Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman
Dinukil dari www.asysyariah.com
Tidak ada jalan menuju kebahagiaan setiap hamba, baik di dunia maupun di akhirat melainkan Allah
Subhanahu wata’ala
telah membentangkan jalan untuk mencapainya dan membimbing ke arah
jalan tersebut. Sebaliknya, tidak ada sesuatu yang membahayakan dan
memudaratkan mereka, melainkan Allah
Subhanahu wata’ala telah
menurunkan wahyu-Nya serta mengutus utusan-Nya untuk menjelaskan dan
memperingatkan darinya. Salah satu jalan kebaikan yang sangat besar dan
bernilai tinggi dalam hidup mereka adalah ketaatan dalam bentuk
penghambaan dan penghinaan diri yang tinggi, serta bentuk kedekatan
hamba yang paling dekat dengan Allah
Subhanahu wata’ala yaitu shalat lima waktu sehari semalam. Ini semua sebagai bukti bahwa Allah
Subhanahu wata’ala memuliakan setiap hamba dan tidak menciptakan mereka secara sia-sia, tanpa arti.
أَيَحْسَبُ الْإِنسَانُ أَن يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (al-Qiyamah: 36)
Ketaatan dengan Pertolongan Allah Subhanahu wata’ala
Setiap hamba semestinya mengetahui dengan diperintahkannya mereka
untuk melaksanakan sesuatu atau dilarangnya mereka dari sesuatu
semata-mata untuk hamba itu sendiri dan tidak ada kepentingannya bagi
Allah
Subhanahu wata’ala sedikit pun. Hamba itu pun harus
mengetahui bahwa kemampuan dia untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya
serta kemampuan dia untuk menjauh dari segala larangan, sesungguhnya
itu merupakan bantuan dari Allah
Subhanahu wata’ala semata. Tanpa hal itu, manusia tidak akan sanggup untuk melaksanakannya karena,
Pertama:
Adanya hawa nafsu yang sangat berlawanan
dengan niatan niatan baik setiap manusia serta selalu mendorong untuk
menyelisihi segala perintah dan larangan Allah
Subhanahu wata’ala.
Dia akan mengundang siapa pun untuk menjadi orang yang berani
meninggalkan perintah dan menjadi orang yang tidak punya malu melanggar
larangan. Jika perintah dan larangan itu diserahkan pelaksanaannya
semata mata pada kemampuan manusia dan tidak ada bantuan dari Allah
Subhanahu wata’ala, niscaya semuanya akan menjadi tersesat. Tentu saja Allah
Subhanahu wata’ala menolong hamba-hamba yang dikehendaki-Nya karena karunia- Nya, dan tidak menolong yang lain karena keadilan.
وَلَوِ
اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ
وَمَن فِيهِنَّ ۚ بَلْ أَتَيْنَاهُم بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَن ذِكْرِهِم
مُّعْرِضُونَ
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah
langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami
telah mendatangkan kepada mereka peringatan (al-Qur’an) tetapi mereka
berpaling darinya.” (al-Mu’minun: 71)
فَإِن
لَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللَّهِ ۚ
إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Maka jika mereka tidak memenuhi seruanmu, ketahuilah bahwa
sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan
siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya
dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orangorang yang zalim.” (al-Qashash:
50)
Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu berkata, “Hawa nafsu menghalangi dari kebenaran.” (al- Ibanah ash-Shugra hlm. 122)
Al-Hasan
rahimahullah mengatakan, “Tidak ada sebuah penyakit
yang lebih dahsyat daripada penyakit hawa nafsu yang mengenai hati.”
(al-Ibanah ash-Shugra hlm. 124)
Abdullah bin ‘Aun al-Bashri
rahimahullah berkata, “Bila hawa
nafsu telah berkuasa di dalam hati, niscaya dia akan menganggap baik
segala apa yang dahulunya dipandang jelek.” (al-Ibanah as-Shugra 131)
(Lihat kitab Sallus Suyuf wal Asinnah secara ringkas hlm. 24—26)
Kedua:
Setan dari luar manusia yang setiap saat
mengintai mereka untuk kemudian menyerunya menuju penyelisihan terhadap
perintah Allah
Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Setan telah menjadikan diri sebagai lawan atas siapa saja yang menaati Allah
Subhanahu wata’ala, serta kawan bagi siapa yang melanggar perintah dan larangan Allah
Subhanahu wata’ala. Dialah yang mengatakan di hadapan Allah
Subhanahu wata’ala sebagaimana firman-Nya,
قَالَ
فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ ()
ثُمَّ لَآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ
أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَائِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
Iblis menjawab, “Karena Engkau telah menghukum aku tersesat, aku
benar benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang
lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang
mereka, dari kanan dan dari kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati
kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (al-A’raf: 16—17)
Firman-Nya pula,
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ
Iblis berkata, “Ya Rabbku, karena Engkau telah memutuskan bahwa aku
sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan
maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya.”
(al- Hijr: 39)
Dengan semuanya ini, sudah sepantasnya bagi seorang hamba bila dia
menemukan dirinya menjadi orang yang mendapatkan kemudahan untuk
melaksanakan ketaatan dan ringan dalam menjauhi larangan agar selalu
bersyukur kepada Allah
Subhanahu wata’ala, karena semuanya dengan bantuan-Nya. Bila seorang hamba menemukan dirinya sangat mudah untuk melanggar ketentuan Allah
Subhanahu wata’ala
dan Rasul-Nya, hendaklah dia mencela dirinya sendiri. Setelah itu, dia
harus berjuang untuk menundukkan hawa nafsunya di atas syariat Allah
Subhanahu wata’ala dan melawan setan sebagai teman yang mengajak dia bermaksiat.
Setiap hamba semestinya mengetahui bahwa jalan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat adalah dalam ketaatan kepada Allah
Subhanahu wata’ala dan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam serta menjalankan segala aturan Allah
Subhanahu wata’ala
di dalam wahyu-Nya. Karena tanpa itu semua, jangan bermimpi akan menang
dalam setiap perjuangan, jangan berkhayal kejayaan, kemuliaan,
kewibawaan Islam dan kaum muslimin akan kembali, serta jangan berharap
akan meraih kebahagiaan dan kesenangan yang hakiki. Yang ada adalah
kegagalan, kekalahan, kerendahan dan kehinaan, serta kehancuran dan
kebinasaan. Cukuplah berita ilahi di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang
sahih sebagai berita yang akurat yang tidak ada kedustaan di dalamnya.
Jalan-Jalan Ketaatan dan Keikhlasan
Pintu-pintu kebaikan yang begitu banyak sungguh telah dijelaskan secara rinci dalam syariat Allah
Subhanahu wata’ala dan tidak ada sesuatu yang masih tersisa. Kesempurnaan syariat-Nya juga membuktikan bahwa Allah
Subhanahu wata’ala menginginkan
kemuliaan atas setiap hamba-Nya. Sebuah kebajikan yang besar tentunya
untuk meraih nilai yang besar pula di sisi Allah
Subhanahu wata’ala. Nilai nilai yang besar tersebut tidak akan didapatkan melainkan pelaksanaannya harus berada di atas koridor agama.
Dengan kata lain, harus berada di atas syarat-syarat diterimanya
amal. Di antara ketentuan yang harus ada dalam pengabdian setiap hamba
kepada Allah
Subhanahu wata’ala adalah dua hal yaitu ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam).
Barang siapa yang tidak ada pada amalnya kedua syarat tersebut atau
salah satu di antaranya, maka jelas ditolak dan masuk dalam firman Allah
Subhanahu wata’ala,
وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَّنثُورًا
“Dan Kami sodorkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami
jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (al-Furqan: 23)
Kedua sifat tersebut, ikhlas dan mutaba’ah (mencontoh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam) telah dihimpun oleh Allah
Subhanahu wata’ala di dalam firman-Nya,
وَمَنْ
أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ
وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۗ وَاتَّخَذَ اللَّهُ
إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan dia pun mengerjakan
kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil
Ibrahim menjadi kekasih-Nya.” (an-Nisa: 125)
بَلَىٰ
مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِندَ
رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“(Tidak demikian) bahkan barang siapa yang menyerahkan diri kepada
Allah, sedangkan ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi
Rabbnya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.” (al-Baqarah: 112) (Lihat kitab Bahjatu Qulubul
Abrar hlm. 14 karya al-Imam as-Sa’di
rahimahullah)
Shalat, Amalan Besar yang Butuh Keikhlasan dan Mutaba’ah
Di antara sederetan kewajiban yang besar serta bernilai agung dan
tinggi adalah shalat lima waktu sehari semalam. Amal besar yang tidak
ada seorang muslim pun meragukannya karena dalil yang menjelaskannya
sangat terang layaknya matahari di siang bolong. Oleh karena itu, jika
ada orang yang mengaku muslim mengingkari dan tidak mengerjakan shalat
berarti dia telah menanggalkan pakaian keislamannya, dia sadari atau
tidak. Sebab, dia telah menentang hujah yang sangat terang dan jelas.
Contoh perintahnya,
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan rukuklah bersama orangorang yang rukuk.” (al-Baqarah: 43)
Adakah dari kaum muslimin yang memahami perintah shalat di dalam ayat
ini dengan makna bukan sebenarnya yaitu shalat yang telah dituntunkan
oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam? Jika ada, berarti
jelas bahwa dia adalah orang yang sesat dan jika dia tidak
melaksanakannya akan bisa menjadikan dia kafir, keluar dari Islam.
Karena shalat adalah amal ibadah besar kepada Allah
Subhanahu wata’ala, seharusnya tidak dicari di baliknya selain wajah Allah
Subhanahu wata’ala dan ridha-Nya.
Itulah keikhlasan, sebab:
1. Jika melaksanakannya dan ingin semata-mata pujian dari manusia,
ingin terpandang, atau ingin memiliki kedudukan di hati banyak orang,
ini adalah sebuah kesyirikan, walaupun dia mengerjakannya dengan penuh
ketaatan. Allah
Subhanahu wata’ala bercerita tentang ibadah shalat orang-orang munafik yaitu nifak akbar (besar),
إِنَّ
الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا
إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا
يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan
membalas tipuan mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka
berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan
manusia, dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”
(an-Nisa: 142)
2. Jika melaksanakannya karena Allah
Subhanahu wata’ala dan ingin mendapatkan sanjungan dari manusia, ini adalah bentuk kesyirikan kepada Allah
Subhanahu wata’ala. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, (Allah
Subhanahu wata’ala berfirman,)
أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Aku tidak butuh kepada sekutu sekutu dalam kesyirikan. Barang siapa
yang melakukan amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku, niscaya
Aku akan biarkan dia bersama sekutunya.” (HR. Muslim) Dari Abu Sa’id
al-Khudri
radhiyallahu ‘anhu secara marfu’, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَلَا
أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِي مِنَ الْمَسِيحِ
الدَّجَّالِ؟ قَالُوا : بَلَى. قَالَ: الشِّرْكُ الْخَفِيُّ، يَقُومُ
الرَّجُلُ فَيُصَلِّي فَيَزِينُ صَلَاتَهُ لَمَّا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ
“Maukah aku beri tahukan kepada kalian sesuatu yang lebih aku
khawatirkan daripada fitnah Dajjal?” Mereka berkata, “Ya.” Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Syirik tersembunyi, yaitu seseorang melaksanakan shalat dan memperindahnya karena ada yang melihatnya.” (HR. Ahmad)
Keikhlasan adalah dia tidak mengharapkan dalam segala jenis ibadahnya, termasuk shalat, selain ridha dan wajah Allah
Subhanahu wata’ala semata. Jika seseorang telah mengerjakannya dengan landasan keikhlasan, Allah
Subhanahu wata’ala akan
mengganjarnya di dunia sebelum di akhirat, mengangkat namanya,
berkedudukan di hadapan manusia tanpa dia mencari dan mengejarnya.
Itulah ganjaran setiap kebaikan di dunia sebelum akhirat. Dari
penjelasan di atas, jelaslah bahwa tidak akan merugi, baik dunia maupun
akhirat, seseorang yang melaksanakan ketaatan kepada Allah
Subhanahu wata’ala dengan landasan keikhlasan.
Banyak amal kecil dan ringan karena niatnya yang baik menjadi amalan
yang bernilai besar dan berat. Amalan yang besar menjadi ringan bahkan
nihil dari nilai, karena niatnya. Sungguh ini adalah kerugian yang nyata
dan kesia-siaan yang besar. Perlu diketahui pula bahwa kebenaran niat
seseorang dalam sebuah ibadahnya tidak menjamin amalnya tersebut
diterima. Hal ini karena Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan hal ini dalam sebuah sabda beliau,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa melakukan amalan dan tidak ada perintahnya dari kami, niscaya amal tersebut tertolak.”
Manthuq (makna lahiriah) hadits ini adalah setiap perkara bid’ah yang
dibuat-buat dalam urusan agama yang tidak memiliki landasan di dalam
al- Qur’an dan as-Sunnah—baik bid’ah ucapan dan keyakinan, seperti
bid’ah Jahmiyah, Rafidhah, Mu’tazilah, serta selainnya, maupun bid’ah
perbuatan, seperti beribadah kepada Allah
Subhanahu wata’ala dengan ibadah-ibadah yang tidak ada syariatnya dari Allah
Subhanahu wata’ala
dan Rasul-Nya— maka semua amalan tersebut tertolak. Pelakunya tercela
dan ketercelaannya sesuai dengan tingkat kebid’ahan dan jauhnya dia dari
agama.
Barang siapa memberitakan tidak seperti berita Allah
Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya atau dia beribadah dengan sesuatu yang tidak ada izin dari Allah
Subhanahu wata’ala dan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam
maka dia adalah seorang mubtadi’. Barang siapa mengharamkan
perkara-perkara yang dibolehkan atau beribadah tanpa ada syariatnya,
maka dia juga seorang mubtadi’. Mafhum hadits ini, barang siapa
melaksanakan sebuah amalan yang diperintahkan oleh Allah
Subhanahu wata’ala dan Rasul- Nya, yaitu beribadah kepada Allah
Subhanahu wata’ala
dengan keyakinan yang benar dan amal saleh, baik yang bersifat wajib
maupun mustahab (sunnah), maka segala pengabdiannya diterima dan
usahanya patut disyukuri.
Hadits ini menjelaskan pula bahwa setiap ibadah yang dikerjakan dalam
bentuk yang dilarang maka ibadah tersebut menjadi rusak karena tidak
ada perintah dari Allah
Subhanahu wata’ala dan adanya larangan
tersebut. Konsekuensinya adalah rusak, dan setiap bentuk muamalah yang
syariat melarangnya adalah ibadah yang sia-sia dan tidak tergolong dalam
kategori ibadah. (Lihat Bahjatul Qulubul Abrar hlm. 17)
Mereguk Nilai di Balik Keikhlasan
Tidak ada satu bentuk pengorbanan dalam sebuah peribadahan kepada Allah
Subhanahu wata’ala melainkan telah dipersiapkan ganjaran yang lebih besar dari apa yang telah dia korbankan. Itulah janji Allah
Subhanahu wata’ala di dalam al-Qur’an dan melalui lisan Rasul-Nya di dalam as-Sunnah. Bahkan, Allah
Subhanahu wata’ala telah menetapkan secara umum jaminan nilai yang akan didapatkan pada semua bentuk peribadahan kepada Allah
Subhanahu wata’ala seperti dalam firman-Nya,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai manusia, sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang orang yang sebelummu, agar kalian bertakwa.” (al-Baqarah: 21)
Dari sinilah, orang yang beriman mengetahui bahwa siapa saja
mengharapkan urusannya yang sulit segera terselesaikan, problem hidupnya
yang berat diringankan, dimudahkan urusan rezekinya, mulia dan bahagia,
hendaklah dia mencarinya melalui jalur ibadah. Adapun tentang ibadah
shalat, Allah
Subhanahu wata’ala telah menyebutkan nilai khusus padanya yaitu di samping akan menjadikan seseorang bertakwa kepada Allah
Subhanahu wata’ala, juga akan menjadi benteng dari bermaksiat kepada Allah
Subhanahu wata’ala dan dari perbuatan-perbuatan yang keji. Allah
Subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۗ
“Sesungguhnya shalat dapat mencegah dari kejelekan dan kemungkaran.” (al-‘Ankabut: 45)
As-Sa’di
rahimahullah menjelaskan, “Shalat itu tidak cukup
bila mendatanginya hanya dalam bentuk pelaksanaan lahiriah semata.
Namun, shalat itu adalah menegakkannya baik secara lahiriah dengan
menyempurnakan rukun-rukunnya, wajib-wajibnya, dan menegakkan
syarat-syarat-Nya. Menegakkan secara batin artinya menegakkan ruhnya,
yaitu hadirnya hati di dalam shalat tersebut, memahami apa yang
diucapkan dan dilakukannya. Inilah shalat yang dimaksudkan oleh Allah
Subhanahu wata’ala di dalam firman-Nya,
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۗ
“Sesungguhnya shalat dapat mencegah dari kejelekan dan kemungkaran.” (al-‘Ankabut: 45) (Tafsir as-Sa’di hlm. 24)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah mengatakan,
“Sesungguhnya, apabila dikerjakan sesuai dengan perintah, niscaya shalat
akan mencegah dari kejelekan dan kemungkaran. Jika shalat tersebut
tidak mencegah dia dari kejelekan dan kemungkaran, ini pertanda bahwa
dia telah menyia-nyiakan hak-hak shalat itu kendatipun dia dalam kondisi
taat.”
Beliau
rahimahullah juga menjelaskan, “Sesungguhnya shalat itu
akan menolak adanya perkara yang dibenci yaitu kejelekan dan
kemungkaran, dan sekaligus karenanya, juga akan meraih kecintaan yaitu
zikrullah; dan terwujudnya kecintaan melalui (shalat) itu lebih besar
dibandingkan dengan tertolaknya kejelekan. Hal ini karena zikir kepada
Allah
Subhanahu wata’ala adalah ibadah, dan ibadah hati sebagai
tujuan dari semua bentuk peribadatan tersebut. Adapun tertahannya dia
dari kejelekan sebagai tujuan yang lain.”
Beliau
rahimahullah berkata, “Yang benar, makna ayat itu
adalah shalat memiliki dua tujuan dan satu tujuan dari keduanya itu
lebih besar daripada yang lain. Sesungguhnya shalat dapat mencegah dari
kejelekan dan kemungkaran. Shalat itu sendiri mengandung makna zikir,
dan shalat berikut zikir-zikirnya itu lebih besar dibandingkan
keberadaannya yang dapat mencegah dari kekejian dan kemungkaran.
Ibnu Abi Dunia
rahimahullah telah menyebutkan dari Abdullah bin Abbas
radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau ditanya tentang amalan yang paling utama. Beliau
rahimahullah berkata, ‘Berzikir kepada Allah
Subhanahu wata’ala.’ Di dalam as-Sunan dari ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
‘Dan dijadikannya thawaf di baitullah, sa’i antara Shafa’ dan Marwa, serta melempar jumrah, semuanya untuk mengingat Allah
Subhanahu wata’ala’.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi, dan beliau berkata bahwa hadits ini hasan dan sahih). (Lihat Majmu’ Fatawa 10/188)
Adapun hadits yang mengatakan,
كُلُّ صَلَاةٍ لَمْ تَنْهَ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ لَمْ يَزْدَدْ صَاحِبُهَا مِنَ اللهِ إلَّا بُعْدًا
“Setiap shalat yang tidak mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan
mungkar, tidak akan menambah bagi pelakunya selain kejauhan dari Allah
Subhanahu wata’ala.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah menjelaskan, “Hadits ini tidak sahih dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Lihat penjelasan tentang kelemahan haditsnya di dalam kitab Silsilah
Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah jilid 1 hadits ke-2. Wallahu a’lam.