Rabu, 14 Juli 2010

Risalah Tentang Nyeri

Ditulis oleh Aris Nur Rahmat Amd Kep An
Bagian Anestesia Instalasi Bedah Sentral
RS Islam Fatimah Cilacap Jawa Tengah


Pendahuluan

Rasa nyeri (nosisepsi) merupakan masalah unik, disatu pihak bersifat melindungi badan kita dan dilain pihak merupakan suatu siksaan. Definisi nyeri menurut The International Association for the Study of Pain ialah sebagai berikut, nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang disertai oleh kerusakan jaringan secara potensial dan aktual. Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya (noksius, protofatik) atau yang tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik) misalnya sentuhan ringan, kehangatan, dan tekanan ringan.
Nyeri bukanlah akibat sisa pembedahan yang tak dapat dihindari tetapi ini merupakan komplikasi bermakna pada sebagian besar pasien. Definisi dari nyeri itu sendiri adalah pengalaman sensorik dan motorik yang tidak menyenangkan, yang berhubungan dengan jaringan yang rusak, cenderung rusak atau segala sesuatu yang menunjukkan kerusakan.

Berdasarkan batasan tersebut diatas, terdapat dua asumsi perihal nyeri, yaitu :
Pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan, berkaitan dengan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut nyeri akut.
Kedua, bahwa perasaan yang sama dapat juga terjadi tanpa disertai dengan kerusakan jaringan yang nyata (pain without nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut nyeri kronis.

Nyeri selain menimbulkan penderitaan, juga bergungsi sebagai mekanisme proteksi, defensive dan penunjang diagnostic. Sebagai mekanisme proteksi, sensible nyeri memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab nyeri sehingga dapat menghindari terjadinya keruasakan jaringan tubuh. Sebagai mekanisme defensive, memungkinkan untuk immobilisasi organ tubuh yang mengalami inflamasi atau patah sehingga sensible yang dirasakan akan mereda dan bisa mempercepat kesembuhan. Nyeri juga dapat berperan sebagai penuntun diagnostic karena dengan adanya nyeri pada daerah tertentu, proses yang terjadi pada seorang pasien dapat diketahui. Misalnya nyeri yang dirasakan oleh seseorang pada daerah perut kanan bawah, kemungkinan pasien tersebut menderita radang usus buntu (Appendiksitis). Contoh lain misalnya seorang ibu hamil cukup bulan, mengalami rasa nyeri daerah perut kemungkinan merupakan tanda bahwa proses persalinan sudah mulai.
Pada penderita kanker stadium lanjut, apabila penyakitnya sudah menyebar ke berbagai jaringan tubuh seperti dalam tulang, nyeri yang dirasakannya tidak lagi berperan sebagai mekanisme proteksi, defensive atau diagnostic tetapi akan menambah penderitaannya semakin berat.

Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang mengakibatkan penderitaan yang sangat berat bagi pasein hakikatnya tidak saja tertuju pada usaha untuk mengurangi atau memberantas nyeri itu, melainkan bermaksud menjangkau mutu kehidupan pasien, sehinggga ia dapat kembali menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga dan lingkungannya.
Mekanisme Nyeri

Nyeri timbul akibat adanya rangsangan oleh zat-zat algesik pada reseptor nyeri yang banyak dijumpai pada lapisan superfisial kulit dan pada beberapa jaringan di dalam tubuh, seperti periosteum, permukaan sendi, otot rangka, pulpae gigi. Reseptor nyeri merupakan ujung-ujung bebas serat syaraf aferen A delta dan C. Reseptor-reseptor ini diaktifkan oleh adanya rangsang-rangsang dengan intensitas tinggi, misalnya berupa rangsang termal, mekanik, elektrik atau rangsang kimiawi.
Zat-zat algesik yang akan mengaktifkan reseptor nyeri adalah ion K,H, asam laktat, serotinin, bradikinin, histamin dan prostaglandin. Selanjutnya setelah reseptor-reseptor nyeri diaktifkan oleh zat-zat algesik tersebut, impuls nyeri disalurkan ke sentral melalui beberapa saluran syaraf.

Rangkaian proses yang menyertai antara kerusakan jaringan (sebagai sumber stimuli nyeri) sampai dirasakannya persepsi nyeri adalah suatu proses elektro-fisiologik yang disebut sebagai nosisepsi (nociception).

Ada empat proses yang jelas yang terjadi mengikuti suatu proses elektro-fisiologik nosisepsi yaitu :

Pertama
Transduksi (Transduction)
merupakan proses stimuli nyeri (naxious stimuli) yang diterjemahkan atau diubah menjadi suatu aktivitas listrik pada ujung-ujung syaraf.

Kedua
Transmisi (Transmission).
Merupakan proses penyaluran impuls melalui syaraf sensoris menyusul proses transduksi. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut syaraf A delta dan serabut C sebagai neuron pertama dari perifer ke medulla spinalis.

Ketiga
Modulasi (Modulation).
Adalah proses interaksi antara sistem analgesik endogen dengan impuls nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis. Sistem analgesik endogen meliputi enkefalin, endorfin, serotonin dan noradrenalin yang mempunyai efek menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dengan demikian kornu posterior diibaratkan sebagai gerbang nyeri yang bisa tertutup atau terbuka untuk menyalurkan impuls nyeri. Proses tertutupnya atau terbukanya pintu nyeri tersebut dipoerankan oleh sistem analgesik endogen tersebut diatas.

Keempat
Persepsi (Perception).
Adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan yang subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.

Respon Tubuh Terhadap Nyeri

Respon tubuh terhadap trauma atau nyeri adalah terjadinya reaksi endokrin berupa mobilisasi hormon-hormon katabolik dan terjadinya reaksi immunologik yang secara umum disebut sebagai respon stress. Respon stress ini sangat merugikan pasien karena selain akan menurunkan cadangan dan daya tahan tubuh, juga meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung, mengganggu fungsi respirasi dengan segala konsekuensinya serta akan mengundang resiko terjadinya tromboemboli, yang pada gilirannya meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

Respon Endokrin

Rangsang nosiseptif menyebabkan respons hormonal bifasik, artinya terjadi pelepasan hormon katabolik seperti katekolamin, kortisol, angiotensin II, ADH, ACTH, dan glukagon. Dan sebaliknya terjadi penekanan sekresi hormon anabolik seperti insulin. Hormon katabolik akan menyebabkan hyperglikemia melalui mekanisme resistensi terhadap insulin dan proses glukoneogenesis, selanjutnya terjadi katabolisme protein dan liposis. Kejadian ini akan menimbulkan balans nitrogen negatif. Aldosteron, kortisol, ADH menyebabkan terjadinya retensi Na dan air. Katekolamin merangsang reseptor nyeri sehingga intensitas nyeri bertambah.. Dengan demikian terjadilah siklus vitrious.

Efek Nyeri Terhadap Kardiovaskular dan Respirasi

Pelepasan katekolamin. Aldosteron, kortisol, ADH dan aktifasi Angiotensin II akan menimbulkan efek pada kardiovaskular. Hormon-hormon ini mempunyai efek langsung pada miokardium atau pembulh darah dan meningkatkan retensi Na dan air. Angiotensin II menimbulkan vasokonstriksi. Katekolamin menimbulkan tachicardia meningkatkan kontraktilitas otot jantung dan retensi vaskular perifer, sehingga terjadilah hypertensi. Tachicardia serta dysritmia dapat me nimbulkan iskemia miokard. Ditambah dengan retensi Na dan air, maka timbullah resiko gagal jantung kongestif. Bertambahnya cairan ekstra selular di paru-paru akan menimbulkan kelainan ventilasi perfusi. Nyeri didaerah dada atau abdomen akan menimbulkan peningkatan tonus otot didaeah tersebut sehingga dapat muncul resiko hypoventilasi, kesulitan bernafas dalam dan mengeluarkan sputum, sehingga penderita mudah mengalami penyulit atelektasis dan hypoksemia.

Efek Nyeri Terhadap Sistem Organ Yang Lain

Peningkatan akitifitas sympatis akibat nyeri menimbulkan inhibisi fungsi saluran cerna. Gangguan pasase usus sering terjadi pada penderita nyeri. Terhadap fungsi immunologik, nyeri akan menimbulkan lympopenia, luokositosis, dan depresi RES. Akibatnya resistensi terhadap kuman pathogen menurun. Kemudian terhadap fungsi koagulasi, nyeri akan menimbulkan perubahan viskositas darah, fungsi platelet. Terjadi peningkatan adesivitas trombosit. Ditambah dengan efek katekolamin yang menimbulkan vasokonstriksi dan immobilisasi akibat nyeri, maka akan mudah terjadi komplikasi trombosis.

Efek Nyeri Terhadap Mutu Kehidupan

Nyeri menyebabkan pasien sangat menderita. Tidak mampu bergerak, bernafas, dan batuk dengan baik, susah tidur, tidak enak makan/minum, cemas, gelisah, perasaan tidak akan tertolong dan putus asa. Keadaan seperti ini sangat mengganggu kehidupan normal penderita sehari-hari. Mutu kehidupannya sangat rendah, bahkan sampai tidak mampu untuk mandiri layaknya orang sehat. Oleh karena itu penatalaksanaan nyeri pada hakikatnya tidak saja tertuju kepada mengurangi atau memberanntas rasa nyeri itu, melainkan bermaksud menjangkau peningkatan mutu kehidupan pasien sehingga ia dapat kembali menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga maupun lingkungannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar