
e. Oxyphenbutazone (Tanderil). Dosis 100-200 mg setiap 6 jam.
Fenmates : Mefanamic acid (Ponstan). Dosis 500 mg setiap 6-8 jam


Epidural / Intrathecal Narkotik

Tehnik epidural & intrathecal narkotik mulai populer pada akhir-2 ini. Namun cara ini memerlukan keahlian khusus dan harus dipantau dengan ketat, serta dipersiapkan tenaga paramedik yang sudah terdidik, karena ada penyulit depresi nafas yang lambat. Pemakaian narkotik epidural lebih menguntungkan dibanding obat anestesi lokal, karena tidak mempengaruhi sistim somatomotor dan sympatik. Intrathecal narkotik mengurangi refleks-refleks pascabedah, sehingga membantu hemodinamik penderita tetap stabil.

Dosis : 0,5 – 1 mg Morphine. Analgesi timbul 15 – 30 menit, dan berakhir 8 – 24 jam. Epidural narkotik. Dosis : 2 – 10 mg, Morphine, onset 5 – 10 menit, lamanya 6 – 24 jam.

Komplikasi :
a. Pruritus 15 – 20 %
b. Retensi urinae 15 – 20 %
c. Nausea 15 – 25 %
d. Depresi nafas (delayed)

Regional anestesi dengan lokal anastesi

Kerugian pemakaian obat lokal anestesi terutama adanya gangguan/ blok pada afferent dan efferent pada segmentasi maupun supra segmental. Keuntungannya menghilangkan nyerinya sangat efektif, dan spasmus otot tidak terjadi.

Intercostal block

Cara ini efektif untuk nyeri pasca bedah cholecystectomy, thoraco tomy, gatrectomy dan mastectomy. Keuntungannya tidak terjadi hypotensi.


TENS (Transcutancus Electrical nerve stimulation)

Dilaporkan bahwa cara ini dapat menghilangkan nyeri pasca bedah laporotomy, thoracotomy maupun laminec tomy. Namun beberapa penelitian mengungkapkan bahwa tens tidak memperbaiki faal paru pasca bedah. Akan tetapi Tens dapat dipakai sebagai cara alternatif untuk mengurangi kebutuhan narkotik.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

salam kenal mas..
tulisan ini yg aku cari2 ahirnya ketemu juga,,boleh gk q minta di tambahin daftar pustaka nya juga,alna q butuh banget nh mas..tanks
jangan lupa ya maen2 juga di Http://zaenalnursing.blogspot.com disini juga banyak kumpulan askep dan tulisan lainnya,,hehe

Harun Al Rosyid, S.Kep. Ns. mengatakan...

assalaamualaikum...subhanallah...gmn kabarnya mas...sdh punya momongan berapa sekarang....gak sengaja aku enemukan blog ini...

Posting Komentar