Penulis : Al-Ustadzah Ummu 'Abdirrahman Bintu 'Imran
Dinukil dari www.asysyariah.com
Liburan. Ini biasa dihadapi bahkan ditunggu-tunggu kedatangannya oleh anak-anak kita yang mengenyam pendidikan di suatu lembaga pendidikan, entah itu ma’had atau yang lainnya. Namun orangtua perlu waspada, agar liburan anak bukan menjadi saat-saat yang justru merugikan.
“Anak saya jadi berubah kalau liburan di rumah. Kebiasaannya yang baik di pondok jadi hilang!” begitu keluh seorang ibu. “Anak saya malah jadi mogok, susah kembali sekolah. Mungkin keenakan liburan ya?” kata ibu yang lain. Ibu yang lainnya mengatakan, “Wah, anak saya malah selama di rumah kembali bergaul dengan teman-temannya yang nggak bener!” Begitulah sejumlah keluhan yang kadang terdengar dari orangtua, menghadapi anak-anak selama dan pascaliburan.
Saat memasuki liburan, anak-anak –baik yang berusia kanak-kanak maupun remaja– menghadapi kelonggaran setelah melalui kepenatan hari-hari yang penuh kesibukan. Di benak mereka pun mulai muncul pertanyaan, dengan apa mereka akan mengisi liburan nanti.
Terkadang lemahnya kita dalam menghadapi anak, sedikitnya bimbingan dan teladan, atau kurangnya pengawasan kita menjadi salah satu di antara sekian sebab anak melewati masa liburan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat atau bahkan merugikan. Sekadar menghabiskan waktu dengan duduk-duduk mengobrol bersama teman, berkelana dari mal ke mal, atau menekuni acara demi acara televisi. Kadangkala pula justru orangtua yang memfasilitasi anak untuk itu, atau membiarkan anak “sedikit bersantai” dengan meninggalkan berbagai rutinitas yang terpuji.
Bagaimanapun, anak selalu membutuhkan peran kita, orangtua mereka. Termasuk saat-saat mereka menghadapi liburan. Mereka adalah tanggung jawab kita di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memperingatkan kita dalam firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At-Tahrim: 6)
Sebenarnya masa liburan merupakan nikmat waktu luang. Oleh karena itu, seyogianya anak disadarkan akan hal ini, sehingga waktu liburan harus digunakan sebaik mungkin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan, betapa banyak manusia yang terlalaikan dari nikmat waktu luang ini, sehingga hanya menuai kerugian belaka. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, sebagaimana yang dinukilkan oleh sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Ada dua nikmat yang kebanyakan orang tertipu darinya: kesehatan dan waktu luang.” (HR. Al-Bukhari no.6412)
Tentu kita harus bisa mengambil langkah yang tepat untuk mengarahkan anak-anak menjelang dan selama liburan berlangsung. Untuk itu, perlu kiranya kita mengkaji nasihat ahlul ilmi berkenaan dengan permasalahan menghadapi liburan anak ini.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu dalam khutbah beliau memberikan gambaran tentang segala sesuatu yang mungkin dilakukan oleh anak-anak kita selama liburan, sekaligus nasihat berkaitan dengan hal ini. Beliau mengatakan, “Di antara mereka ada yang tidak bepergian, menghabiskan masa liburannya di tempat tinggalnya, namun tidak pula melakukan aktivitas tertentu. Saya nasihatkan kepada mereka ini, hendaknya memiliki keinginan kuat agar liburannya merupakan liburan yang penuh aktivitas bermanfaat. Sehingga memperoleh kebaikan agama maupun dunia. Bisa dengan mempelajari berbagai ilmu yang dia senangi, belajar kelompok untuk mempelajari pengetahuan umum, datang ke perpustakaan untuk menambah ilmu, atau menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan bersama orangtuanya.” (Adh-Dhiya’ul Lami’ minal Khuthabil Jawami’, 6/106-107)
Beliau menasihatkan pula, “Maka hendaknya dia membaca kitab-kitab tafsir yang berharga dan selamat dari segala penyimpangan makna Al-Qur’an, kitab-kitab hadits yang shahih semisal Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, kitab-kitab tarikh (sejarah) yang terpercaya dan jauh dari penyimpangan, terutama sejarah awal permulaan Islam, seperti sirah (sejarah hidup) Nabi dan Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, karena sirah ini berisi pelajaran sejarah dan perilaku yang akan menambah ilmu dan kecintaan terhadap mereka serta menambah pemahaman agama, rahasia-rahasia hukum dan syariatnya.
Jangan melihat-lihat dan membaca bacaan yang dikhawatirkan akan merusak akidah, akhlak dan perilaku, baik berupa buku-buku, surat kabar harian, maupun majalah mingguan. Banyak orang yang merasa percaya diri melihat-lihat bacaan seperti ini, kemudian ternyata kejelekan terus menjalarinya, sehingga dia tidak mampu melepaskan diri lagi.” (Adh-Dhiya’ul Lami’ minal Khuthabil Jawami’, 6/103-104)
“Ada pula yang pergi ke tanah suci untuk menunaikan umrah, lalu shalat di Masjidil Haram, shalat di Masjid Nabawi, dan ziarah ke kubur Nabi setelah shalat di sana. Ini termasuk amalan yang utama.”
Beliau juga mengatakan, “Ada yang mengunjungi sanak kerabat untuk menambah kecintaan di antara mereka. Ini termasuk perbuatan menyambung hubungan kekerabatan yang akan mendapatkan balasan dan pahala. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan jaminan kepada rahim bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menyambung hubungan dengan orang yang menyambung hubungan kekerabatan dan akan memutuskan hubungan dengan orang yang memutus hubungan kekerabatan.
Ada juga yang menggunakan liburannya untuk menghilangkan kejenuhan dan kepenatan dengan melakukan serangkaian kegiatan kemanusiaan bersama teman-temannya. Ini boleh dilakukan. Namun aku nasihatkan kepada mereka:
Pertama, hendaknya perkumpulan itu berusia sebaya, karena kalau usianya terpaut jauh, maka tidak akan terwujud keserasian dan keteraturan di antara mereka disebabkan perbedaan kemampuan daya pikir, kinerja, maupun fisik. Yang kecil nantinya hanya menjadi beban bagi yang besar, dan terkadang yang seperti ini bisa membawa pada kerusakan akhlak.
Kedua, bersemangat menunaikan kewajiban-kewajiban syariat, seperti bersuci dan shalat jamaah pada waktunya, berwudhu dari hadats kecil dan mandi dari hadats besar semisal janabah. Selayaknya pula mereka memilih tempat khusus yang tertutup ketika menunaikan hajat dan istinja’, memilih tempat yang tertutup dan terjaga dari tiupan angin kencang untuk mandi, dan mengkhususkan satu tenda untuk shalat. Seyogianya pula mereka menyediakan mushaf Al-Qur’an dan buku-buku bagi siapa pun yang ingin membaca Al-Qur’an atau belajar.
Ketiga, beradab dengan adab yang diajarkan oleh syariat, baik ketika singgah di suatu tempat, makan, maupun minum. Ketika singgah di suatu tempat, hendaknya mengucapkan doa:
أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan seluruh makhluk-Nya.”
Karena siapa pun yang membaca doa ini ketika singgah di suatu tempat tidak akan ditimpa bahaya sampai dia meninggalkan tempat itu. Juga mengucapkan basmalah ketika makan dan minum, mengucapkan hamdalah. Jangan sampai merasa sombong dan angkuh sehingga meremehkan nikmat dan merendahkannya, sebagaimana yang banyak dilakukan oleh orang-orang bodoh.
Keempat, menghindari segala sesuatu yang dapat menodai agama dan akhlak. Jangan mendengarkan nyanyian-nyanyian yang diharamkan, jangan mengatakan ucapan-ucapan yang jorok atau “kurang ajar”, jangan pula menimbulkan kerusuhan di antara mereka yang tidak pantas dilakukan oleh orang mukmin yang berakal. Tidak mengapa kadang-kadang mereka menghibur diri dengan lomba jalan kaki, bertanding gulat, atau bermain bola, dengan syarat semua itu tidak menyibukkan dari hal-hal yang wajib. Dalam perlombaan itu, mereka hendaknya memakai sirwal (celana) yang menutup antara pusar dan lutut (aurat laki-laki, red.), dan tidak mengatakan ucapan-ucapan yang tidak pantas, baik ketika menang maupun kalah.
Kelima, mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin untuk mengatur segala urusan mereka, menempatkan orang yang tepat pada setiap tugas. Hendaknya pemimpin ini orang yang paling baik agama dan akhlaknya, mampu mengoordinasi dan berkepribadian kuat.
Ada juga yang bepergian ke negeri yang telah dirusak oleh kekafiran, berbagai hal yang jelek, merancukan pikiran dan merusak hati. Lalu dia pulang dalam keadaan telah tercemari oleh berbagai perbuatan ini, hingga berkurang imannya atau bahkan hampir sirna. Hilang akalnya akibat segala hal yang memfitnahnya, sehingga dia menjadi orang yang mengganti nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kekufuran, menggunakan harta pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mendurhakai-Nya. Akhirnya dia merugikan agama dan dunianya.
Karena itu, hendaknya orang yang berpikiran cerdas menghindari yang seperti ini. Hendaknya ia juga menyadari, walaupun mereka menyenangkan raga dengan kemewahan yang mereka miliki, sebenarnya mereka telah merugikan jiwa mereka dan melenyapkan ketenangan dengan segala beban pikiran dan kegelisahan. Namun bila hati mereka memang telah tertutup, mereka tak bisa memahami dan memikirkan hal ini.” (Adh-Dhiya’ul Lami’ minal Khuthabil Jawami’, 6/107-112)
Beliau juga menasihatkan kepada orangtua, “Setiap wali wajib memerhatikan anak-anaknya selama liburan ini dan menghasung mereka agar senang untuk beramal serta memanfaatkan waktu dengan aktivitas yang bermanfaat. Juga mengawasi serta melarang mereka bergaul dengan teman-teman jelek yang akan menyimpangkan mereka dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta menghasut untuk melakukan kejelekan dan kerusakan. Sesungguhnya seseorang itu berada di atas agama temannya, sebagaimana yang datang dalam hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:
الْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang itu berada di atas agama teman dekatnya, maka hendaknya setiap orang dari kalian melihat siapa yang dia jadikan teman.”1
Demikian gambaran aktivitas anak selama liburan yang beliau berikan. Setidaknya, nasihat beliau ini akan memberikan arah kepada kita, orangtua, agar tidak salah langkah dalam membimbing dan menyediakan berbagai sarana bagi anak untuk mengisi liburan mereka.
Wallahu a’lamu bish-shawab.
1 HR. At-Tirmidzi no.2378, dihasankan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar