Rabu, 22 Desember 2010

Al-Hakim

Penulis : Al-Ustadz Qomar ZA

Dinukil dari www.asysyariah.com

Salah satu Asma’ul Husna adalah الْحَكِيمُ (Al-Hakim). Artinya, Yang memiliki hikmah yang tinggi dalam penciptaan-Nya dan perintah-perintah-Nya, Yang memperbagus seluruh makhluk-Nya. Sebagaimana firman-Nya:

وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi kaum yang yakin?” (Al-Ma’idah: 50)

Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menciptakan sesuatu yang sia-sia dan tidak akan mensyariatkan sesuatu yang tiada manfaatnya.

Artinya juga adalah Yang memiliki hukum di dunia dan akhirat. Milik-Nyalah tiga macam hukum yang tidak seorangpun menyertai-Nya. Dialah yang menghukumi di antara hamba-Nya, dalam (1) syariat-Nya, (2) taqdir-Nya, dan (3) pembalasan-Nya. Hikmah artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya. (Tafsir As-Sa'di, hal. 947)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

أَلَيْسَ اللهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ

“Bukankah Allah adalah hakim yang seadil-adilnya?” (At-Tin: 8)

وَهُوَ خَيْرُ الْحَاكِمِينَ

“Dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya.” (Yusuf: 80)
Dalam hadits dari Mush’ab bin Sa’d, dari ayahnya, dia berkata:

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: عَلِّمْنِي كَلَامًا أَقُولُهُ. قَالَ: قُلْ: لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، لَا شَرِيكَ لَهُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلهِ كَثِيرًا، سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ. قَالَ: فَهَؤُلَاءِ لِرَبِّي، فَمَا لِي؟ قَالَ: قُلْ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاهْدِنِي وَارْزُقْنِي

“Seorang Arab badui datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: ‘Ajarkan kepadaku sebuah ucapan yang aku bisa mengamalkannya.” Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Ucapkanlah:

لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ، لَا شَرِيكَ لَهُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلهِ كَثِيرًا، سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَا حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ

‘Tiada ilah yang benar kecuali Allah satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya Allah Maha Besar dengan sebesar-besarnya, Maha Suci Allah Rabb sekalian alam, tiada daya untuk memindah dari suatu keadaan kepada keadaan lain serta tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Perkasa dan Maha Memiliki Hikmah.’ Maka Arab badui tadi mengatakan: ‘Ucapan-ucapan itu untuk Rabb-ku. Lantas apa yang untukku?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: ‘Ucapkanlah:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَاهْدِنِي وَارْزُقْنِي

‘Ya Allah, ampunilah aku, kasihilah aku, berikan petunjuk kepadaku dan berikan rizki kepadaku’.” (Shahih, HR. Muslim, 4/2074)

Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu mengatakan: “Hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala ada dua macam:

Pertama, hikmah dalam penciptaan-Nya.

Karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan makhluk-Nya dengan benar dan mengandung kebenaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan makhluk seluruhnya dengan sebaik-baik aturan. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengaturnya dengan aturan yang paling sempurna. Kepada setiap makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan pula postur yang sesuai dengannya. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan bentuk masing-masing kepada setiap bagian dari bagian-bagian makhluk dan setiap anggota tubuh dari makhluk itu. Sehingga setiap orang tidak akan melihat pada ciptaan-Nya ada kekurangan atau cacat.
Seandainya seluruh makhluk dari awal hingga akhir bersatu padu untuk mengusulkan suatu bentuk penciptaan seperti ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala atau yang mendekati ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada makhluk-Nya berupa keindahan dan keteraturan, maka mereka tidak akan mampu. Darimana mereka akan mampu melakukannya, meski sedikit saja?

Cukuplah bagi para ahli hikmah atau para cendekiawan untuk mengetahui banyak hal dari hikmah-hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan melihat sebagian keindahan dan ketelitian yang ada padanya. Ini merupakan suatu hal yang sangat diketahui secara pasti, berdasarkan apa yang diketahui dari keagungan-Nya dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya. Juga dengan menelusuri hikmah-hikmah-Nya dalam penciptaan dan perintah-perintah-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah menantang hamba-hamba-Nya untuk memerhatikan serta berulangkali melihat dan memerhatikan lagi: Apakah mereka mendapati pada makhluk-Nya ada kekurangan dan cacat, dan bahwa pandangan mereka tentu akan kembali dalam keadaan lemah untuk mengkritik sedikit saja dari makhluk-Nya.

Kedua, hikmah dalam syariat dan perintah-Nya.

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala meletakkan syariat-syariat dan menurunkan kitab-kitab, mengutus para rasul agar mereka memperkenalkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya dan agar hamba-hamba beribadah kepada-Nya. Hikmah mana lagi yang lebih agung darinya? Dan keutamaan serta kemuliaan apa yang lebih besar darinya? Sesungguhnya mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beribadah kepada-Nya tanpa mempersekutukan-Nya serta mengikhlaskan amal kepada-Nya, memuji-Nya, bersyukur kepada-Nya, menyanjung-Nya, itu merupakan karunia-Nya yang terbesar kepada hamba-hamba-Nya secara mutlak. Keutamaan yang terbesar bagi orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala beri karunia kepadanya dan kebahagiaan yang sempurna bagi qalbu dan arwah. Sebagaimana hal itu juga merupakan satu-satunya jalan menuju kebahagiaan yang abadi dan kenikmatan yang kekal. Kalaulah tidak ada dalam syariat-Nya dan perintah-Nya kecuali hikmah yang agung ini –yang mana hal itu merupakan asal usul segala kebaikan dan kenikmatan yang paling sempurna, karenanyalah diciptakan makhluk dan (karenanya) berhak mendapatkan pembalasan, (bahkan karenanya juga) diciptakan al-jannah (surga) dan an-nar (neraka)– maka itu sudah cukup.
Demikianlah. Padahal syariat dan agama-Nya mencakup segala kebaikan. Berita-berita-Nya memenuhi qalbu dengan ilmu, yakin, dan iman. Dengan itulah qalbu menjadi istiqamah dan selamat dari penyelewengan. Juga membuahkan segala akhlak yang indah, amal shalih, petunjuk, dan bimbingan. Perintah-perintah dan larangan-Nya mencakup hikmah, maslahat dan perbaikan tertinggi di dunia dan akhirat. Karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah memerintahkan kecuali sesuatu yang maslahatnya murni (tidak mengandung mafsadah) atau lebih besar (dari mafsadahnya). Dan tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang kecuali sesuatu yang mafsadah (kerusakan)nya murni atau lebih besar (dari maslahatnya).

Di antara hikmah syariat Islam di samping itu adalah sebagai maslahat terbesar bagi qalbu, akhlak, dan amal serta istiqamah dalam jalan yang lurus, hal itu juga maslahat terbesar bagi (urusan) dunia. Sehingga urusan dunia tidak akan menjadi baik dengan kebaikan yang hakiki, kecuali dengan agama yang haq, yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini perkara yang bisa dirasakan dan disaksikan oleh setiap orang yang berakal. Karena sesungguhnya umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala menegakkan agama ini, baik pokok maupun cabangnya, juga seluruh petunjuk dan bimbingannya, maka keadaan mereka akan sangat baik dan mapan. Tapi tatkala mereka melenceng darinya, banyak meninggalkan petunjuknya, serta tidak mengambil bimbingannya yang luhur, maka urusan dunia mereka kacau sebagaimana kacaunya agama mereka.
Demikian pula lihatlah umat-umat lain yang kekuatan, kemajuan dan peradabannya telah mencapai tingkat tinggi. Namun ketika kosong dari roh agama, rahmat dan keadilannya, maka mudaratnya lebih besar dari manfaatnya. Kejelekannya lebih besar dari kebaikannya. Ilmuwan serta politikus tidak mampu untuk menghalau kejahatan yang muncul. Bahkan sekali-kali mereka tidak akan mampu, selama mereka tetap dalam keadaan semacam itu.
Oleh karenanya, di antara hikmah-Nya, bahwa apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa agama dan Al-Qur’an adalah bukti terbesar atas kebenaran (kenabian)nya dan kebenaran apa yang dibawanya, karena (syariatnya) tertata dan sempurna. Sehingga sebuah kebaikan tidak akan menjadi baik kecuali dengannya. (Dinukil dari Syarh Al-Qashidah An-Nuniyah karya Muhammad Khalil Harras: 2/84-86)
Asy-Syaikh Muhammad Khalil Al-Harras juga menyebutkan makna lain, yaitu:
“Al-Hakiim bermakna Al-Haakim, yang berarti Yang memiliki hukum yakni yang menetapkan sesuatu bahwa ini harus demikian atau tidak demikian. Atau bermakna Al-Muhkim, yakni Yang mengokohkan sesuatu.” (Syarh Al-Qashidah An-Nuniyah karya Muhammad Khalil Harras, 2/81)

Buah Mengimani Nama Al-Hakim

Di antara buah mengimani nama ini adalah bahwa kita harus mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang memberikan hidayah kepada kita untuk menjalankan agama ini. Karena ternyata seluruh ajarannya penuh dengan hikmah. Juga kita harus bersyukur dan sabar terhadap semua ketentuan Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena semua ketentuannya juga penuh dengan hikmah. Sebagaimana juga membuahkan ketundukan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena kita semua berada di bawah hukum-Nya. Wallahu a’lam bish-shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar